Jeep Wrangel Rubicon 4 Dr Sky One Touch melaju melesat membelah jalanan ibu kota. Tujuan si pengemudi adalah markas JevMax untuk mengumpulkan bukti jejak seorang gadis yang menghilang. Jevon turun dari mobilnya yang langsung disambut oleh kedua anak buahnya.
Segera dia masuk dan melihat langsung kotak-kotak yang berisi teror yang Teresa dapat tanpa sepengetahuannya. Hingga membuat gadis itu pergi, menghilang yang sampai saat ini tidak dia temukan keberadaannya. Sebentar lagi aku akan menemukanmu.
Jevon meneliti setiap paket itu. Bangkai-bangkai hewan itu telah membusuk. Namun, tak membuat seorang Jevon undur diri. Matanya menyipit tajam tatkala menemukan note berisi ancaman untuk menjauhi dirinya. Mau bermain denganku ternyata.
Jevon tersenyum miring. Kemudian menatap kedua anak buahnya. “Buatlah dua kelompok! Satu kelompok untuk mencari Teresa dan satu lagi untuk mencari bukti kuat dalang di balik teror ini!” titahnya dengan tegas.
“Siap, Pak!” jawab keduanya serempak.
“Pergilah!” Jevon menyuruh kedua anak buahnya untuk pergi memulai perintahnya. Kemudian dirinya ikut pergi menuju apartemennya.
***
Pria itu mulai mengotak-atik laptopnya, menghiraukan dering ponsel yang mengganggu aktivitasnya. Bukan tanpa alasan dia mengabaikan panggilan itu. Dia malas jika harus berurusan dengan drama dari Ivana yang sangat menguras kesabaran yang dia punya.
Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini mau tidak mau dia harus mengangkatnya. Meski dia terkenal dingin, datar dan kejam. Dia tidak ingin di kenal durhaka kepada orang tuanya, terutama sang ayah.
“Ada apa, Yah?”
“...”
“Mungkin nanti, Yah.”
“...”
“Iya. Asal tidak ada gangguan!”
“...”
“Bukan apa-apa.”
“...”
“Hm!”
Jevon menghela nafas dalam begitu telepon dari ayahnya berakhir. Dia merasa lelah, kesal, dan marah. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Karena bagaimana pun juga dia masih belum tahu pasti kebenarannya. Kemudian kembali fokus akan laptop di depannya, dengan sesekali meminum kopi hitam kesukaannya.
Menatap laptop membuat pria itu lelah hingga tertidur di sofa apartemennya. Sepertinya kafein yang pria itu konsumsi tak lantas membuat pria itu tetap terjaga. Mungkin dia juga kelelahan karena kurang istirahat beberapa hari ini.
Akan tetapi, tidak seberapa lama dirinya dikejutkan oleh dering ponselnya, yang ternyata salah seorang bawahannya menghubunginya.
“Bagaimana?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Kami sudah menemukan yang mengirim paket, Pak.”
“Lalu?”
“Dia tidak kunjung mengaku, Pak. Siapa orang yang menyuruhnya. Dan juga ini seperti orang baru. Bukan orang-orang yang sebelumnya, Pak.”
“Bawa ke markas sekarang! Biar saya yang membuka mulutnya dengan lembut,” desis Jevon.
Suara derap kaki yang banyak membuat atensi Jevon teralih. Dia yang sedang memilah pistol-pistol miliknya, tersenyum miring mendapati anak buahnya yang sudah datang membawa tiga orang yang sudah ditunggunya.
Para anak buah Jevon mendorong ketiga orang itu hingga tersungkur tepat di hadapan bosnya. Jevon menatap datar mereka bertiga dan mengangkat dagu mereka satu per satu dengan pistol yang berada di tangannya. Hingga matanya bisa melihat dengan jelas pelaku peneror gadis kecilnya. Kemudian membuka penutup mulut mereka dengan kasar.
Lantas Jevon bermain-main dengan pistol yang dia pegang. “Kalian suka bermain?” ucapnya tenang cenderung acuh.
Tak ada dari mereka bertiga yang bersuara untuk menjawab atau sekedar berucap sepatah kata. Membuat Jevon mengangkat tinggi sebelah alisnya. Karena cukup kagum dengan pendirian para suruhan manusia tak beradab itu.
Sontak pelatuk dia mainkan membuat ketiga orang itu tersentak. Terlebih sekarang wajah Jevon sudah menjadi datar bisa dikatakan raut wajahnya menampilkan raut tanpa belas kasih.
Suara satu tembakan terdengar mengejutkan semua yang berada di markas itu. Apa lagi, ketiga orang itu sudah terlonjak ngeri karena arah tembak itu tepat di atas kepalanya. Sedangkan si pelaku tersenyum miring.
“Suka dengan permainannya?” Suara Jevon dingin membuat yang berada di dalam ruangan terdiam ngeri.
Tanpa terduga dan tidak ada yang menyadari gerak gesit Jevon. Kini sudah 3 tembakan melesat di satu per satu bahu kiri ketiga orang itu. Suara erangan menjadi bunyi latar di markas JevMax.
“Sepertinya kalian sangat menyukainya hingga berseru senang.” Lagi-lagi suara Jevon menginterupsi.
“Saya ... mohon. Jangan ... lakukan lagi,” rintih salah satu dari ketiganya yang bertubuh paling kecil.
Mendengar itu Jevon terkekeh. “Saya belum selesai bermainnya!”
“Baik. Sa ... ya akan menga ... ku. Ta ...pi saya mohon. Jangan ... lagi,” mohon orang itu lagi yang lantas diangguki ketiganya.
“Saya baru saja memulainya,” celetuk Jevon membuat ketiga orang itu semakin memohon.
Ketiga orang itu tidak berpikir akan dibuat mainan oleh Jevon. Padahal mereka sudah siap untuk dibunuh dengan cepat. Bukan dibuat mainan seperti ini oleh Jevon. Yang justru semakin menyiksa mereka.
“Katakan!” Suara Jevon menggelegar membuat ketiganya terdiam menahan sakit di bahunya.
“Bu ... Sis ... ka. Kami suruhan Bu ... Siska dan Bu ... Ivana,” ucap orang itu tergagap.
Jevon semakin mengeraskan rahangnya ketika mendapat titik terang pelaku peneror gadis kecilnya. Meski sebelumnya sudah menduganya. Namun, dia sangat tidak menduga akan ada campur tangan Ivana. Dia semakin murka, kemudian segera dia membawa bukti dan juga rekaman ketiga orang itu untuk dibawa ke kediaman kedua orang tuanya.
“Urus mereka!” perintah Jevon sebelum melesat pergi dari markas itu dengan tangan yang mengepal kuat.
***
Hari yang sudah sore adalah waktu yang tepat untuk Jevon pulang ke kediaman orang tuanya. Dengan segala emosi yang membuncah dia bergegas masuk begitu keluar dari mobilnya. Menghiraukan para asisten yang menyambutnya.
Pria itu membawa langkah kakinya memasuki ruang perpustakaan di mana orang tuanya berada. Membuka pintu dengan kasar membuat orang yang berada di dalamnya terlonjak kaget.
“Jevon!” bentak Thomas ketika mengetahui Jevon lah yang masuk dengan tidak sopannya.
Jevon seolah tuli tidak memedulikan ayahnya. Matanya mengkilat marah dengan wajah yang mengeras langsung menuju ke mamanya yang tengah duduk di sofa.
“Bukankah saya sudah bilang untuk tidak mengusik saya!” serunya dengan suara yang tak kalah keras dari Thomas membuat Siska tersentak.
“Jevon! Jaga bicaramu!” sentak Thomas marah kemudian menghampiri anaknya itu.
Jevon menoleh ke arah Thomas dan tersenyum miring. “Bagus! Sekalian saja biar Ayah tau. Bagaimana kelakuan seorang Ratu di keluarga Maxwell,” desisnya tajam.
Thomas menatap anaknya bingung, tak mengerti maksud dari ucapan anaknya. Hal itu membuat Jevon melempar foto-foto bukti teror dan juga rekaman di pulpennya ke meja depannya.
“Apa ini?” tanya Thomas semakin bingung.
“Lihat dan dengarkan. Ayah akan tahu apa yang sebenarnya terjadi,” tekan Jevon.
Thomas menggeram marah ketika melihat dan mendengar bukti teror yang di maksud Jevon. Berbeda dengan Siska yang sudah pucat pasi melihat raut wajah suaminya yang kini tak jauh berbeda dengan Jevon.
“JELASKAN SEMUA INI, SISKA!” bentak Thomas dengan suara yang menggelegar.
“Kamu! Kamu sudah membuat nama baik Maxwell buruk. Kenapa kamu melakukan hal kotor seperti ini, Siska!” serunya lagi.
“Pa ... ini tidak seperti yang kalian kira,” elaknya terbata-bata.
“Apa lagi, Ma?!” geram Jevon.
Siska menatap Jevon dengan sedikit gemetar. “Mama ... Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Jev,” sanggahnya membuat Jevon kembali menggeram marah.
“Mama!” bentak Jevon lagi.
“Kelakuan kamu sangat tidak mencerminkan seorang wanita berkelas, Siska! Saya kecewa!” lontar Thomas.
Jevon menatap Siska dan Thomas bergantian. “Ayah urus saja hukuman apa yang kiranya cocok untuk Mama. Jevon hanya minta batalkan perjodohan Jevon dan Ivana!” putus Jevon dan pergi begitu saja dari kediaman orang tuanya yang membuat dia muak dan marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments