Jevon menahan emosinya yang siap meledak kapan saja. Wajahnya sudah tidak karuan dengan rahang yang mengeras. Alis yang mengerut dan sorot mata yang tajam. Revan sebagai sekretaris sekaligus sahabatnya itu pun tidak berani untuk mengusik Jevon. Dia hanya berani mengeluarkan suara jika menyangkut perusahaan.
Bunyi derap kaki membuat kedua pria di ruangan lantai teratas Max Group itu menoleh bersamaan. Ivana berjalan dengan anggunnya. Tidak ketinggalan senyuman lebarnya begitu mendapati Jevon menatap ke arahnya.
“Sayang ...,”
Revan terlonjak kaget ketika sahabatnya itu memanggil Jevon sayang. Bahkan, sekarang Ivana sudah memeluk lengan Jevon. Revan menatap bingung kedua sahabatnya itu.
Berbeda dengan Jevon yang tidak peduli cenderung risih dan melepaskan gandengan Ivana. Dia lebih memilih untuk kembali duduk di kursinya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Ivana mengikutinya. Menghiraukan wajah bodoh Revan yang tengah penasaran. “Sayang, kamu tidak lupa, kan, buat ke butik Tante Bella?” tanyanya.
“Hm.”
“Habis itu kita harus ke hotel buat liat tempat acaranya.” Ivana kembali berucap yang lagi-lagu dibalas deheman saja oleh Jevon. Hal itu malah membuat Ivana kesal, tapi tetap saja dia melanjutkan ucapannya. “Sekalian nanti kita desain surat undangannya, ya?”
“Ada apa sebenarnya di antara kalian berdua?” Suara Revan menyela kata yang akan dilanjutkan oleh Ivana.
Jevon mendongak menoleh ke Ivana dan Revan bergantian. “Panggung sandiwara,” tandasnya singkat.
Revan mencibir. “Lo ngelawak?” balas sekretaris itu bersungut.
Ivana menghela nafas kesal ke arah Jevon. Kemudian menatap Revan. “Aku mau tunangan sama Jevon, minggu depan,” jelas wanita itu berbinar senang.
Mendengar itu sontak membuat Revan terkejut. Dirinya tidak menyangka Jevon akan mau saja bertunangan dengan Ivana. Bukan hanya sekedar pacaran seperti sebelumnya.
Namun, melihat raut wajah Jevon sejak pagi tadi. Membuat Revan mengerti jika Jevon dalam keadaan yang sedang rumit. Bisa di bilang berada di situasi yang belum bisa dia tangani. Entah hal apa yang akan Jevon rencanakan di otaknya yang sedikit psikopat itu untuk keluar dari situasi kali ini. Intinya Revan harus bersiaga. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Revan mulai lebay!
“Kalau begitu, selamat buat hubungan kalian,” ucap Revan terkekeh yang langsung mendapat lirikan tajam dari Jevon. Seketika itu pula Revan menutup mulutnya agar berhenti tertawa. Dirinya pun pamit untuk keluar dari ruangan Jevon.
***
Teresa sangat menikmati hidupnya beberapa hari ini. Selain kondisi ibunya membaik meskipun tetap rutin cuci darah setiap minggunya, juga karena beberapa hari ini tidak ada gangguan dari Jevon. Jadi, dia bisa leluasa bekerja di Florist.
“Kenapa senyum-senyum terus?” Suara Alea mengagetkan Teresa yang tengah memilah bunga-bunga yang masih segar dan layu.
“Kak Alea ngagetin aja,” sahutnya.
Alea yang tengah membawa beberapa bunga untuk dia taruh di freezer dekat Teresa menaikkan sebelah alisnya tinggi.
“Kamu aja yang terlalu asik ngelamun. Padahal aku ngomong pelan.”
Teresa menyengir lebar. “Kak Alea bener. Aku lagi asik menikmati hari yang menyenangkan,” terangnya dan membawa bunga-bunga yang layu untuk dibuang.
“Memang sebelumnya hari-hari kamu suram?”
“Sangat, Kak,” jawab Teresa mengangguk semangat.
“Kenapa gitu?” tanya Alea lagi penasaran.
Teresa mendekat ke arah Alea. “Ceritanya sa ... ngat panjang. Jadi, aku mau pamit pulang dulu, ya, Kak,” pamit Teresa memamerkan deretan giginya yang diangguki kesal oleh Alea.
Teresa bersenandung ria selama perjalanan pulang. Dia juga sempat berhenti di tempat makan untuk membelikan makan malam ibunya. Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam di saat dirinya sampai di depan pintu kamar kosnya.
Dirinya tersentak ketika mendapati kotak kecil yang mirip dengan kotak teror yang sebelumnya dia dapat. Teresa menolehkan kepalanya ke sekitar perkampungan tempat kosnya berada untuk mencari petunjuk atau orang mencurigakan. Namun, nihil tidak ada siapa pun. Hanya ada warga sekitar yang tidak asing baginya.
Teresa segera mengambil kotak itu guna melihat isinya. Dengan tangan yang mulai basah berkeringat, cemas akan ada orang jahat di sekitarnya. Dia membuka kotak itu. Seketika dirinya melempar kotak itu. Karena kali ini bukan hanya bangkai tikus, melainkan juga bangkai ular.
Teresa takut dan buru-buru untuk masuk ke kamar kosnya. Mencoba menenangkan dirinya jika itu hanya paket nyasar ke alamatnya. Akan tetapi, dia belum sepenuhnya tenang.
“Kenapa, Nak?” sapa ibunya ketika melihat anaknya menutup pintu dengan keras.
Teresa terlonjak kaget mendengar suara ibunya. “Aishh ... Ibu ngagetin aja!” serunya dengan memegang dadanya.
Dina mengerutkan keningnya bingung. “Kamu kenapa?” tanyanya lagi.
Teresa menenangkan dirinya dan tersenyum menghampiri ibunya. “Gak apa-apa kok, Bu. Cuma tadi ada badut aja. Jadinya lari takut,” elaknya.
“Kamu ini ada-ada saja,” sahut Dina yang ditanggapi tawa canggung oleh Teresa
***
Teresa semakin cemas saat dia terus menerus mendapatkan kotak teror itu. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang, bahkan dia sudah tidak bisa berpikir jika teror itu salah sasaran.
Lebih-lebih sering kali dia mendapati orang aneh yang beberapa hari ini dia temui saat pulang dari Florist. Entah itu hanya perasaannya saja yang berlebihan atau memang benar orang itu—orang jahat yang ada sangkut pautnya dengan teror itu.
Teresa juga sering kali cemas memikirkan ibunya yang sendirian di kosnya, sedangkan dirinya bekerja. Namun, Teresa mencoba sedikit mengalihkan pikiran buruk itu saat teringat jika tempat kosnya adalah tempat perkampungan yang ramai warga.
“Kamu kenapa akhir-akhir ini sering melamun, bahkan gak fokus?” tanya Alea menepuk pundak Teresa.
“Eh ... iya, Kak. Kenapa?” Teresa tersentak.
“Tuh kan! Kamu ngelamun!”
Teresa tertawa kaku. “Hormon perempuan, Kak. Naik turun moodnya,” kilahnya.
“Jangan sering ngelamun. Nanti kesurupan tau rasa!” tukas Alea mencairkan suasana.
Teresa mengangguk. “Kak, aku pulang dulu, ya?” pamit Teresa ketika melihat jam menempel di dinding.
“Iya. Hati-hati, Tere! Jangan ngelamun di jalan!” Alea memperingati Teresa yang sudah melesat keluar dari toko.
Teresa mempercepat langkah kakinya begitu mendapati ada dua orang aneh yang mendekat ke kamar kosnya. Dia sampai berlari untuk menangkap orang aneh yang telah menaruh kotak teror lagi. Namun, nihil. Teresa tidak bisa mencegatnya, karena orang-orang itu sangat gesit berlari dan menghilang.
Dengan nafas terengah. Teresa membuka kotak yang berada di depan pintu kamar kosnya. Dia membukanya dengan hati-hati, karena terakhir kali dia membukanya, dia mendapati bangkai kucing. Akan tetapi, yang dia dapati sekarang hanya sebuah note kecil, yang mampu membuat jantungnya berhenti berdetak. Tubuhnya membeku.
Pergi dari hidup Jevon
atau ibumu yang menjadi korbannya!
Buru-buru Teresa masuk ke kamar kosnya untuk melihat keberadaan ibunya. Dia bersyukur ketika mendapati ibunya tengah tertidur pulas. Dia mengecek nafas ibunya, juga badan ibunya. Takut terjadi apa-apa sebelumnya.
“Syukurlah ibu tidak apa-apa. Tapi, aku harus bagaimana. Apa aku hubungi Jevon saja, ya?”
Teresa semakin kalut saat tak kunjung mendapat jawaban dari Jevon. Dia berkali-kali menghubungi pria itu, juga mengiriminya pesan. Namun, tak ada satu pun respons dari Jevon. Membuat Teresa tidak bisa tertidur semalaman.
Rasanya kali ini Teresa tidak bisa lagi untuk berdiam di kosan yang sudah tidak aman untuk dia dan ibunya. Lebih-lebih pagi ini dia mendapat kotak paket lagi yang berisi data kesehatan ibunya beserta note yang lagi-lagi mengancamnya.
Sangat mudah untuk menjadikan ibumu seperti isi dari kotak-kotak sebelumnya!
Teresa meremas note itu, kemudian menyuruh sang ibu untuk segera berkemas.
“Ibu, bantu Teresa berkemas, ya. Bawa saja barang yang memang penting buat Ibu!” desaknya terburu-buru sembari membereskan barang-barangnya.
“Ada apa, Nak? Kenapa tiba-tiba begini?” tanya Dina bingung.
Teresa menoleh ke ibunya. Mencoba untuk menampilkan senyum. “Gak apa-apa. Kita cari kontrakan aja. Biar lebih nyaman dari pada kamar kos sepetak ini,” elaknya senormal mungkin, agar ibunya tidak panik.
“Bukankah akan lebih mahal, Tere?”
“Nanti Tere jelasin di jalan saja. Sekarang ibu bantu Tere untuk berkemas dulu, ya,” timpalnya buru-buru memasukkan barang-barang yang menurutnya masih dia butuhkan.
Setelah memastikan semua barang yang penting dia masukkan ke dalam tasnya. Teresa kembali menghubungi Jevon yang tak kunjung diangkat.
“Sudah selesai, Nak!” ujar Dina membuat Teresa tersentak. Lantas, bergegas untuk pergi dari kosnya. Membawa satu tas ransel dan juga 1 tote bag besar.
“Maaf Jevon. Aku harus pergi. Aku tidak bermaksud untuk melanggar kontrak kerja itu."
Teresa mulai merasa tenang saat memasuki taksi untuk membawanya pergi. Akan tetapi, tidak lama dia menyadari jika ada mobil hitam yang mengikutinya. Bahkan, mobil itu dengan terang-terangan melaju dengan cepat seolah ingin menghantam taksi yang dia tumpangi. Membuat Teresa merengkuh tubuh ringkih Dina dengan merapalkan doa-doa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Lies Atikah
bagus tres mending pergi tinggalkan laki2 udah gak jelas pln plan lagi mending si Revan laki banget
2025-01-27
0
Lies Atikah
bagus tres mending pergi tinggalkan laki2 udah gak jelas pln plan lagi mending si Revan laki banget
2025-01-27
0
end_aleey13
ayo UPP terus semangat
2023-08-01
1