Teror Pertama

Menyambut pagi ini, Teresa berangkat ke Florist dengan semangat dan wajah yang berseri-seri. Bagaimana tidak, dia sudah ditransfer uang separuh gajinya oleh Revan, sekretaris Jevon. Padahal dia belum mulai bekerja.

Teresa kini sedang merangkai beberapa buket bunga pesanan pelanggan, di temani oleh Alea. Dia memang cepat belajar. Jadi, Alea merasa senang, karena dia tidak kewalahan dengan pesanan yang dia dapat.

Begitu siang, Alea memesan makanan untuk dirinya dan juga Teresa, sedangkan Teresa menyiapkan buket bunga yang sudah siap diantar. Ataupun diambil langsung oleh pelanggannya.

Teresa tersenyum bangga menatap beberapa buket bunga hasil rangkaiannya. “Aku memang pintar,” gumamnya.

Alea terkekeh geli melihatnya. “Mau sampai kapan kamu liat buket-buket itu, Tere? Ini makanannya sudah mulai dingin.”

Teresa menoleh, kemudian menatap ayam goreng dengan sambal matah yang sudah disiapkan oleh Alea. Benar saja, nasi dan ayam itu sudah tidak terlihat mengepul asap. “He he. Aku terlalu senang melihat hasil rangkaian bungaku, Kak,” ucap Teresa terkikik.

Alea menggeleng kecil. “Sudah sini, makan dulu!” ajaknya dengan menggerakkan tangannya memanggil Teresa.

Teresa mengangguk. Kemudian menghampiri Alea. Mereka makan siang bersama di selingi obrolan-obrolan ringan perihal bunga, kehidupan sehari-hari dan banyak lagi hingga tidak terasa makanannya telah habis.

Para grab berdatangan untuk mengantar buket-buket yang sudah dipesan sebelumnya, begitu pula para pelanggan yang datang langsung mengambil. “Akhirnya pesanan untuk hari ini selesai, Tere. Kita lanjut liat bunga-bunga yang beberapa hari lagi siap untuk di petik, yuk!” ajak Alea.

Teresa berbinar senang. “Ayo, Kak!” jawabnya dengan semangat.

Di tengah-tengah melihat kondisi bunga, ponsel Teresa berdering. Dirinya mengernyit bingung melihat nomor yang tidak dia kenal meneleponnya. Teresa mematikannya karena merasa itu hanya sebuah spam. Kemudian dia lanjut untuk membantu membereskan peralatan-peralatan untuk merangkai bunga yang dia pakai.

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Kini, Teresa sudah di perbolehkan untuk pulang. Akan tetapi, Teresa menolak, karena masih ingin menjaga Florist hingga malam. Alea menyetujuinya. Toh, memang dia juga sendirian menjaga toko bunganya.

Memang Alea memperkerjakan Teresa agar bisa membantunya merangkai buket dan juga memanen bunga jika sudah waktunya. Bukan untuk berjaga toko. Makanya, waktu Teresa bekerja di toko bunga itu sangat flexibel, dan santai.

Lagi-lagi dering ponsel Teresa memecah keheningan di sore itu. Teresa kembali mengernyit bingung melihat nomor asing yang meneleponnya beberapa jam yang lalu. Karena di serang rasa penasaran, akhirnya dia mengangkat telepon itu.

“Apa kamu sesibuk itu sampai tidak mengangkat telepon dari saya?” ucap orang di seberang dengan dingin.

Teresa tersentak mengenali suara orang yang meneleponnya. “P—Pak Jevon?” ucap Teresa terbata.

“Hmm. Simpan nomer saya. Agar kamu tidak lagi mengabaikan telepon dari saya!”

“Baik, Pak.”

“Jangan panggil saya Pak. Saya belum tua!”

Teresa mengernyit bingung. “Terus saya harus panggil anda dengan sebutan apa?” tanyanya polos.

Jevon mendengus. “Apa saja terserah kamu. Sayang juga boleh,” sahutnya acuh.

Teresa mendelik mendengar hal itu. Belum juga gadis itu menjawab, suara Jevon kembali terdengar. “Saya beri kamu waktu 10 menit dari sekarang untuk sampai di kantor saya!” ujar pria itu lagi dengan tegas.

Bip!

Teresa ternganga, kemudian menatap ponselnya yang layarnya sudah gelap. Apa-apaan, mana bisa aku 10 menit sampai kantornya! Dasar Jevon gila!- rutuknya.

Dia pun buru-buru untuk pamit ke Alea dan juga bergegas menyetop taksi yang lewat sesaat dia keluar dari toko.

Teresa menepuk keningnya, baru teringat jika dia tidak tahu di mana tepatnya kantor Jevon, saat sopir taxi menanyakan tujuannya. Sial! Aku gak sempat tanya alamatnya!.

Dia menatap jarum jam di pergelangan tangannya. Merutuki dirinya sendiri karena baru teringat jika Jevon adalah CEO Max Group. Sudah pasti tujuannya ke Max Group. Lantas dia memberi tahu tujuannya ke sopir taxi itu, dan menyuruhnya untuk mempercepat mengemudinya.

***

Begitu sampai dia segera berlari memasuki kantor Jevon. Dirinya sudah telat 10 menit dari waktu yang Jevon berikan padanya. Benar saja, begitu dia memasuki lobby. Di sana sudah ada Jevon dan juga Revan yang menatap ke arahnya dengan pandangan yang sangat sulit diartikan oleh Teresa.

Dengan nafas tersengal-sengal, Teresa menghampiri kedua pria itu. “Maaf, Pak. Saya telat. Tadi saya terjebak macet,” ucapnya gugup.

Jevon berdiri menatap penampilan Teresa dari atas sampai bawah. Teresa menggunakan skinny jeans, kaos biru polos yang sudah lusuh, tas selempang, dan juga flat soes buluk, membuat Jevon menggeleng kecil dan berdecak.

“Sudahlah! Ayo berangkat!” Ajaknya dan berjalan mendahului Teresa.

Revan menyusul di belakangnya, begitu pun Teresa. Tak sedikit para pegawai kantor itu mencuri pandang ke arah Jevon dan bertanya-tanya akan sosok Teresa. Di pandang banyak orang seperti itu membuat nyali Teresa menciut, dan mencoba untuk mengabaikannya.

Dukk!

“Aduh!” Teresa meringis, ketika dengan tidak sengaja dahinya menabrak sesuatu yang keras. Dia pun mengusap-usap dahinya. Tanpa tahu, jika seorang Jevon telah sedikit membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan Teresa. “Kalau jalan itu di samping saya, bukan di belakang saya,” ucap Jevon tegas.

Teresa terperanjat. Matanya melotot begitu melihat wajah Jevon tepat di depan wajahnya. Dengan refleks, Teresa mendorong wajah Jevon menjauh, menggunakan jeri telunjuknya. Para karyawan pun memekik tertahan melihat tingkah berani Teresa.

“Jangan deket-deket. Muka Bapak serem,” gerutu Teresa kesal karena dahinya masih terasa sakit ulah pacar kontraknya itu yang berhenti mendadak.

Mendengar itu Revan dan para karyawan lainnya terkekeh. Jevon sendiri sudah menatap tajam Teresa. Kemudian mendengus. “Kamu itu pacar saya. Jadi jangan di belakang saya. Ingat itu!” tegas Jevon dan menarik Teresa ke sampingnya.

Hal itu tidak luput dari pandangan para karyawan yang kini terkejut mendengar penuturan Jevon. Banyak spekulasi-spekulasi dari orang-orang yang melihat mereka. Akan tetapi Jevon tidak memedulikan itu, dan tetap berjalan dengan langkah angkuhnya menuju mobil yang telah siap membawanya.

***

Teresa menatap takjub tempat asing yang baru di kunjungi. “Ini tempat apa?” tanyanya penasaran dengan mendongak menatap Jevon.

“Arena tembak.” Jevon menjawab dengan terus berjalan hingga sampai di tempat dia latihan.

Teresa mengangguk. Membuntuti Jevon, sedangkan Revan memilih untuk pulang terlebih dahulu. “Terus ngapain di sini?” tanya Teresa lagi yang sudah kepo maksimal.

Jevon yang sudah siap dengan segala persiapan menembaknya, menoleh ke arah Teresa. Menghela nafas. “Nembak!” sahutnya singkat.

Teresa mendengus mendengar jawaban Jevon. Dia hendak bertanya. Namun, urung karena dia lebih dulu terlonjak kecil. Mendengar suara pelatuk yang sudah di lepas oleh Jevon.

Jevon melirik sekilas ke arah Teresa, kemudian tersenyum samar. Menarik- batinnya. Kemudian melanjutkan latihannya. Hingga tidak terasa telah selesai.

“Ayo!” ajak Jevon begitu selesai berbincang dengan salah seorang pelatih tembaknya. Teresa hanya mengangguk menuruti.

“Apa menariknya menembak?” tanya Teresa lagi.

Jevon menoleh ke Teresa, mengangkat sebelah alisnya tinggi. “Tidak ada!" Jevon menyahut dengan malas.

Teresa mendengus. “Terus kenapa main tembak-tembakan?” tanyanya gemas.

“Keharusan.”

Kini Teresa menatap bingung ke arah Jevon. “Kenapa?” Teresa bertanya dengan mata yang mengerjap-ngerjap polos.

Jevon menghentikan langkah, menunduk. Kemudian menatap lekat Teresa. Tangannya terulur menyentil dahi gadis kecil itu. “Cerewet!” ujarnya dan melangkah ke mobilnya. Meninggalkan Teresa yang mengaduh sakit dan mengejarnya.

Sepertinya Teresa harus siap ternganga setiap Jevon mengajaknya ke tempat-tempat yang baru dia kunjungi. Seperti halnya sekarang. Dia lagi-lagi ternganga melihat apartemen mewah yang dia masuki. Dia sibuk memindai setiap sudut ruangan apartemen itu.

Kemudian dia terperanjat begitu tangannya di tarik oleh Jevon memasuki salah satu kamar di apartemen itu. Teresa panik. Dia meronta, dan memukuli tangan Jevon dengan beringasnya.

Jevon meringis. Kemudian menatap tajam Teresa yang kini menciut takut. “Apa?!” tanya Jevon.

Teresa tak berani menatap Jevon. Matanya berlarian setiap kali mata Jevon ingin mengunci tatapannya. Kemudian tanpa sengaja, matanya melihat dua ekor kucing di pojok kamar. Teresa menatapnya dengan berbinar. “Wah ... kucing,” ucapnya dan menghampiri kucing itu.

Jevon melengos. Mengambil makanan kucing di lemari sampingnya. Kemudian membawanya ke tempat kucingnya yang sudah di ajak main oleh Teresa. Dia menjulurkan makanan kucing itu tepat ke arah Teresa.

“Kasih makan kucing saya. Saya mau mandi dulu,” titah Jevon. Kemudian bergegas pergi.

“Jadi buat ngasih makan kucing, toh. Aku kira mau yang iya iya,” gumam Teresa, kemudian terkikik sendiri dengan pemikirannya. Tanpa tahu jika Jevon terkekeh mendengarnya.

***

Hari ini Teresa sibuk di Florist. Karena hari ini waktunya untuk memetik bunga, dan juga menanam beberapa bunga lagi. Belum lagi ada banyak pesanan buket bunga yang di terima hari ini. Beruntung tidak ada panggilan dari Jevon hari ini. Jadi, dia bisa fokus untuk bekerja membantu Alea.

“Memang jika hari-hari kelulusan sekolah, pesanan bisa membludak, Tere,” ucap Alea dengan menata bunga-bunga yang baru sampai ke lemari pendingin.

Teresa yang tengah menata buket-buket bunga yang siap di ambil malam ini, menoleh menatap Alea. “Apa tidak apa-apa sampek besok, Kak, bunganya?” tanya Teresa yang kembali melihat bunga-bunga yang sudah siap di ambil.

Alea tersenyum. “Aman ,kok, untuk beberapa hari ke depan.”

Teresa mengangguk paham. Kemudian membantu membereskan kardus-kardus paket bunga yang baru datang.

Setelah itu Teresa pamit untuk pulang karena jaru jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dengan menaiki ojek dan turun di depan gang rumahnya. Teresa berjalan seorang diri.

Tidak biasanya Teresa merasa takut. Dia seperti sedang di buntuti oleh seseorang. Pikirannya kalut dengan spekulasi-spekulasi buruk. Namun, ketika dia menoleh ke belakang tidak ada siapa pun. Keadaan yang sepi membuat Teresa melangkahkan kakinya dengan cepat. Untunglah setelah masuk pemukiman warga, keadaan mulai ramai. Banyak tetangga yang masih terjaga dan beberapa menyapa Teresa.

Teresa mengernyit begitu melihat kotak kardus di depan pintu kamar kosnya. Dia mengambil kotak kardus itu yang entah siapa pengirimnya. Kemudian membukanya.

Teresa terlonjak kaget menjatuhkan kotaknya. Karena begitu dia buka kotak itu, ada bangkai tikus di dalamnya. Dengan tangan sedikit gemetar, Teresa kembali mengambil kotak itu yang ternyata ada note kecil di dalamnya. Matanya terbelalak ketika membaca tulisan yang di tulis dari darah yang sepertinya darah dari seekor tikus itu.

Berhenti dan Pergilah sejauh mungkin!

Terpopuler

Comments

Lies Atikah

Lies Atikah

hadir thor

2025-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!