Pagi ini di kediaman keluarga Maxwell , Siska bersenandung riang. Suasana hatinya sedang bahagia. Membuat dia ikut turun tangan menyiapkan sarapan untuknya dan juga sang suami—Thomas.
Kemudian dia bergegas untuk memanggil suaminya yang masih berada di dalam kamar. Sekaligus membantu menyiapkan segala kebutuhan suaminya untuk bekerja. Thomas memang masih bekerja. Hanya saja, tidak di kantor yang sama dengan Jevon. Melainkan di anak perusahaan Max Group.
Kegiatan sarapan berjalan dengan tenang. Sebelum Siska memulai perbincangan serius dengan suaminya. “Pa?” Suara Siska memecah keheningan di tengah kegiatan sarapan.
Thomas yang hendak memasukkan makanan ke mulutnya pun urung. Menoleh ke arah sang istri. “Ada apa, Ma?”
“Begini ... menurut Papa. Jevon sudah cocok gak, sih, kalau ... tunangan?”
Lagi-lagi Thomas menghentikan makannya. Kali ini dia sampai menyelesaikan makanannya. Mengelap mulut dengan tisu, kemudian mengalihkan atensi sepenuhnya ke arah Siska.
“Maksudnya?” tanya Thomas dengan wajah seriusnya.
Siska sedikit menghela nafas. Mengelus tangan suaminya yang berada di atas meja. Kemudian menatap Thomas dengan lekat. “Sebenernya ... aku ingin liat Jevon bersanding dengan Ivana, Pa,” terangnya lembut.
Thomas mengernyitkan dahinya bingung. Karena baru beberapa hari yang lalu, Jevon mengenalkan seorang gadis cantik bernama Teresa. Bahkan, anak itu dengan gentlenya membawa gadis itu ke rumah utama dan juga menghadiri pesta yang terbilang vvip.
“Jevon sudah punya pilihannya sendiri, Ma. Kamu tau sendiri watak anak itu bagaimana,” terang Thomas yang kini membalas mengelus tangan sang istri.
“Iya, sih, Pa. Hanya saja bukannya akan lebih cocok jika bersama Ivana?” kekeh Siska.
Thomas menghela nafas. Menghadapi istrinya ini memang butuh kesabaran ekstra. Entah lah, kenapa dirinya harus di kelilingi dengan orang-orang yang berwatak keras. Tidak istrinya, tidak Jevon. Semuanya berwatak keras. Thomas jadi harus bisa menempatkan diri untuk menjadi yang paling berpikir tenang.
“Jevon sudah dewasa, Ma. Dia bisa memilih sendiri yang terbaik buat hidupnya. Biarlah dia dengan pilihannya. Lagi pula yang akan menjalani kehidupan ya anak itu sendiri. Bukan kita,” jelas Thomas dengan bijak.
Mendengar itu Siska memutar otaknya untuk membuat Thomas menjadi di pihaknya. Karena dia sangat tidak suka jika sampai Jevon benar-benar dengan gadis miskin itu. Hal itu akan mempermalukan keluarga Maxwell.
“Justru itu, Pa. Kita sebagai orang tua harus mengarahkan anak kita. Memang benar Jevon yang akan menjalaninya. Tapi, bukankah orang tua tidak ingin anaknya salah memilih. Orang tua ingin yang terbaik buat anaknya, Pa. Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya ke Jevon. Anak muda hanya tau cinta, Pa. Tidak dengan yang lainnya,” jelas Siska panjang lebar untuk meyakinkan Thomas.
Terlihat Thomas mengangguk-angguk. Terdiam cukup lama. Mencerna omongan sang istri ada benarnya juga. Namun, dia percaya akan keputusan Jevon. Hanya saja jika menuruti Jevon yang hanya mengandalkan cinta itu juga tidak cukup baik.
Belum sempat Thomas menanggapi. Siska kembali berbicara dengan bersungguh-sungguh. Raut mukanya menampilkan harapan seorang ibu yang ingin terbaik untuk anaknya.
“Bukannya Mama gak setuju Jevon dengan gadis kecil itu. Hanya saja, kita tidak tau asal-usul, bibit, bebet, bobot gadis itu, Pa. Mama takut Jevon akan terluka. Sedangkan jika bersama Ivana. Kita sudah tau Ivana seperti apa. Dia juga sejak kecil bersama Jevon. Bahkan, kita juga kenal dengan orang tua Ivana, Pa. Itu membuat Mama lebih tenang, Pa,” jelas Siska menyendu.
Mendengar penjelasan panjang lebar dari sang istri membuat Thomas luluh dan mengangguk. “Kamu benar, Ma. Akan lebih baik jika Jevon bersama Ivana yang sudah sangat kita kenal dari kecil,” ucap Thomas menyetujui ucapan Siska.
Hal itu membuat Siska tersenyum lebar. Karena usahanya untuk membuat Thomas berada di pihaknya berhasil. Tinggal menunggu rencana yang dia susun terlaksana.
***
“Maaf , ya, Sayang. Tante baru dateng. Kamu sudah lama nunggunya?” sapa Siska ke Ivana. Kemudian memeluk wanita itu seraya memcium pipi kanan kiri selayaknya wanita kaya pada umumnya.
Ivana tersenyum. “Gak apa-apa, Tan. Aku juga baru nyampek, kok,” balasnya lembut.
Siska mengambil tempat duduk di depan Ivana bersekat meja bulat. Mereka berdua sekarang sedang berada di dalam sebuah kafe, anak muda. Sesuai dengan keputusan mereka sebelumnya di via telepon.
Suasana kafe itu cukup tenang. Mengingat ini masih masuk jam kerja. Jadi, hanya ada beberapa pengunjung yang menghuni kafe itu. Dengan di temani secangkir capucino di hadapan masing-masing. Siska tersenyum menatap Ivana.
“Kamu kapan datang, Sayang?” tanya Siska berbasa-basi.
“Baru beberapa hari yang lalu, kok, Tan. Kemarin juga aku sempet ke rumah Tante. Cuma Jevon buru-buru ngajak pulang,” terang Ivana sedikit merengut.
Siska tersenyum simpul. Kemudian meminum sedikit capucino miliknya. “Ivana, boleh tante bertanya?”
“Boleh. Tante mau tanya apa?”
“Apa kamu suka ke Jevon?” tanya Siska tanpa basa-basi.
Mendengar itu, membuat Ivana salah tingkah. Pipinya sedikit merona. Bahkan, wanita itu sedikit gelagapan untuk menjawabnya. Lantas, Ivana berdeham untuk menetralisirkan kegugupannya.
“Kenapa tante bertanya hal itu?” Bukannya menjawab, Ivana malah berbalik bertanya ke Siska.
Siska terkekeh melihat tingkah Ivana. “Ah ... Tante minta maaf. Tante tidak bermaksud untuk mewawancarai privasi kamu,” paparnya.
“Tante berpikir kamu memiliki hubungan dengan Jevon. Karena kalian dekat. Tapi ... malah gadis lain yang di kenalkan Jevon ke Tante,” imbuhnya dengan sendu.
“Jadi ... benar? Wanita udik itu pacarnya Jevon?!” Ivana memekik tertahan yang diangguki lemas oleh Siska.
“Tante tidak suka ke gadis itu,” ucap Siska dengan sedikit marah.
Ivana terbelalak, kemudian tersenyum senang. “Aku juga tidak suka. Bisa-bisanya Jevon jatuh cinta ke wanita udik itu!” keluhnya.
Siska mengambil tangan Ivana yang berada di atas meja. Kemudian menggenggamnya. Lantas Ivana melakukan hal yang sama dengan menatap Siska dengan sedih.
“Makanya tante nemuin kamu, Sayang. Tante minta bantuan kamu,” lirih Siska.
“Bantuan apa, Tan? Kalau Ivana bisa pasti Ivana bantu.”
“Kamu mau, ya. Jauhin gadis itu dari Jevon.”
Mendengar hal itu membuat kedua mata Ivana membola. Dengan mulut yang menganga. “Maksud Tante?” tanya Ivana mencoba untuk mengetahui lebih jelas ucapan Siska.
Siska menghela nafas lelah. “Iya ... jangan biarin gadis itu dekat dengan Jevon. Usahain untuk membuatnya menjauh. Agar nanti Tante bisa menjodohi Jevon dengan kamu,” mohonnya.
Mendapat hal baik yang dia inginkan selama ini. Membuat Ivana mengangguk semangat. Menyetujui permohonan Siska—calon mertuanya. Demi mendapatkan Jevon bersanding dengannya.
***
Benar saja. Tidak menunggu waktu lama. Ivana melakukan perintah dari Siska. Wanita itu sudah sejak pagi berada di kantor Jevon. Membuat pria itu menggeram kesal. Namun, dia mencoba mengabaikan keberadaan Ivana. Selagi tidak membuat keributan. Jevon akan membiarkan Ivana. Karena mau bagaimanapun juga. Wanita itu sahabatnya.
Revan yang melihat kehadiran Ivana hanya geleng-geleng kepala. Karena bukan hal baru baginya seorang Ivana menempel dan manja kepada Jevon. Terkadang juga pada dirinya, walau tidak sesering kepada Jevon.
Hampir tiga hari Ivana melakukan itu. Selalu menempel kepada Jevon. Membuat intensitas Jevon bertemu dengan Teresa terbatas. Belum lagi ayahnya yang meminta dirinya untuk datang ke acara makan malam nanti malam. Dirinya yang akan mengajak Teresa harus di batalkan, karena ayahnya tidak memperbolehkan.
Begitu malam tiba. Jevon memenuhi janjinya kepada sang ayah untuk bergabung ke acara makan malam yang dia sendiri tidak tahu di mana?
Sampai tiba di rumah yang tidak asing baginya. Membuat pria itu mengernyit bingung. Karena tidak biasanya sang ayah makan malam bersama keluarga besar dari Ivana. Meskipun bisa dibilang ayahnya bersahabat dekat dengan ayah Ivana.
“Selamat datang, Thomas. Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu, kawan,” sapa Daniel—papanya Ivana dengan memeluk Thomas.
“Sangat baik, kawan. Seperti yang kamu lihat,” balas Thomas.
Begitu pula yang dilakukan oleh mamanya dan juga mama dari Ivana. Mereka bagai sedang reuni heboh bersama kawan lama.
“Jevon semakin tampan, ya,” ucap Nadin—mamanya Ivana.
Thomas menoleh ke Nadin. “Nurun Papanya lah!” sahutnya dengan bangga membuat yang lainnya tertawa, sedangkan Jevon hanya mengangguk malas.
Jevon sebisa mungkin untuk tetap tenang selama acara makan malam berlangsung. Makan malam itu sangat ramai dengan obrolan-obrolan ringan dari para orang tua. Bahkan, Ivana juga sesekali menimpali. Berbeda dengan dirinya yang ingin sekali pulang untuk beristirahat.
Ketika makan malam selesai. Di situ lah Jevon menggeram. Karena tanpa minta persetujuan darinya. Kedua orang tuanya telah merencanakan perjodohan dirinya dengan Ivana. Sorot matanya yang tajam melirik sang mama yang sangat antusias membicarakan tentang pesta pertunangannya. Bahkan, Thomas—ayahnya juga sama semangatnya.
“Bagaimana jika minggu depan acaranya?” ucap Siska.
Nadin tersenyum. “ Bagus. Lebih cepat lebih baik,” balasnya.
“Iya benar. Lagi pula Jevon dan Ivana sudah dekat sejak kecil. Jadi, buat apa di tunda terlalu lama,” imbuh Thomas.
Jevon mengumpat dalam hati. Dia bisa saja menolak mentah-mentah obrolan ini sekarang. Akan tetapi, akal sehatnya masih bisa dia pakai. Sekejam-kejamnya dirinya. Jevon tidak akan mempermalukan ayahnya secara langsung.
“Sial!” umpatnya dalam hati
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Lies Atikah
ah laki 2 apaan kamu jevon gak jelas banget gak ada sakit nya di 2 kan sama cewe malah mau ngejilat lagi bilang aja kamu suka barang bekas alias sampah makan tuh si Ivana lembek banget jadi laki
2025-01-27
0
Lies Atikah
ah laki 2 apaan kamu jevon gak jelas banget gak ada sakit nya di 2 kan sama cewe malah mau ngejilat lagi bilang aja kamu suka barang bekas alias sampah makan tuh si Ivana lembek banget jadi laki
2025-01-27
0