Randu
...----------------...
Gladio Lusnent, seorang gadis yang sudah lulus dari sekolah akhir baru-baru ini. Dia adalah manusia pada umumnya jika tidak memiliki sesosok gadis kecil yang begitu cerewet menurut Gladio.
Sesosok itu adalah ‘teman’ masa kecilnya hingga sekarang. Di umurnya yang sudah menginjak 20 tahun, Gladio masih disibukkan oleh toko bunga kecil-kecilan miliknya. Yang tanpa sepengetahuan orang tua asuhnya sudah didirikan oleh uang tabungan hasil ia menulis cerita horor.
Itupun bukan termasuk hal nyata yang pernah Gladio alami walaupun dirinya mempunyai sesesok teman kecil disampingnya setiap saat. Cerita yang ia publikasikan dilaman online itu dihasilkan oleh imajinasinya juga tambahan berlebihan dari sesosok itu.
Randu. Ia diberi nama Randu karena saat itu, saat pertama kali Gladio bisa berbicara. Dirinya menyebut nama Randu dengan tatapan lurus ke arah sosok itu yang juga tengah menatap Gladio dengan senyuman yang lebih lebar dari biasanya.
Randu kepalang senang, momentum yang dirinya tunggu akhirnya datang juga. Dimana biasanya kata pertama seorang anak adalah memanggil orang tuanya, hanya saja Gladio justru memanggil nama asing tetapi membuat Randu menghangat. Walaupun saat itu Gladio tidak bisa melafalkan huruf R dengan benar.
Dan Randu selalu menemani Gladio dari satu tangan ke tangan lainnya. Gladio tidak benar-benar diurus oleh ibu kandungnya. Ia berpindah tempat sesuai umurnya karena kesepakatan yang entah dibuat oleh siapa, Gladio tidak pernah benar-benar tahu dan tidak akan pernah mau tahu.
Lalu sekarang, ia terdampar di keluarga asing. Nasib memang tidak sepenuhnya bagus dalam kehidupan Gladio ini. Mungkin, jika tidak ada Randu disisinya, ia sudah menyerah saat masih berumur tujuh tahun. Dimana itu adalah kali terakhir ia hidup tenang tanpa hujatan dari orang terdekatnya.
“Dio, ayo pulang!” ajakan Randu yang sudah beberapa kali Gladio acuhkan menggema begitu seram.
“Kamu nanti dimarahin sama Papa lagi. Ayo, Dio, pulang.” Mohon Randu yang masih tidak didengarkan oleh Gladio.
Gadis itu jelas lebih memilih untuk fokus pada bunga-bunga ditokonya, mencabut beberapa tangkai yang sudah layu untuk ia buang.
“Kak Gla, daritadi bunga disamping gerak. Padahal gak ada angin sama sekali, apa pot penyangganya rusak?” seorang gadis yang lebih kecil keluar dari ruangan didalam toko Gladio. Dengan celemek yang menutupi tubuh bagian depannya, ia berjalan mendekati Gladio. Kemudian mengecek tanaman yang dimaksudnya tersebut.
“Gak ada apa-apa. Atau mataku yang rabun, ya?” monolog gadis kecil itu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh, iya, Na, aku izin pulang duluan, ya. Kalau nanti udah gak ada orang mampir lagi langsung tutup aja tokonya. Gak perlu sampai nunggu jam pulang.” Gladio akhirnya angkat bicara setelah menengok ke arah gadis kecil itu---Nana Vionika.
Pekerja paruh waktu yang memaksa Gladio untuk menerimanya agar bekerja di toko bunga milik Gladio. Bahkan saat itu, Nana masih memakai seragam sekolah menengahnya.
“Siap, Kak!” ucapnya begitu semangat. Tangannya bergerak untuk melakukan hormat pada Gladio dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Gladio hanya bisa menggelengkan kepala, kemudian memberikan pekerjaan sebelumnya kepada Nana untuk diambil alih. Sedangkan dirinya berjalan ke ruangan pribadinya, membereskan barang-barang yang Gladio bawa.
“Akhirnya didengerin juga.” Desah Randu lega yang sejak tadi terbang disamping Gladio.
“Kamu bisa gak sih jangan buat angin kalau lagi sebel? Nanti kalau Nana takut gimana? Siapa yang mau jaga toko? Kamu mau?” omel Gladio sembari berjalan keluar ruangannya.
Tidak lupa kembali pamit pada Nana yang masih berkutat dengan bunga-bunga.
“Ya kamu gak dengerin aku. Ini tuh hari yang mengerikan kalau kamu telat pulang ke rumah.” Ucap Randu setelah mereka berdua berhasil memasuki kawasan pejalan kaki.
“Lebay,” jawab Gladio singkat. Ia menatap lurus ke depan, berharap ia tidak akan dinilai sebagai orang gila karena berbicara sendirian.
“Kamu gak pesan taxi online, Dio? Aku capek jalan. Pengen duduk.”
Gladio mendengus, “gak perlu. Buang-buang uang itu namanya. Kalau bisa malah aku lebih milih terbang kayak kamu.”
Randu ikut mendengus juga mendengar ucapan Gladio, ia tidak tahu saja jika terbang juga butuh tenaga.
Mereka akhirnya berdiam diri satu sama lain, menikmati setiap langkah yang ditempuh mereka untuk sampai tujuan. Tidak ada percakapan yang berarti seperti biasanya, Randu mengerti jika suasana hati Gladio sedang tidak baik-baik saja.
Hampir duapuluh menit mereka berjalan, akhirnya sampai juga ditujuan. Sebuah rumah mewah yang didepannya terdapat perkarangan tanah berumput hijau lebat. Gladio menghela nafasnya sebelum memasuki sebuah pintu besar yang menjulang tinggi.
“Gladio pulang.” Ucapnya begitu lirih. Hanya keheningan yang menyambut Gladio, membuatnya melangkahkan kakinya tanpa menunggu siapapun lagi.
“Kok sepi, Dio?” tanya Randu setelah ia kembali dari arah dapur.
“Bohong kali,” kata Gladio acuh, melenggang pergi ke arah kamarnya yang berada tepat disamping arah tangga menuju lantai dua.
“Masa iya? Gak mungkin banget deh, Dio. Soalnya kemarin pas aku nguping, mereka bilang ini demi perusahaannya.”
Gladio menghela nafas, ia langsung merebahkan tubuhnya ke ranjang tidurnya setelah menutup pintu dan menguncinya. “Ah, enak banget, ya, Ran.”
Randu mengambil tempat di meja kecil dimana dulu adalah tempat belajar Gladio. “Apanya yang enak?”
“Tidur. Aku pengen tidur selamanya.”
Randu tertawa, “nanti kamu jadi hantu kayak aku.”
“Jadi kamu gak enak, ya? Kenapa dari dulu gak bolehin aku buat nyerah?”
“Jangan aneh-aneh, hidup kamu itu berharga, Dio. Bisa aja setelah ini kamu bebas, 'kan?”
“Mana ada. Keluar dari sini pun aku masuk ke sangkar lain.”
Randu tertegun. Apa yang dikatakan Gladio ada benarnya. Mereka berdua masih belum tahu kemana Gladio akan dipindah tangan lagi oleh keluarga angkatnya. Masa depan Gladio masih terlalu gelap untuk diintip sedikit olehnya.
Tok! Tok! Tok!
“Nona muda, Tuan Besar dan Nyonya sudah menunggu di meja makan.”
“Apa?!” Randu berteriak histeris, ia langsung terbang menembus dinding dan entah akan pergi kemana. Meninggalkan Gladio yang lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya.
Beranjak dari kasur yang sangat nyaman itu untuk membuka pintu dan mengiyakan pelayan rumah. Mengatakan jika ia akan bersiap dengan cepat.
Gladio tidak merasa tenang sekarang, pikirannya sudah tidak menyatu lagi dengan otaknya. Merasa hidup duapuluh tahunnya ini hanya dipenuhi oleh kehidupan berpindah tangan. Demi uang, demi kekayaan.
Seakan Gladio adalah barang antik yang selalu berharga mahal jika berpindah tangan. Dilelang dengan harga tertinggi sesuai umurnya. Kemudian akan dirawat sedemikian rupa dengan cacian, hujatan, atau bahkan kemarahan. Seperti pelampiasan saat si pemilik sedang mendapat kekalutan akan biaya untuk merawatnya.
Padahal jika telusuri, Gladio tidak meminta, Gladio tidak berharap akan dirawat sedemikian rupa. Ia hanya ingin terbang bebas seperti Randu. Tanpa ada ikatan yang harus Gladio jaga untuk menghargai orang tua kandungnya.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ
Randu pasti buat nyaman, soalnya Randu kan pohon kapuk yang bisa dibuat bantal, hehehe /Joyful/ Gladio aku kira lakii loooh /Cry/
2024-07-02
0
Kustri
kirain gladio laki
emg g bs kontrak sendiri yaa kan ada penghasilan, apamsh krg
tulisan'a enak dibaca
2024-06-26
1
Cherlys_lyn
waduh, ini temannya aga beda. bukan beda karakter, tapi beda alamm 😭😭
2024-06-17
0