Keluarga Maxwell

Seminggu setelah dirawat di rumah sakit. Dina sudah membaik, bahkan sudah pulang sejak kemarin. Meskipun begitu, Teresa tidak memperbolehkan ibunya untuk keliling di sekitar kosan. Cukup diam saja di teras jika ingin berjemur. Dia tidak ingin ibunya kembali drop dan harus masuk rumah sakit lagi.

Setelah membereskan peralatan masak dan juga bekas piring kotornya. Teresa bersiap untuk segera berangkat bekerja.

“Ibu, jangan sampai banyak aktivitas. Jangan sampai telat makan juga,” ucap Teresa memperingatkan ibunya lagi.

Dina tersenyum mendengar anaknya yang sangat peduli kepadanya. “Iya, Nak. Kamu juga hati-hati kerjanya. Jangan sampai lupa makan.”

Teresa ikut tersenyum dan memeluk ibunya. “Siap! Teresa berangkat dulu, ya. Ibu baik-baik di rumah. Assalamualaikum,” pamitnya dan melesat memulai hari.

Suasana Florist pagi ini cukup hangat. Sudah ada beberapa pengunjung yang melihat-lihat bunga, saat dirinya baru tiba. Teresa tersenyum dan melayani pengunjung itu dengan ramah. Karena sepertinya Alea tidak mengetahui dengan kedatangan pengunjung itu.

“Ada yang bisa saya bantu?” sapa Teresa.

Pengunjung laki-laki itu menoleh. Kemudian sedikit berpikir. “Hm ... begini. Saya ingin mencari bunga untuk seseorang perempuan,” balas pengunjung itu sedikit kikuk.

Teresa tersenyum. “Untuk pacarnya, ya, mas?”

Pengunjung itu sedikit tersentak. Lantas menggeleng. “Bukan, Mbak. Hmm ... begini. Dia itu sahabat saya. Sekarang sedang ulah tahun,” jelasnya singkat.

Teresa mengangguk-angguk mengerti. “Untuk sahabat, toh. Kalau begitu—“

“Tapi saya menyukainya,” serobot pengunjung itu. Membuat Teresa menganga.

Pengunjung itu terlihat salah tingkah. Wajahnya juga sedikit memerah. Teresa menjadi mengulum senyum melihatnya. Betapa lucunya lelaki yang mencintai sahabatnya sendiri itu.

“Kalau begitu, aku akan buatkan buket bunga ... tulip merah. Kemudian ... lili peru.”

“Bukan mawar aja?” sahut pengunjung itu.

Teresa yang telah membawa bunga itu, menoleh mendengar ucapan lelaki itu. Dia lagi-lagi tersenyum.

“Lili peru mewakili persahabatan dan pengabdian. Sedangkan tulip merah melambangkan cinta.” Teresa menjelaskan apa yang di pelajarinya. Membuat lelaki pengunjung itu melihatnya kagum.

“Baiklah. Saya beli yang itu saja,” putus lelaki pengunjung itu dengan tersenyum.

***

Sedang asyiknya makan siang yang terlambat. Teresa direcoki oleh dering ponselnya. Dengan merogoh tas selempangnya dengan satu tangan. Kemudian segera mengangkat panggilan Jevon begitu ponselnya sudah berada di tangannya.

“Iya, Om?” sapa Teresa dengan mulut penuhnya.

“Di mana?”

Teresa tersedak mendengar pertanyaan aneh dari Bosnya itu. Segera dia mengambil air yang berada di dekatnya untuk dia minum. “Di Florist, Om,” balasnya begitu selesai minum.

“Saya ke sana sekarang.”

“Loh, Om. Ngapain?!”

“Jemput kamu, Teresa!”

Tut!

Teresa terbelalak karena lagi dan lagi panggilan itu di putus sepihak. Untung Bos!

Tidak butuh waktu lama, kini Jevon telah berada di depan Florist, dan menyuruh Teresa untuk segera keluar. Kali ini dia tidak sendiri. Melainkan bersama Revan sebagai sopirnya.

Teresa buru-buru menghampiri Jevon dan langsung memasuki mobil pria itu.

“Kenapa kamu di depan?”

Teresa menoleh menatap Jevon yang berada di kursi belakang. Dia mengernyit bingung. “Kan, Om, Bosnya," jawab gadis itu lugu.

Jevon sontak mendelik. “Pindah! Kamu suka sekali nempel-nempel Revan,” titahnya kesal.

Membuat Teresa merengut dan pindah ke kursi belakang. Revan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orang itu. Kemudian melajukan mobilnya.

Teresa berasa seperti anak kecil berada di tengah-tengah antara Jevon dan Revan yang menjulang tinggi. Belum lagi mereka yang mengobrol berdua seolah tak ada Teresa di sana.

Dengan kaki pendeknya, Teresa merengut kesal. Mencoba menyamakan langkah kakinya dengan kedua tower di samping kanan kirinya.

“Ubah semua yang ada pada dia!”

Teresa yang sedari tadi menunduk, tersentak. Mendongakkan wajahnya. Melihat Jevon yang tengah berbicara dengan seorang pegawai salon. Mata Teresa mengedar, baru menyadari jika dirinya sudah berada di dalam salon kecantikan.

“Juga, ajari dia cara berjalan, makan, berbicara, dan tertawa dengan benar,” titah Jevon dengan mengedikkan dagunya ke Teresa.

“Baik, Pak.”

Jevon mengangguk sekilas. Kemudian menunduk untuk menatap Teresa. “Lakukan dengan benar. Jangan kabur!” pesannya tegas.

Teresa merotasikan kedua bola matanya jengah. “Iya!” jawabnya malas. Kemudian melesat mengikuti panduan pegawai salon tadi, sedangkan kedua pria itu berlalu pergi. Untuk menemui salah seorang kliennya.

***

Kini Teresa dengan penampilan barunya yang lebih fresh, dan tentunya lebih cantik. Digandeng Jevon memasuki kediaman orang tuanya. Rumah utama keluarga Maxwell.

Teresa yang tidak tahu, dirinya berada di mana. Mengedarkan pandangannya dengan berdecak kagum. Rumah mewah klasik bergaya Perancis ini mampu memanjakan matanya.

“Om, ini di mana?” bisik Teresa mendekatkan dirinya kepada Jevon. Beruntungnya malam ini dia memakai heels. Jadi, tinggi badannya tidak terlalu jauh dengan Jevon, ya meskipun masih sedagu pria itu.

“Kediaman Maxwell,” jawab pria itu singkat dan jelas.

Jawaban dari Jevon membuat Teresa ternganga. Namun buru-buru mengatupkan bibirnya. “Kenapa, Om, gak bilang dari tadi,” protesnya.

Jevon menghentikan langkahnya, dan menoleh ke Teresa dengan raut datar. “Menurutmu, kenapa saya mengajak kamu ke salon dan mengajari kamu segala hal tadi siang?” sahut pria itu membuat nyali Teresa menciut.

Teresa baru menyadari hal itu. Jadi, sekarang waktunya Teresa melakukan pekerjaannya dengan benar. Kalau tidak, akan bahaya. Gaji bulanannya akan terancam.

“Lakukan seperti yang tadi diajarkan. Dan berhenti memanggil saya, Om, Teresa!” desisnya. Kemudian kembali membawa Teresa menuju ruang keluarga Maxwell.

Banyak lukisan-lukisan yang tertempel di sepanjang lorong menuju ruang keluarga Maxwell. Begitu menginjakkan kaki di ruang keluarga itu. Terdapat banyak foto-foto keluarga. Foto Jevon juga terpajang di sana dengan seorang wanita cantik. Pantas saja Om ganteng. Mamanya aja modelan Putri Diana- batin Teresa kagum.

“Wah, anak Mama sudah datang!” sapa seorang wanita paruh baya—Siska. Menghampiri Jevon dan juga Teresa.

Teresa mengernyit bingung. Namun, dia mencoba untuk mengenyahkan pikiran yang mengganggunya. Lain halnya dengan Jevon yang hanya berdehem. Kemudian membawa Teresa menuju sang ayah yang berada di sofa tunggal ruangan itu. Lalu, membungkuk hormat yang diikuti oleh Teresa.

“Selamat malam, Ayah!” sapa Jevon dengan sopan.

Thomas berdiri menepuk bahu sang anak sekilas. “Kenapa baru datang, Boy?” tanyanya kemudian melirik Teresa sekilas.

“Siapa gadis kecil yang cantik ini?” imbuhnya.

Jevon dan Teresa menoleh bersamaan. Membuat keduanya tanpa sengaja saling menatap dan Jevon tersenyum. Hal itu membuat Teresa terperangah dan terpesona. Karena untuk pertama kalinya Jevon tersenyum hangat di hadapannya.

“Kenalin pacarnya, Jevon. Namanya Teresa,” ujar Jevon mengenalkan Teresa ke ayahnya. Kemudian dia kembali menoleh ke Teresa.

“Sayang, kenalin ini Ayah Thomas,” imbuhnya mengenalkan. Lantas, Teresa membungkuk mengenalkan dirinya.

Melihat itu Siska meremas gaunnya geram. Karena dia tidak menyangka jika Jevon akan membawa gadis miskin itu ke rumah utama. Terlebih lagi, suaminya yang begitu welcome. Seolah tidak keberatan dengan kehadiran gadis itu.

Thomas tersenyum kepada Teresa. Kemudian mengajak mereka semua untuk berangkat ke pesta salah satu klien terdekatnya.

***

Teresa lagi-lagi berdecak kagum melihat betapa mewahnya pesta yang di adakan klien dekat Thomas. Untung saja tangannya digandeng oleh Jevon. Jadi, dia bisa menahan untuk tidak lepas kendali mengelilingi tempat itu.

“Jangan banyak bertingkah, Teresa!” desis Jevon. Membuat Teresa menolehkan wajahnya ke pria itu. Mengangguk dan kembali melangkah dengan tenang.

“Jangan sampai kamu terlepas dari gandengan saya. Nanti kamu hilang,” peringatnya lagi, membuat Teresa jengah.

“Iya, Om. Aku juga bukan anak kecil. Gak bakal ilang,” sahut gadis itu dengan mencebikkan bibirnya.

“Jangan panggil saya, Om. Dan jangan membantah, Gadis kecil,” ucap Jevon berbisik. Teresa menjadi ngeri mendengar suara Jevon yang sangat seram dalam jarak yang begitu dekat. Hingga bulu kuduknya berdiri.

Banyak klien Jevon menyapa pria itu. Yang ternyata banyak yang masih muda. Itu menjadi pemandangan menyenangkan bagi Teresa. Dirinya tidak berhenti menebarkan senyum membuat Jevon mengeraskan rahangnya. Kesal dengan tingkah gadis itu yang sangat caper menurutnya. Lantas, Jevon membawa Teresa ke arah meja yang menyuguhkan makanan berat hingga makanan penutup.

“Kamu mau makan apa?” tanya pria itu menoleh ke Teresa.

“Sepertinya semuanya enak, Om.” Teresa menjawab dengan mata yang berbinar memandangi satu per satu makanan yang ada di depannya.

Jevon mendengus. Kemudian tersadar jika mamanya mendekat. “Sayang, sepertinya ini enak. Kamu pasti suka,” ucap Jevon mengisi piring yang dia pegang dengan lasagna dan memberikannya kepada Teresa.

Teresa lagi-lagi terperangah dengan sikap lembut Jevon. Hingga deheman membuat dia terlonjak kecil. “Teresa suka apa?” tanya Siska yang sudah berada di samping Teresa.

Teresa menoleh. Kemudian tersenyum kaku. “Saya apa saja suka, Tante,” jawabnya kikuk.

Siska tersenyum. “Bagus kalau begitu. Oh iya, Jevon, Bisa ambilin Mama piring kecil di sebelah kamu?”

Tanpa banyak kata, Jevon menurutinya. Kemudian menarik Teresa untuk mengikutinya dan duduk di salah satu kursi yang telah di sediakan.

“Makanlah!” titah pria itu.

Melihat gurat dingin di wajah Jevon membuat Teresa tidak banyak bicara dan menuruti ucapan pria itu.

Pesta perayaan ulang tahun pemilik hotel bintang lima itu telah di mulai. Keadaan tempat acara itu sudah mulai ramai di padati para tamu undangan. Teresa tampak tidak nyaman, dan itu tidak lepas dari pandangan Jevon.

Pria itu mengambil ponsel di saku celananya, lantas mengetikkan sesuatu sesaat. Kemudian dia menggenggam jemari gadis itu dan membawanya menjauh dari tempat yang bising itu.

“Sudah selesai, kah, acaranya?” tanya Teresa bingung karena sudah di bawa keluar dari tempat itu.

“Belum!”

“Apa tidak apa-apa pulang lebih dulu?” tanya gadis itu lagi.

“Hm!”

Jawaban singkat pertanda pria itu sedang dalam mood yang sangat buruk. Membuat Teresa terdiam. Tidak ingin menambah ketegangan yang terjadi. Teresa dimasukkan ke salah satu mobil mewah oleh Jevon.

“Antarkan pacar saya, dengan selamat!” Jevon memerintah ke sopir pribadinya yang diangguki oleh sang sopir.

Begitu mobil yang mengantar Teresa sudah tak terlihat. Lantas, Jevon berbalik untuk mengambil mobil pribadinya. Namun, suara seorang wanita yang lembut membuatnya terdiam.

“Jevon.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!