Pagi-pagi Teresa telah direcoki panggilan dari Jevon. Padahal hari ini dia akan bersantai ria, karena hari minggu. Dia ke Florist nanti siang. Akan tetapi, perintah dari Jevon membuat dia mau tidak mau bangkit dari tidurnya. Demi gaji yang banyak. Semangat Teresa!-pikir Teresa.
Teresa memencet bel apartemen Jevon dengan brutal. Membuat pemiliknya mendengus. Jevon yang masih dengan wajah khas bangun tidurnya menyuruh Teresa untuk masuk, dan menyodorkan makanan kucing kepada gadis itu.
Teresa melongo. Dia sejak pagi buta di telepon hanya untuk memberi makan kucing. Dia mengernyit bingung, memikirkan pekerjaan macam apa sebenarnya yang dia tanda tangani kontraknya. Menurutnya sangat teramat aneh. Meski begitu, Teresa tetap menuruti perintah tersirat itu.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Jevon yang kini muncul dengan wajah yang lebih segar.
Teresa menoleh. Memindai penampilan Jevon dari atas sampai bawah. Kemudian menggeleng. “Belum, Pak."
Jevon berdecak. “Jangan panggil saya Pak, Teresa!” ucapnya tegas.
Mata Teresa membola. “Bapak tau nama saya?!” pekiknya heboh, kemudian menutup mulutnya dengan tangannya.
Jevon kembali berdecak. “Bisa berhenti panggil saya dengan kata Pak?” ucapnya lagi.
Teresa mendengus. “Terus mau manggil apa? Mas, Kakanda, Aa’, Om atau apa?”
Jevon mendelik tajam mendengar pilihan yang sama sekali tidak ada yang bagus untuk dirinya. “Tidak ada yang lebih bagus?” protes pria itu kesal.
Teresa menghela napas dalam. “Bapak maunya di panggil apa? Ayang, Ay, Papa, Daddy sugar, apa Sayang?” cerocos gadis itu lagi.
Jevon menyeringai. “Itu lebih baik, Sayang," sahutnya. Sontak Teresa pun tersedak. Padahal dia sedang tidak meminum apa pun.
Dia menatap Jevon yang kini tengah menyeringai ke arahnya. Dengan menelan ludah susah. “Yakin mau di panggil sayang?” tanya Teresa pelan.
“Hmm. Atau kamu bisa panggil saya dengan nama saja,” balas Jevon.
Kemudian fokus kepada tablet yang dia bawa. “Masak lah. Saya lapar!” titahnya tanpa mengalihkan atensinya.
Sebagai kacung, Teresa pun menurutinya. Dia melihat-lihat isi di dalam kulkas orang kaya gabut itu, yang ternyata isinya cukup lengkap. Padahal dia sudah berpikir negative pada Jevon. Memprediksi makanan instan yang akan dia temui. Ternyata salah. Lantas Teresa pun memulai acara masaknya.
Teresa memasak makanan yang biasa dia masak. Omelet, tumis wortel dan brokoli. Dia tidak peduli masakannya akan sesuai dengan lidah Jevon atau tidak. Salah sendiri menyuruhnya masak tanpa kejelasan masak apa. Kemudian Teresa memanggil Jevon untuk sarapan. Tidak sesuai dengan dugaannya. Ternyata Jevon makan dengan tenang tanpa berkomentar apa pun hingga selesai.
“Tunggu saya sebentar. Jangan ke mana-mana!” ucapnya memperingati gadis kecil itu dan melangkah ke arah kamarnya. Teresa hanya menggngguk menuruti.
Tak seberapa lama, Jevon keluar dengan pakaian yang rapi. Kaos hitam dan juga celana jeans. Tidak lupa dengan jam tangan mewah yang bertengger di pergelangan tangannya.
“Ayo!” ajaknya kepada Teresa.
Teresa tersadar dari keterpesonaan sekilasnya kepada Jevon. Gadis itu kemudian menyusul pria itu yang telah lebih dulu melangkah keluar dari apartemennya. Teresa menyamakan langkah lebar Jevon dengan kesusahan, karena kakinya yang pendek. “Mau kemana?” tanya Teresa.
“Keluar!” jawabnya dengan tetap melangka memasuki lift.
Teresa mendengus. “Iya keluar kemana, Pak?” tanyanya lagi mencoba bersabar dengan setiap jawaban dari Jevon.
“Cari udara segar, Teresa!”
***
Teresa menatap sekeliling Mall yang tidak asing ini. Iya, Mall tempat dia bekerja dulu. Lantas, Teresa bergegas untuk menyamakan langkahnya dengan langkah Jevon. Teresa menggerutu karena dia capek mengikuti langkah lebar Jevon. Hingga dia berhenti sejenak menetralkan nafas. Kemudian berlari menyusul Jevon.
Dug!
Kening Teresa berdenyut nyeri, karena lagi-lagi menabrak punggung keras Jevon. Dia tanpa sadar mengumpat. “Anjir!”
Jevon sedikit menunduk, menatap Teresa. “Kamu hobi sekali nabrak saya!” ucapnya pedas.
Dengan mengusap keningnya dia mendongak. Membalas tatapan Jevon. “Bapak berhentinya suka mendadak. Kayak tahu bulat,” sungutnya tak mau disalahkan.
Jevon berdecak. “Kamu ngapain lari-larian di sini? Sudah saya bilang jalan di samping saya. Bukan di belakang!” Jevon menggeram tertahan.
Teresa mendelik, dengan berkacak pinggang. “Bapak jalannya cepet. Aku capek ngikutin langkah Bapak yang lebar itu!” balas Teresa menatap Jevon sengit.
Jevon tersenyum samar, saking samarnya tak ada yang mengetahui senyumnya. “Pendek!”
Teresa ternganga dan dia hendak kembali melawan. Akan tetapi, urung begitu tangannya di tarik begitu saja oleh Jevon. Banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Dia menunduk takut. Teringat akan pertemuan konyolnya dengan Jevon. Kemudian, gadis kecil itu tersentak saat matanya menangkap salah seorang yang melihat ke arahnya dengan aneh. Membuat dia curiga.
Teresa mencoba mencari orang aneh itu yang sangat cepat menghilang. Dengan masih digandeng oleh Jevon. Matanya memindai setiap tempat di Mall itu. Dia jadi takut dan cemas. Mengingat kemarin dia mendapat paket aneh.
Jevon menyadari gelagat aneh Teresa. Namun, dia bersikap tenang. Menunggu hingga gadis itu sendiri yang bilang kepadanya. Pria itu pun terus membawa Teresa ke salah satu toko brand terkenal.
Jevon memilih salah satu dress, skinny jeans dan juga blouse untuk gadis kecil itu. Teresa yang memang tidak terlalu memperhatikan Jevon, tersentak ketika disodorkan beberapa pakaian oleh Jevon.
“Coba!” Titah Jevon. Teresa menghela nafas, mengambil baju-baju itu untuk mencobanya.
Teresa keluar dengan dress biru langit yang sangat pas di tubuhnya. Jevon menatapnya sekilas. “Ambil! Ganti yang satunya!” ucapnya lagi.
Teresa kembali keluar dengan blouse pink muda dan skinny jeans biru muda. Lagi-lagi Jevon menatapnya sepintas. Kemudian memanggil salah seorang karyawan toko itu. “Saya ambil dress dan satu set pakaian yang dipakai pacar saya,” ucapnya dengan menyodorkan black card miliknya.
Karyawan itu tersenyum ramah. “Baik, Pak," balas karyawan itu dengan menunduk sopan.
“Oh iya, biarkan pakaian itu langsung dipakai!” ucap Jevon lagi, yang di angguki oleh karyawan toko itu.
Selesai dengan baju, Jevon membawa Teresa ke toko sepatu. Untuk membelikannya beberapa flat shoes. Matanya sudah sakit melihat flat shoes yang dipakai Teresa yang sudah hampir menganga. Teresa hanya menurutinya saja. Karena dia masih cemas akan penguntit itu.
“Ada apa?!” tanya Jevon. Dia kini menatap tajam Teresa di hadapannya, yang sudah duduk di salah satu restoran chiness food.
Teresa tersentak. Kemudian menatap Jevon dengan setenang mungkin. “Gak apa-apa,” jawabnya tersenyum.
Jevon mengangkat sebelah alisnya tinggi. “Jangan kira saya tidak sadar akan gelagat aneh kamu. Meskipun kamu memang aneh. Tapi, kali ini kamu seperti ... ketakutan.”
Teresa meringis. Merutuki dirinya sendiri yang sangat tidak pandai berbohong. Atau memang Jevon yang sangat peka. “Katakan, Teresa!” desis pria itu yang sudah menatap tajam Teresa.
Teresa menghela napas dalam. “Saya merasa ada yang mengikuti saya sejak kemarin,” jujurnya dengan takut-takut.
Jevon terkekeh. “Sepenting apa kehidupan kamu, sampai ada orang yang suka rela menguntitmu?” sindir Jevon.
Mendengar itu Teresa mendengus. “Saya juga gak tahu. Sepenting apa hidup saya sampai diikuti orang. Bahkan, dikirim paket bangkai tikus!” balasnya kesal membeberkan semua yang dia alami.
Rahang Jevon mengeras. “Apa ada lagi, kejadian janggal yang kamu alami?” tanyanya dengan raut wajah yang dingin. Teresa menggeleng kecil.
“Setelah ini saya antar kamu pulang,” putusnya mutlak.
Teresa menatap Jevon. “Aku harus ke toko bunga untuk kerja,” balas Teresa menolak.
Jevon yang sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya, menoleh dan menatap tajam Teresa. “Jangan membantah Teresa!” desisnya. Membuat Teresa susah payah menelan ludahnya. Kemudian mengangguk kaku.
Benar saja, Jevon mengantar Teresa sampai depan pintu kamar kosnya. Dia menyuruh Teresa untuk tidak keluar lagi hari ini. Kemudian berbalik pergi.
Teresa menatap punggung Jevon dengan bingung. Namun dia menurut dan masuk ke dalam kamar kosnya. Menemani sang ibu.
***
“Cepat cari tahu orang yang telah membuntuti Teresa dan juga pengirim paket bangkai sialan itu! Secepatnya!” perintah Jevon kepada anak buahnya melalui telepon. Kemudian Jevon menelepon Revan.
“Ada apa?” tanya Revan di seberang sana.
“Kirim dua orang untuk memantau Teresa sekarang!” titah Jevon.
“Ada apa, Jevon?” tanya Revan lagi yang sepertinya penasaran.
“Gue tunggu di apartemen!”
Revan lebih dulu sampai di apartemen Jevon. Selang lima menit Jevon muncul dengan raut wajah dingin dan rahangnya yang mengeras tajam. Tanpa berkata apa pun, Jevon masuk ke unit apartemennya. Disusul oleh Revan.
“Ada yang meneror Teresa,” ucap Jevon tanpa basa-basi.
Revan sedikit tersentak. Kemudian menghela nafas. “Sudah gue bilang. Jangan libatin dia, Jev! Gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan hidup lo yang rumit itu!” seru Revan kembali mengingatkan sang sahabat.
Bunyi dering telepon memecah suasana dingin keduanya. Jevon mengangkat telepon itu. “Bagaimana?” tanya Jevon langsung pada intinya.
“Sudah, Pak. Dan sesuai dengan dugaan Bapak.”
Jevon terkekeh. “Bunuh dia. Saya akan mengurus dalangnya!” ucap Jevon tanpa berpikir panjang. Kemudian mematikan panggilan sepihak.
Revan terperanjat. Menatap Jevon horor. “Gak ada cara lain selain bunuh-bunuhan?” tanya Revan.
Jevon menoleh ke arah sang sahabat. “Lo tau sendiri. Gue gak suka diusik!” jawabnya dingin. Lalu kembali fokus ke ponselnya. Kemudian menghubungi seseorang.
“Halo, Jevon?” Terdengar suara di seberang.
“Jangan mengusik saya. Jika tidak ingin bernasib sama dengan orang suruhan Anda!” ucap Jevon dingin tanpa basa-basi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Lies Atikah
jevon punya mm2 tiri x yah
2025-01-26
0