Bertemu Kembali

Perang dingin antara Jevon dan Revan masih terjadi. Namun, dalam hal bekerja mereka berdua tetap profesional melakukannya dengan baik, bagai tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.

Saat ini keduanya tengah berada di dalam restoran mewah untuk menemui kliennya sekaligus makan siang bersama. Mereka terlibat obrolan yang tidak terlalu pelik, karena memang klien itu terkesan santai dan berakhir dengan kerja sama yang baik.

Tepat ketika klien itu pamit untuk pergi, saat itu pula getar ponsel Jevon menginterupsi pemiliknya yang baru saja mengantar kliennya keluar dari restoran. Dengan tetap melangkahkan kaki panjangnya menuju tempat parkir. Jevon memandang malas nomor yang tidak dia kenal yang sedang menghubunginya.

Tidak seperti biasanya yang mengabaikan telepon yang tidak jelas. Kali ini pria itu mendapat dorongan dari mana sampai jari tangannya itu menggeser warna hijau di layar ponselnya.

Dia tidak kunjung membuka suara, memutuskan untuk menunggu sampai si penelepon mengeluarkan suara terlebih dahulu. Matanya sesekali melirik ke arah Revan yang mendahuluinya, masuk ke dalam mobil pribadinya dan pergi begitu saja.

“H–halo?”

Terdengar suara yang lama tidak pria itu dengar, menyebabkan atensi pria itu berpindah ke orang yang menghubunginya melalui telepon.

“Teresa!” desis Jevon.

“I–iya, Om.”

Tanpa sadar Jevon tersenyum samar, ketika dugaannya benar. Namun, dia marah ketika mengingat gadis itu telah bersama pria lain dan baru menghubunginya sekarang.

“O–om? Maaf.”

Oh ****!

“Saya kira, kamu sudah mati!”

“Ishh, Om kalau ngomong suka seenaknya.”

“Masih berani kamu menghubungi saya, setelah kabur melanggar kontrak kerja!!” geram Jevon.

“Soal itu, aku minta maaf, Om. Aku tidak—“

“Datang ke kantor sekarang!” putus Jevon sepihak dan segera melajukan mobil Jeep Rubicon miliknya dengan cepat.

***

Bertepatan dengan Jevon yang akan memasuki lift khusus untuknya, Teresa muncul dengan nafas yang terengah akibat berlari.

“Tunggu!” seru gadis itu menyebabkan banyak pasang mata yang menoleh ke arahnya. Tak terkecuali Jevon.

Pria itu menatap tampilan gadis kecil itu dari ujung kepala sampai kakinya dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celananya. Kemudian tersenyum samar. Saking samarnya tak ada yang menyadari senyumannya itu.

Jevon menunggu dengan sabar langkah demi langkah kaki Teresa yang pendek. Ingin rasanya pria itu mengambil langkah lebar untuk segera menyeret gadis itu atau menghambur untuk memeluknya.

Namun, dia menahan itu semua, karena dia masih cukup punya kewarasan dan harga diri yang tinggi. Hingga akhirnya gadis itu sampai di hadapannya. Kemudian tanpa banyak bicara, Jevon masuk ke dalam lift diikuti oleh Teresa.

Keadaan di dalam lift sangat hening. Membuat Teresa bingung harus melakukan apa, sedangkan mulutnya sudah sangat gatal ingin mengeluarkan suara. Namun, dirinya takut. Karena Jevon mengeluarkan aura yang mencekam.

Padahal tanpa dirinya tahu, Jevon tengah menunduk mengamati tingkah Teresa yang menunduk dengan memainkan jemari tangannya.

Apa dia setakut itu padaku?

Saat ini Teresa sudah berada di dalam ruangan Jevon. Dirinya sudah berhadapan langsung dengan pria yang beberapa hari ini sering melintas di pikirannya.

“Ekhem!”

Teresa terlonjak kecil begitu mendengar deheman nyaring Jevon. Kemudian gadis itu mendongakkan kepalanya. Tanpa sengaja pandangan mata mereka bertemu dalam diam yang cukup lama. Seolah berbicara meluapkan rasa yang tengah keduanya rasakan, tapi entah perasaan apa itu.

“Kiranya kamu sudah menyiapkan berapa juta untuk mengganti rugi kontrak kerja itu?”Pertanyaan Jevon yang memecah keheningan.

Teresa tersentak, lalu mendengus. “Maaf, Om. Aku gak bermaksud untuk kabur. Hanya saja, keadaan waktu itu sedang mengerikan,” ungkapnya dengan memainkan jarinya.

Jevon hanya diam mendengarkan dan memperhatikan setiap ekspresi yang Teresa keluarkan dengan raut wajah datar yang membuat Teresa melengos kesal, tetapi tetap saja gadis itu melanjutkan ceritanya dengan menggebu-gebu dari awal teror hingga di selamatkan oleh Revan.

“Lagi pula, ini juga salahnya, Om!” tunjuk Teresa ke wajah Jevon tanpa takut.

Jevon mengangkat sebelah alisnya bingung. Karena tiba-tiba disalahkan oleh gadis itu, yang kini tengah mengerucutkan bibirnya lucu.

Bagaimana rasanya, ya?

Eh!

“Kalau saja, Om ngangkat telepon dari aku, atau setidaknya menanggapi pesanku. Aku gak akan pergi gitu aja!” sungutnya.

“Kenapa jadi saya? Bukankah kamu senang di selamatkan oleh Revan? Kamu bahkan tidak menghubungi saya sekali pun. Apa kamu menikmati hari-hari kamu bersama Revan tanpa ada saya yang mengganggu?” sindir Jevon pedas.

Teresa mendelik kesal. Kemudian berkacak pinggang menghadap pria itu. “Kenapa bawa-bawa Revan! Gini, nih. Kalau salah bukannya minta maaf malah melempar kesalahan ke orang lain. Aku, kan, udah bilang, kalau Revan membantu aku sama Ibu biar aman!”

“Kamu mulai berani sama saya?!” tekan Jevon membuat Teresa mengatupkan mulutnya seketika.

Jevon tersenyum miring dan duduk di singgasananya. “Duduk di situ dan jangan ke mana-mana sampai saya selesai!” perintahnya dengan menunjuk sofa yang berada di tengah ruangannya.

Teresa menghela nafas pasrah dan menyeret kakinya untuk menuruti perintah Jevon.

***

“Selamat siang, Nyonya Maxwell,” sapa resepsionis gedung Max Group yang menunduk.

Siska memang sedang mampir ke kantor Max Group setelah melakukan bakti sosial. Tujuan dia ke kantor itu, karena ingin memperbaiki hubungannya dengan Jevon yang renggang. Dia mencoba untuk berdamai dengan anaknya.

Siska mengangguk tersenyum membalas sapaan wanita yang menjadi resepsionis di kantor anaknya. “Selamat siang. Apa Jevon ada di dalam?”

Resepsionis itu mengangguk mengiyakan. “Ada, Nyonya. Hanya saja ... Bapak Jevon sudah berpesan untuk tidak mengganggunya,” jawabnya.

Siska mengerut bingung. “Apa ada rapat?”

“Bukan, Nyonya. Bapak Jevon sedang ada tamu.”

“Siapa? Apa salah satu pemegang saham atau dari perusahaan lain yang bekerja sama dengannya?”

“Bukan juga, Nyonya. Bapak sedang kedatangan tamu seorang gadis. Kalau tidak salah pacarnya.”

Siska tersentak. Kemudian menahan geramannya. “Apa gadis itu pendek dan memiliki rambut sebahu?”

“Iya, benar, Nyonya.”

Benar dugaannya. Gadis itu sudah muncul lagi dan kembali dekat dengan Jevon. Siska berterima kasih kepada resepsionis itu dengan ramah. Lantas pergi, urung bertemu dengan Jevon. Dengan emosi yang sudah mendidih, Siska masuk ke dalam mobil yang menunggunya dan melesat untuk kembali pulang.

***

Menuruti perintah Jevon, gadis itu merasa bosan. Matanya mengintai ke seluruh ruangan Jevon mencari hal yang menarik minatnya. Namun, nihil. Dia tidak menemukan apa pun. Satu-satunya yang menarik di ruangan ini menurut dia, hanya pemilik ruangan ini yang tengah serius dengan berkas-berkas di hadapan dan tangannya.

Teresa mendadak lemas. Tubuhnya merosot hingga posisinya saat ini seperti setengah rebahan dan duduk. Dia sangat bosan, belum lagi tidak ada suara apa pun selain suara jam dinding. Bosen juga lama-lama liat orang ganteng, kalau cuma diem-dieman.

Akhirnya gadis itu mengambil ponsel di saku celananya. Kemudian iseng-iseng mencari nama Jevon di laman pencarian. Teresa senang, karena nama yang dia cari ternyata muncul.

Tak banyak informasi pribadi yang dia dapat membuat gadis itu mendengus. Kesal karena tidak mendapat hal menarik, tanpa sengaja gadis itu menscroll layarnya dengan brutal. Hingga matanya melotot begitu dirinya membaca setiap kata yang ada di artikel itu.

Wajah tampan, tubuh atletis, harta melimpah dan hidup serba mewah tidak lantas membuat seorang pewaris Max Group itu menggandeng wanita cantik. Kabarnya, pria tampan itu memiliki orientasi seksual yang menyimpang.

“Om!” Teresa memekik tanpa sengaja menyebabkan Jevon mendesis menatap gadis itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!