Keberadaan Teresa

Jevon masih terus mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Teresa. Dia mengerang frustrasi karena sudah hampir seminggu gadis kecilnya tak kunjung ditemukan. Terlebih tidak ada jejak sedikit pun yang ditinggalkan gadis itu.

Kini raut wajah pria itu dingin, datar bak robot. Lebih-lebih di perusahaannya ada sedikit masalah. Bertambah emosi lah seorang Jevon, tanpa ada sedikit pun senyum sinis di wajahnya.

“Lo, kenapa sih?” tanya Revan jengah yang hanya dapat lirikan tajam oleh Jevon.

Revan menghela nafas pasrah. “Udah lah, gue pulang dulu. Lo jangan lupa pulang. Jangan kek robot!” pesannya sebelum pergi meninggalkan Jevon.

Revan pun mengendarai mobilnya membelah jalanan di sore hari menikmati langit senja yang menenangkan. Dia, bahkan membuka kaca pintu mobilnya menikmati semilir angin yang masih sejuk di daerah kota tetangga.

Iya, Revan sudah berada di luar kota. Kota yang masih sejuk dengan banyak pohon rindang. Dia tersenyum kecil, sambil sesekali menyugar rambutnya dengan sebelah tangannya.

Dia memasuki pemukiman rumah sederhana yang berjejer rapi. Kemudian mengambil beberapa belanjaan titipan Teresa yang sempat dia beli sebelum sampai di kota ini.

“Teresa!” panggil Revan dengan mengetuk pintu rumah yang paling ujung.

Tak menunggu lama, Teresa membuka pintunya dan menyambut kedatangan sekretaris tampan itu dengan senyum cerianya.

“Ayo masuk!” ucapnya dengan membuka pintu rumahnya lebih lebar.

Revan membalas senyuman Teresa, mengangguk dan berjalan masuk terlebih dahulu ke dalam rumah kontrakan satu lantai itu. Dina yang mendapati kedatangan Revan pun tersenyum. Terlebih, Revan menghampiri Dina lebih dulu untuk menyalami tangan wanita paruh baya itu.

“Ayo makan, Nak. Ibu sama Teresa baru selesai masak buat makan malam,” ajak Dina semangat dan membawa Revan ke meja makan.

Teresa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ibunya yang sudah menyeret Revan. Dia pun menyusulnya karena memang akan makan malam.

“Tapi, ibu masaknya bukan makanan mewah, Nak Revan. Gak apa-apa, kan?” papar Dina.

“Makanan kayak gini, nih, Bu yang saya kangenin. Masakan rumah hasil tangan seorang ibu. Rasanya lebih spesial,” jawabnya dengan tersenyum semakin lebar. Bahkan, matanya sudah berbinar melihat makanan yang ada di depannya.

Dina tersenyum senang, malahan dia sudah sangat antusias mengambilkan nasi serta lauk pauk hingga piring yang dipegangnya penuh. Kemudian menyuguhkannya ke Revan yang diterima oleh pria itu dengan senang hati.

***

“Jevon sudah memberi pelajaran ke orang yang meneror kamu,” ucap Revan memecah keheningan antara dirinya dan Teresa.

Teresa tersentak, membulatkan kedua matanya dengan menoleh ke arah Revan. “Terus gimana? Pasti sebentar lagi dia bakal nemuin aku,” panik Teresa.

Revan terkekeh melihat kepanikan Teresa. “Mana mungkin! Sejak kamu hubungin aku waktu itu. Secepat mungkin aku menyabotase semua jejak yang berhubungan sama kamu, dan Ibu,” jelasnya. Kemudian menyesap kopi di hadapannya.

Teresa terbelalak dengan mulut yang menganga. Melihat itu Revan memasukkan sepotong bolu ke mulut gadis kecil itu. Membuat Teresa semakin membulatkan matanya. Kemudian mendengus kecil saat bolu itu sudah berhasil dia telan.

“Kok kamu bisa sampai menyabotasenya?” tanya gadis itu penasaran.

“Kamu lupa Jevon seperti apa? Aku yang sejak kecil sama dia sudah tau banyak tentang semua kelicikan yang bisa dia lakukan. Jadi, untuk mencegah hal itu terjadi. Aku harus gerak cepat lebih dulu. Sampai keadaan di sana aman. Kamu baru bisa balik lagi,” papar Revan panjang lebar.

Teresa mengangguk mengerti. Bukan karena dia ingin kabur dan melanggar kontrak dengan Jevon. Akan tetapi, dia juga masih merasa takut jika harus kembali sekarang. Walaupun kata Revan, pria kejam itu sudah melakukan tindakan. Namun, rasa takutnya masih ada.

Terlebih saat dia teringat saat ada mobil yang hendak menabrak taxi yang sedang dia tumpangi. Dengan segala doa yang dia panjatkan waktu itu dan juga merengkuh tubuh ibunya yang ringkih. Dirinya sudah pasrah bila saja pada akhirnya dia akan ditabrak dan mati saat itu juga.

Beruntung sebelum naik taxi itu, dia sudah lebih dulu menghubungi Revan, karena Jevon yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi sama sekali. Niatnya sih hanya ingin memberitahukan kepergiannya agar disampaikan ke Jevon. Akan tetapi, dugaan buruk Revan yang membuat Teresa menceritakan segala kejadian teror itu hingga dia mengambil keputusan untuk pergi.

Dia sangat bersyukur karena setelah menceritakan hal itu Revan cepat mengambil pergerakan, hingga entah bagaimana caranya, dia melakukan semuanya dengan rapi. Memblokade mobil yang hampir menabrak taxi yang di dalamnya ada dirinya dan ibunya. Bahkan, sekretaris itu sampai menghapus semua jejak dia dan ibunya tanpa sepengetahuan Jevon.

Tidak ada suara Teresa yang kembali menginterupsi membuat Revan yang tengah fokus ke laptop yang ada di depannya menoleh ke sampingnya, di mana Teresa duduk.

Mereka memang sedang duduk di ruang tamu berdua tanpa Dina, karena ibunya Teresa itu telah pamit untuk beristirahat lebih dulu.

Revan mengernyit bingung mendapati Teresa yang tengah melamun. Pandangan matanya kosong. Lantas Revan menegakkan badannya, kemudian menepuk pundak Teresa pelan. Membuat gadis itu terlonjak kecil.

“Iya, kenapa?” kagetnya.

Revan menghela nafas, menggeleng kecil. “Kamu masih takut?” tanya pria itu.

Teresa mendongak menatap Revan dengan wajah yang tidak bisa dijabarkan. Gadis itu menghela nafas lelah. “Iya. Jika saat itu kamu tidak datang lebih cepat. Mungkin aku ... aku sama ibu—” ucap Teresa terpotong karena dirinya mulai berkaca-kaca.

Revan gelagapan mendapati Teresa yang kini akan menangis. Dia memang sangat tidak bisa menangani wanita yang menangis. Meskipun sebelumnya dia sudah menghadapi Teresa yang menangis histeris sebelumnya sesaat setelah kejadian taxi yang akan menabraknya. Tetap saja, dia masih belum bisa menangani.

Hah ... Kenapa harus nangis lagi!

Alhasil dengan gerakan kaku, sekretaris tampan itu menepuk-nepuk pelan punggung Teresa. Berharap gadis itu kembali tenang. Yang satu kejamnya minta ampun. Yang satu lagi gampang nangis. Cocok udah!- batin Revan menggerutu.

Setelah dirasa cukup tenang. Teresa mengusap sisa air mata yang sudah jatuh tanpa dia hendaki sebelumnya. “Makasih, ya, Rev. Aku gak tau bakal gimana kalau gak ada bantuan kamu waktu itu,” ucap Teresa dengan masih ada sisa isak tangisnya.

Revan tersenyum. “Udah gak apa-apa. Lagian ini memang gak seharusnya lo alamin. Gara-gara sahabat bodoh aku itu. Jadi kayak gini semuanya!” terang Revan bersungut-sungut, membuat Teresa terkikik geli.

“Oh iya. Aku usahain agar Jevon tidak cepat menemukan keberadaan kamu, biar kamu tenang dulu di sini sama Ibu. Baru setelah itu aku akan menyuruh orang biar jemput kamu kalau kamu sudah tenang dan keadaan di sana mulai aman terkendali,” tambahnya menenangkan perasaan gadis itu.

Teresa mengangguk. Kemudian dia tersentak dan menepuk keningnya membuat Revan bingung. “Aku boleh minta tolong lagi, gak?” tanya Teresa dengan mengulum senyum.

Revan menjadi waswas, tapi tak urung dirinya mengangguk. “I–iya," jawabnya gagap.

Teresa menghela nafas ringan. “Aku minta tolong sampaikan pesanku ke Kak Alea. Kalau aku ijin gak masuk dulu. Aku yang mau chat, gak punya nomernya, tidak sempat minta. Bisa, ya? Teresa berucap dengan antusias seolah lupa dengan tangisnya barusan.

Revan tersenyum lebar mendengarnya. “Boleh dong!” sahutnya semangat.

Teresa pun berbinar senang. “Sama sekalian mintakan nomor hpnya, ya,” mohonnya lagi.

“Siap! Nanti aku mintakan!” Revan menyahut dengan sangat antusias membuat Teresa mengernyit bingung melihatnya.

Tanpa Teresa tahu, di otak Revan justru telah menyusun rencana untuk datang ke toko bunga itu esok hari sepulang dari kerja dengan senyum-senyum tidak jelas. Kalau begini, kan, aku ada alasan buat bertemu dia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!