“Teresa berangkat dulu, ya, Buk. Ibu jangan terlalu capek. Lusa kan jadwal ibu untuk cuci darah,” ucap Teresa dengan menyalami tangan ibunya.
Sang ibu tersenyum dan mengangguk. “Iya, Nak. Kamu hati-hati kerjanya.”
Teresa tersenyum lebar, mengangguk dan memberikan gerakan ok menggunakan tangannya. “Assalamualaikum, Bu!” pamitnya dan berlalu keluar dari kamar kosnya.
Sejak terakhir kali mendapat teror dan dibuntuti oleh orang aneh yang membuatnya selalu cemas. Kini, dalam seminggu terakhir sudah tidak ada lagi orang mencurigakan itu. Teresa jadi berpikir, jika peneror itu salah orang. Karena Teresa bukan orang penting hingga berurusan dengan peneror.
Teresa pun mulai bekerja seperti biasanya. Merangkai buket bunga dan juga mulai bisa menanam beberapa bunga. Sore hari waktu yang paling dia suka, karena dia bisa menyiram bunga di balkon dengan menikmati langit senja. Itu membuatnya nyaman, dan tenang. Namun, kali ini ketenangannya terusik oleh sebuah panggilan dari orang kaya gabut, yang sialnya itu bosnya sendiri—Jevon. Dengan malas-malasan Teresa mengangkat panggilan itu.
“Ke apartemen sekarang!” perintahnya yang langsung mematikan telepon sepihak. Teresa mendengus. Kemudian melangkah menuruni tangga untuk segera pergi ke apartemen Jevon.
Teresa mencari-cari keberadaan Alea, yang ternyata ada di taman belakang. Yang berjongkok membersihkan beberapa tanaman bunga yang mati dan menggantinya dengan yang baru. Membuatnya tidak terlihat begitu jelas oleh Teresa. Teresa segera menghampirinya.
“Kak Alea!” panggil Teresa menepuk pundak Alea. Membuat Alea terperanjat kaget, mengelus dadanya.
“Ishh ... kamu tuh ngagetin aja!” serunya menepuk lengan Teresa.
Teresa terkikik geli karena berhasil mengageti Alea. “Aku ijin pulang, dulu, ya, Kak,” pamitnya.
“Iya. Hati-hati Teresa,” jawab Alea tersenyum.
***
Teresa mengedarkan pandangannya begitu memasuki unit apartemen Jevon. Bagaimana bisa Teresa masuk? Jawabannya karena Jevon telah mengiriminya password apartemennya ke Teresa sesaat setelah menghubunginya tadi. Apartemen itu terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia.
Teresa terperanjat begitu Jevon yang tiba-tiba berdiri dari duduknya di sofa yang memunggungi Teresa. Yang tidak terlihat sebelumnya oleh gadis itu. Teresa mengelus dadanya lega. Kemudian sedikit mendongak menatap Jevon yang kini sudah berada di hadapannya, dengan jarak yang cukup dekat.
“Saya lapar,” ucap Jevon singkat dan padat.
Teresa menjadi mengerutkan keningnya bingung. Tak terlalu mengerti dengan ucapan Jevon yang selalu singkat-singkat itu. Hal itu membuat Jevon dengan begitu teganya menyentil kening Teresa. Membuat Teresa mengaduh kesakitan. Lalu, mengelus dahinya yang selalu menjadi korban kekerasan oleh Jevon.
“Masak! Bukan menampilkan wajah bodoh seperti itu!” jelas Jevon dengan mulut tajamnya.
Teresa merengut. “Baiklah!” jawab gadis itu lemas.
Ingin membantah, tapi teringat dengan poin kontraknya. Ingin menyahut takut Jevon melakukan kekerasan lebih lagi. Jadi, dia pun mengerjakan perintah Jevon. Meski sebenarnya dirinya itu malas.
Teresa melihat bahan-bahan apa yang ada, sambil memikirkan masakan apa yang kiranya akan dia masak. Ketika melihat ada cumi-cumi, dan papcoy. Dia mulai mendapat ide akan masakannya. Namun, teriakan Jevon membuat Teresa menggerutu.
“Saya ingin nasi goreng udang!” teriak Jevon. Alhasil, Teresa mencari-cari udang yang ternyata tersimpan di bagian belakang. Kemudian memasak sesuai yang di perintahkan Jevon.
“Kenapa hanya satu?” tanya Jevon ketika mendapati satu piring nasi goreng di meja makan. Dia menatap Teresa dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Teresa lagi-lagi mengerutkan keningnya. “Memang ada orang lain yang akan makan bersama, Anda?” tanyanya dengan mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Kamu.” Jevon menyahut cepat, hingga membuat Teresa sedikit tersentak.
“Eh!”
Jevon melengos. “Sudahlah. Duduk temani saya makan!” katanya lagi dan mulai acara makannya.
Teresa yang bingung harus berbuat apa, tanpa sadar menatap lekat Jevon. Mengamati bagaimana wajah sangar itu menikmati masakannya, dan tak pernah berkomentar sejauh ini. Padahal dirinya tidak terlalu pandai memasak dan belum ada orang lain selain ibunya yang mau memakan masakannya. Namun, Jevon malah santai-santai saja memakannya dengan tenang tanpa suara.
“Saya sudah selesai. Apa kamu masih belum selesai memandangi saya?!” ucap Jevon menatap Teresa tajam.
Teresa tersentak, gelagapan karena telah di pergoki sedang menatap Jevon dengan terang-terangan. “Ah ... iya. Maaf, Pak,” ucap Teresa gugup.
Jevon mendesis. “Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya Pak, Teresa!”
“Tapi—“
Belum sempat Teresa menjawab, Jevon sudah menatap tajam Teresa dan bersuara dingin. “Ingat poin kontraknya Teresa. Jangan membantah!” Keputusan Jevon mutlak membuat Teresa mengatupkan bibirnya rapat. Kemudian mengangguk mengerti.
Jevon memundurkan kursi yang dia duduki dan berlalu begitu saja dari hadapan Teresa. Melihat kepergian Jevon lantas Teresa membersihkan peralatan makan bekas pria itu. Dia jadi bingung harus apa lagi setelah ini. Mengingat bosnya itu sangat irit bicara dan dalam keadaan mood yang selalu buruk.
“Ayo! Saya antar kamu pulang!” Jevon muncul tiba-tiba, lalu menarik pelan pergelangan tangan Teresa.
***
Teresa yang sedang sibuk dengan buket-buket bunga yang telah dia selesaikan beberapa. Diganggu dengan ponselnya yang tak henti-hentinya berdering. Dia melihat ponselnya dan mendapati nomor asing yang menghubunginya. Jadi, dia abaikan dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Selagi bukan Jevon, abaikan!-pikirnya.
Akan tetapi, dering ponselnya tak kunjung berhenti membuat dirinya kesal. Hingga Alea yang berada di sampingnya terlonjak kecil.
“Siapa, Tere?” tanya Alea lembut.
Teresa menoleh ke Alea. Mengedikkan bahunya dan memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan nomor tanpa nama. “Gak tau, Kak.”
“Angkat saja, siapa tau ada hal penting,” ucap Alea. Mendengar pendapat Alea, lantas Teresa menganggukinya. Menerima panggilan dari nomor asing itu.
“Halo?” sapa orang di seberang. Teresa mengernyit, merasa kenal dengan suara itu.
“Halo, Teresa?” sapa orang itu lagi.
Teresa sedikit terkejut begitu orang itu tahu namanya. “I ... iya halo. Siapa, ya?”
Terdengar helaan nafas lega di seberang sana. “Saya Revan, sekretaris Jevon.”
Teresa terbelalak karena sekretaris ganteng yang menghubunginya. “Eh ... iya. Ada apa, ya, Pak?” tanya Teresa kikuk.
“Panggil Revan saja. Jadi, tadi sebelum Jevon menghadiri rapat. Dia berpesan untuk menghubungi kamu. Agar segera ke sini.”
Teresa melotot karena ini masih jam kerjanya di Florist. “Tapi Pak—“
“Saya tunggu di kantor kalau begitu,” ucap Revan dan mematikan panggilannya. Bahkan, mulut Teresa masih menganga yang terpaksa harus segera ditutup sebelum menyelesaikan omongannya.
“Gak bosnya, gak sekretarisnya. Suka matiin telpon sepihak,” gerutu Teresa mengerucutkan bibirnya.
Melihat hal itu, lantas membuat Alea bingung. “Ada apa, Tere?”
Teresa menoleh ke arah Alea. Kemudian tersenyum canggung. “Hehe. Itu ... kak,” ucap Teresa terpotong. Karena dia bingung harus menjelaskannya kepada Alea.
Alea menghentikan aktivitasnya yang sedang merapikan beberapa bunga. “Kenapa?” tanyanya dengan menatap Teresa.
Teresa menggaruk hidungnya. Kebiasaan saat dirinya bingung dan canggung. “Begini, Kak. Jadi ... sebenernya, aku itu kerja di dua tempat. Karena aku harus cari uang tambahan buat pengobatan ibu aku, Kak,” jelasnya dengan menunduk takut.
Alea mengangguk-angguk. “Lalu?”
Teresa mendongak. Membalas tatapan Alea. “Lalu, itu tadi bos aku yang nelpon. Aku ... di suruh buat segera ke sana,” ucap Teresa gugup.
Alea tersenyum. “Ya sudah gak apa-apa. Lagian buket-buket pesanannya juga udah selesai semua. Nanti kamu bisa kembali lagi. Atau besok juga gak apa-apa,” jawab Alea. Membuat Teresa ternganga tak percaya. Kemudian mengatupkan bibirnya, tersenyum.
“Makasih, Kak. Kak Alea yang terbaik,” ucap Teresa yang refleks memeluk Alea. “Aku pergi dulu, ya, Kak!” lanjutnya pamit untuk pergi.
***
Dengan peluh yang membasahi pelipisnya karena berlarian sejak turun dari ojek hingga masuk ke kantor Jevon. Kini Teresa masih harus berhadapan dengan resepsionis yang mencegatnya. Teresa menggerutu kesal karena resepsionis itu tidak percaya jika Teresa ada janji dengan Jevon. Masa dia gak ngenalin aku. Aku kan udah pernah kesini .
Teresa hendak diusir dan ditarik paksa oleh satpam sebelum suara dering ponselnya menyelamatkannya. Revan lah yang menghubunginya. Teresa tersenyum lega dan langsung saja dia mengangkat panggilan dari Revan. Kemudian memberikan ponselnya ke resepsionis untuk berbicara dengan Revan, yang kemudian membiarkan Teresa untuk masuk.
“Kenapa kamu selalu telat?!” Suara dingin Jevon menyapa Teresa begitu masuk ruangan pria itu. Revan pun meringis mendengarnya.
Teresa menunduk takut menghampiri Jevon yang kini tengah duduk di kursi kebesarannya dengan raut wajah yang datar dan dingin. Memosisikan dirinya di hadapan pria itu yang hanya di batasi meja kerja. Tepat di samping Revan.
“Maaf, tadi saya masih menyelesaikan pekerjaan saya,” cicit Teresa.
“Bukankah di kontrak sudah tertera jelas jika kamu harus selalu siap dipanggil kapan saja?!” geram Jevon.
Teresa semakin mengerut takut. Mendekatkan dirinya ke Revan. “Maaf, saya salah," cicitnya.
Jevon berdiri dari duduknya menghampiri Teresa. Semakin dekat Jevon ke Teresa. Semakin mendekatkan diri pula gadis itu ke Revan. Sampai Revan merasa terpojokkan.
Jevon mendengus. “Kenapa kamu nempel-nempel ke Revan?!” serunya kesal. Teresa sampai terlonjak kecil memegang dadanya. “Kamu suka ke Revan?” tanyanya lagi dengan dingin.
Teresa mendongakkan kepala, menatap Jevon yang berada di hadapannya. Kemudian menggeleng kecil. “Pak Revan ganteng,” celetuknya polos.
Revan mendelik. Kemudian berusaha menyembunyikan tawanya. Lain halnya dengan Jevon yang menggeram dan hampir mengumpat. “Lebih ganteng saya apa Revan?” tanyanya dengan sorot mata tajamnya.
Teresa menatap lekat Jevon dan Revan bergantian dengan wajah yang serius. “Menurut saya, sama-sama ganteng. Hanya ... wajah, Anda, lebih seram,” jawab Teresa dengan mata yang mengerjap-ngerjap polos.
Revan sekuat tenaga meredam tawanya agar tidak keluar, sedangkan Jevon sudah menggeram menahan marah.
“Temani saya makan!” putusnya mengalihkan pembicaraan karena moodnya sudah buruk. Kemudian melenggang pergi lebih dulu.
Teresa yang tidak mengerti masih memproses apa yang terjadi. Membuat Jevon lagi-lagi kesal. “Cepat Teresa!” bentak Jevon dengan suara yang menggelegar, yang di angguki cepat oleh gadis itu.
Setelah itu, Teresa tidak bisa menjauh sedikit pun dari Jevon. Karena ada saja permintaan Jevon yang membuatnya harus menurutinya. Entah yang menemaninya membeli jam tangan, kemudian pulang memberi makan Shion dan Lion kucingnya, menyuruh Teresa membuatkan kopi, menyiapkan air hangat untuk kakinya dan masih banyak pekerjaan gak jelas yang di suruh Jevon ke Teresa, hingga malam. Sampai bunyi ponsel Teresa menghentikan Jevon yang ingin memerintah lagi.
Teresa tersentak, raut wajahnya cemas. Bahkan, air matanya sudah mulai berjatuhan. Hal itu tidak luput dari mata tajam Jevon yang menatapnya sejak tadi. Begitu telepon mati. Teresa menahan isak tangisnya dan mencoba setenang mungkin untuk bicara dengan Jevon.
“Ada apa?” tanya Jevon datar.
Teresa menghirup nafas dan menghembuskannya perlahan. “Ibu ... saya masuk rumah sakit. Apa ... boleh ... saya ijin untuk pulang?” tanyanya dengan suara bergetar. Tanpa Teresa tahu Jevon sedikit tersentak.
“Ayo, saya antar!” Jevon menyahut lantas mengambil kunci mobilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments