...----------------...
Gladio Lusnent, seorang gadis yang sudah lulus dari sekolah akhir baru-baru ini. Dia adalah manusia pada umumnya jika tidak memiliki sesosok gadis kecil yang begitu cerewet menurut Gladio.
Sesosok itu adalah ‘teman’ masa kecilnya hingga sekarang. Di umurnya yang sudah menginjak 20 tahun, Gladio masih disibukkan oleh toko bunga kecil-kecilan miliknya. Yang tanpa sepengetahuan orang tua asuhnya sudah didirikan oleh uang tabungan hasil ia menulis cerita horor.
Itupun bukan termasuk hal nyata yang pernah Gladio alami walaupun dirinya mempunyai sesesok teman kecil disampingnya setiap saat. Cerita yang ia publikasikan dilaman online itu dihasilkan oleh imajinasinya juga tambahan berlebihan dari sesosok itu.
Randu. Ia diberi nama Randu karena saat itu, saat pertama kali Gladio bisa berbicara. Dirinya menyebut nama Randu dengan tatapan lurus ke arah sosok itu yang juga tengah menatap Gladio dengan senyuman yang lebih lebar dari biasanya.
Randu kepalang senang, momentum yang dirinya tunggu akhirnya datang juga. Dimana biasanya kata pertama seorang anak adalah memanggil orang tuanya, hanya saja Gladio justru memanggil nama asing tetapi membuat Randu menghangat. Walaupun saat itu Gladio tidak bisa melafalkan huruf R dengan benar.
Dan Randu selalu menemani Gladio dari satu tangan ke tangan lainnya. Gladio tidak benar-benar diurus oleh ibu kandungnya. Ia berpindah tempat sesuai umurnya karena kesepakatan yang entah dibuat oleh siapa, Gladio tidak pernah benar-benar tahu dan tidak akan pernah mau tahu.
Lalu sekarang, ia terdampar di keluarga asing. Nasib memang tidak sepenuhnya bagus dalam kehidupan Gladio ini. Mungkin, jika tidak ada Randu disisinya, ia sudah menyerah saat masih berumur tujuh tahun. Dimana itu adalah kali terakhir ia hidup tenang tanpa hujatan dari orang terdekatnya.
“Dio, ayo pulang!” ajakan Randu yang sudah beberapa kali Gladio acuhkan menggema begitu seram.
“Kamu nanti dimarahin sama Papa lagi. Ayo, Dio, pulang.” Mohon Randu yang masih tidak didengarkan oleh Gladio.
Gadis itu jelas lebih memilih untuk fokus pada bunga-bunga ditokonya, mencabut beberapa tangkai yang sudah layu untuk ia buang.
“Kak Gla, daritadi bunga disamping gerak. Padahal gak ada angin sama sekali, apa pot penyangganya rusak?” seorang gadis yang lebih kecil keluar dari ruangan didalam toko Gladio. Dengan celemek yang menutupi tubuh bagian depannya, ia berjalan mendekati Gladio. Kemudian mengecek tanaman yang dimaksudnya tersebut.
“Gak ada apa-apa. Atau mataku yang rabun, ya?” monolog gadis kecil itu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh, iya, Na, aku izin pulang duluan, ya. Kalau nanti udah gak ada orang mampir lagi langsung tutup aja tokonya. Gak perlu sampai nunggu jam pulang.” Gladio akhirnya angkat bicara setelah menengok ke arah gadis kecil itu---Nana Vionika.
Pekerja paruh waktu yang memaksa Gladio untuk menerimanya agar bekerja di toko bunga milik Gladio. Bahkan saat itu, Nana masih memakai seragam sekolah menengahnya.
“Siap, Kak!” ucapnya begitu semangat. Tangannya bergerak untuk melakukan hormat pada Gladio dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Gladio hanya bisa menggelengkan kepala, kemudian memberikan pekerjaan sebelumnya kepada Nana untuk diambil alih. Sedangkan dirinya berjalan ke ruangan pribadinya, membereskan barang-barang yang Gladio bawa.
“Akhirnya didengerin juga.” Desah Randu lega yang sejak tadi terbang disamping Gladio.
“Kamu bisa gak sih jangan buat angin kalau lagi sebel? Nanti kalau Nana takut gimana? Siapa yang mau jaga toko? Kamu mau?” omel Gladio sembari berjalan keluar ruangannya.
Tidak lupa kembali pamit pada Nana yang masih berkutat dengan bunga-bunga.
“Ya kamu gak dengerin aku. Ini tuh hari yang mengerikan kalau kamu telat pulang ke rumah.” Ucap Randu setelah mereka berdua berhasil memasuki kawasan pejalan kaki.
“Lebay,” jawab Gladio singkat. Ia menatap lurus ke depan, berharap ia tidak akan dinilai sebagai orang gila karena berbicara sendirian.
“Kamu gak pesan taxi online, Dio? Aku capek jalan. Pengen duduk.”
Gladio mendengus, “gak perlu. Buang-buang uang itu namanya. Kalau bisa malah aku lebih milih terbang kayak kamu.”
Randu ikut mendengus juga mendengar ucapan Gladio, ia tidak tahu saja jika terbang juga butuh tenaga.
Mereka akhirnya berdiam diri satu sama lain, menikmati setiap langkah yang ditempuh mereka untuk sampai tujuan. Tidak ada percakapan yang berarti seperti biasanya, Randu mengerti jika suasana hati Gladio sedang tidak baik-baik saja.
Hampir duapuluh menit mereka berjalan, akhirnya sampai juga ditujuan. Sebuah rumah mewah yang didepannya terdapat perkarangan tanah berumput hijau lebat. Gladio menghela nafasnya sebelum memasuki sebuah pintu besar yang menjulang tinggi.
“Gladio pulang.” Ucapnya begitu lirih. Hanya keheningan yang menyambut Gladio, membuatnya melangkahkan kakinya tanpa menunggu siapapun lagi.
“Kok sepi, Dio?” tanya Randu setelah ia kembali dari arah dapur.
“Bohong kali,” kata Gladio acuh, melenggang pergi ke arah kamarnya yang berada tepat disamping arah tangga menuju lantai dua.
“Masa iya? Gak mungkin banget deh, Dio. Soalnya kemarin pas aku nguping, mereka bilang ini demi perusahaannya.”
Gladio menghela nafas, ia langsung merebahkan tubuhnya ke ranjang tidurnya setelah menutup pintu dan menguncinya. “Ah, enak banget, ya, Ran.”
Randu mengambil tempat di meja kecil dimana dulu adalah tempat belajar Gladio. “Apanya yang enak?”
“Tidur. Aku pengen tidur selamanya.”
Randu tertawa, “nanti kamu jadi hantu kayak aku.”
“Jadi kamu gak enak, ya? Kenapa dari dulu gak bolehin aku buat nyerah?”
“Jangan aneh-aneh, hidup kamu itu berharga, Dio. Bisa aja setelah ini kamu bebas, 'kan?”
“Mana ada. Keluar dari sini pun aku masuk ke sangkar lain.”
Randu tertegun. Apa yang dikatakan Gladio ada benarnya. Mereka berdua masih belum tahu kemana Gladio akan dipindah tangan lagi oleh keluarga angkatnya. Masa depan Gladio masih terlalu gelap untuk diintip sedikit olehnya.
Tok! Tok! Tok!
“Nona muda, Tuan Besar dan Nyonya sudah menunggu di meja makan.”
“Apa?!” Randu berteriak histeris, ia langsung terbang menembus dinding dan entah akan pergi kemana. Meninggalkan Gladio yang lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya.
Beranjak dari kasur yang sangat nyaman itu untuk membuka pintu dan mengiyakan pelayan rumah. Mengatakan jika ia akan bersiap dengan cepat.
Gladio tidak merasa tenang sekarang, pikirannya sudah tidak menyatu lagi dengan otaknya. Merasa hidup duapuluh tahunnya ini hanya dipenuhi oleh kehidupan berpindah tangan. Demi uang, demi kekayaan.
Seakan Gladio adalah barang antik yang selalu berharga mahal jika berpindah tangan. Dilelang dengan harga tertinggi sesuai umurnya. Kemudian akan dirawat sedemikian rupa dengan cacian, hujatan, atau bahkan kemarahan. Seperti pelampiasan saat si pemilik sedang mendapat kekalutan akan biaya untuk merawatnya.
Padahal jika telusuri, Gladio tidak meminta, Gladio tidak berharap akan dirawat sedemikian rupa. Ia hanya ingin terbang bebas seperti Randu. Tanpa ada ikatan yang harus Gladio jaga untuk menghargai orang tua kandungnya.
...----------------...
...----------------...
Gladio berjalan dengan anggun menuju ke meja makan yang ternyata entah sejak kapan sudah tersusun rapi menu makanan, juga beberapa orang yang berbincang hangat tengah duduk melingkari meja tersebut.
Hingga satu persatu tatapan dari orang disana menyambut kedatangan Gladio. Gaun putih sebatas lutut dikenakannya hari ini, senyuman manis yang sangat palsu itu menghiasi wajahnya.
Benar-benar definisi barang lelang yang dihiasi sedemikian rupa demi menggait pemilik baru
“Gladio, sini, Nak.” Satu wanita paruh baya memanggilnya untuk mendekat, Gladio pun dengan patuh mengambil duduk didekat wanita itu.
“Oh, ini, Nak Gladio. Ya Tuhan, cantik banget, Jeng! Saya gak pernah tahu kalau Jeng Lina punya anak secantik ini. Disembunyiin banget, ya. Saya dapet harta karun dong ini.” Wanita asing lainnya berkata, membuat perut Gladio bergejolak mual.
Ada dua pria asing juga wanita didepannya. Gladio tebak, mereka adalah orang tua barunya.
“Halo, Tante. Perkenalkan saya Gladio Lusnent.” Gladio memperkenalkan diri begitu ramah. Dan disambut senyuman hangat dari sepasang suami istri itu. Tetapi tidak dengan pria diujung.
“Waduh, paket lengkap ini, Bro. Jolan pasti suka ini. Iya, 'kan, Lan?”
Pria diujung memaksakan senyuman, Gladio yang melihatnya ingin sekali mencibir. Tetapi diurungkannya karena suasana tidak mendukung untuk Gladio bersikap arogan.
“Iya, Yah. Jolan suka.” Ucap lelaki itu dengan mata yang menghunus tajam menatap Gladio.
“Kak Jolan ini mau jadi Kakak saya, ya? Salam kenal Kak Jo, saya Gladio. Semoga saya bisa jadi adik yang baik buat Kakak.” Ucap Gladio yang sungguh hanya manis di lidah saja.
“Lho!” wanita yang sejak tadi menatapnya begitu semangat terkejut mendengar penuturan Gladio.
“Aduh, Jeng Zela, maaf. Gladio belum saya kasih tahu soalnya biar jadi kejutan gitu.”
Lina--- Mama angkat Gladio segera mencubit paha Gladio dibawah tanpa sepengetahuan semua orang.
Gladio menahan ringisan. Kemudian ikut meminta maaf jika perkataan dirinya ada yang salah.
“Jadi, Gladio mau dijodohin sama anak Tante. Ini, Jolan, anak Tante. Nanti bisa kenalan lebih lanjut berdua, ya.” Penjelasan dari wanita yang bernama Zela itu seketika membuat Gladio terkejut.
“Mama?” tanya Gladio lirih.
“Iya. Apa yang dikatakan Tante Zela itu benar. Kamu udah lulus sekolah, dari pada pengangguran dan keluyuran gak tahu kemana mending Mama jodohin sama anak temen Mama.”
Gladio sudah kehilangan akalnya sekarang. Ia menatap ke arah samping dimana Randu juga ikut duduk disana menemaninya sedari tadi.
“Dio, aku juga gak tahu kalau kamu bakal dijodohin. Aku kira kayak sebelumnya.” Ucap Randu merasa bersalah. Harusnya ia menguping lebih lama lagi waktu itu.
Gladio mengangguk, “Gladio nurut Mama aja. Gimana baiknya.” Katanya sangat pasrah.
Zela yang berhadapan dengan Gladio langsung tersenyum lebar. Beliau langsung bersikap begitu berlebihan menurut Gladio, mengambilkan nasi beserta lauk untuknya. Yang sudah lama Gladio tidak menerima sikap perhatian seperti ini.
Dua keluarga itu disibukkan dengan makan siang hari itu. Setelah selesai, Gladio dan pria yang sedari tadi diam didorong menjauh berdua untuk menghabiskan waktu.
Sehingga lelaki itu entah membawa Gladio kemana, tanpa satu katapun terucap. Seperti Gladio tengah diculik sekarang.
“Saya tahu kamu tidak sepolos itu.” Celetukan pria disampingnya yang sedang fokus mengemudi membuyarkan lamunan Gladio.
“Saya duda anak satu. Demi keluarga dan menebus kesalahan dulu karena tidak mendengarkan petuah beliau, saya menerima perjodohan ini.” Lanjutnya karena tidak mendapat jawaban dari Gladio.
Sedangkan Gladio dibuat terkejut kembali setelah mendengar jika lelaki disampingnya adalah duda. Dan yang lebih parah adalah sudah mempunyai anak.
“Anak saya perempuan, sedikit nakal dan tidak bisa diatur. Kita akan menemuinya kali ini. Maaf terlalu mendadak dan tidak memberitahu lebih dulu.”
Randu yang berada dikursi penumpang bagian belakang juga ikut terkejut, “ini benar-benar sial, Dio. Apa kita kabur aja? Gak perlu terima perjodohan itu. Toh kamu udah punya pemasukan stabil.”
Gladio diam, ia benar-benar kehabisan kata-kata sekarang. Dalam satu hari sudah mendapat begitu banyak kejutan hingga membuatnya pening tujuh keliling.
“Gladio, saya Jolanza Biznav. Anak saya Alana Biznav, umur tujuh tahun. Baru beberapa bulan masuk sekolah dasar. Semoga kamu tidak tersinggung dengan sikap Alana nanti.”
Setelah mengatakan itu, mereka tiba disebuah rumah sederhana. Disambut gonggongan anjing yang menyapa mobil tuannya.
“Kenapa manusia kebanyakan pelihara anjing, Dio?”
Suara itu terdengar bergetar dibelakang sana, Gladio menoleh ke belakang dan mendapati Randu sudah menggigil ditempatnya. Ia segera menutup mulutnya agar tidak menimbulkan kecurigaan karena dirinya sekarang sangat ingin menertawakan Randu.
“Kamu kenapa lihat belakang? Rumah saya ada didepan.” Celetukan Jolan membuahkan hasil dimana tatapan sinis Gladio dilayangkan kepadanya.
Gladio berdeham, “anjingmu lucu.”
Jolan melihat anjingnya yang tidak biasanya menggonggong sangat keras. “Sebenarnya anjing itu hanya sebagai anjing penjaga, karena Alana tidak selalu ikut saya. Tetapi hari ini sepertinya anjing itu terlalu berisik.”
“Anjing menggonggong tuh kadang karena ada makhluk selain manusia disekitar.” Celetuk Gladio yang sepenuhnya tidak berbohong.
“Maksudmu sejenis hantu?”
Gladio mengangguk sebagai jawaban, mereka bahkan belum berniat untuk keluar dari mobil.
“Ya semuanya balik ke diri sendiri, percaya atau tidak tentang mitos itu. Kalau saya, sepenuhnya tidak percaya hal begituan.” Kata Jolan sembari menatap Gladio.
“Ngomong-ngomong, itu anakmu?” tanya Gladio segera setelah melihat pintu rumah didepannya terbuka dan menampakkan seorang anak kecil dengan piyama kebesarannya berwarna merah muda.
“Oh, iya. Ayo,” ajak Jolan. Keduanya keluar dari mobil bersamaan.
“Dio, aku gimana? Kalau anjing itu ngejar aku gimana? Dio! Jangan tinggalin aku!” teriak Randu dari dalam mobil. Yang tentu saja di abaikan oleh Gladio.
Dimana gadis itu sekarang mati-matian menahan tawanya, apalagi kini dirinya ditatap intens oleh anak itu.
“Ngomong-ngomong Kak Jolan, hantu takut sama anjing. Jadinya anjing terus menggonggong karena merasa aura negatif yang dihasilkan hantu itu berbahaya. Tapi kalau emang Kak Jolan gak percaya, anggap aja saya lagi cerita dongeng.”
Jolan menoleh menatap Gladio dengan alis terangkat, “dongengmu bagus. Sedikit berimajinasi.”
Dan tawa Gladio yang sejak tadi ditahan akhirnya keluar. “Terima kasih pujiannya. Juga sebagai informasi, saya adalah penulis cerita horor yang gak dipercayai Kak Jolan.” Ucapnya dengan senyuman lebar.
“Daddy. Dia siapa?”
Pertanyaan itu memutuskan pandangan antar Gladio dan Jolan yang bersitatap dalam diam.
“Oh, Alana. Kasih salam buat calon Mommy kamu.”
“Gak mau.” Tolak anak kecil itu mentah-mentah. “Kata Oma dia gak punya anak, Daddy?”
Gladio dan Jolan sedikit kebingungan dengan pertanyaan itu.
“Iya? Kak Gladio belum punya anak. Kenapa, Sayang?”
“Terus itu siapa? Kenapa gak ikut turun dari mobil?”
Gladio menahan nafasnya saat anak dari Jolan menunjuk ke arah mobil. Dimana Randu melambaikan tangannya ke arah Gladio meminta pertolongan. Hantu kecil itu tidak tahu jika dirinya sekarang menjadi topik utama.
“Kamu ngomongin siapa, Alana? Kamu baru bangun tidur, ya? Ayo masuk. Tidur lagi.” Ucap Jolan tidak merasa curiga.
“Maaf, Gladio. Anak saya sering bertindak jahil pada orang baru. Ayo masuk, kita ngobrol didalam.”
Gladio tersenyum, “Alana,” panggilnya.
Alana menatap Gladio penuh tanda tanya.
“Itu bukan anak Kak Gladio. Dia yang sering disebut hantu sama manusia. Mau kenalan?”
Dan wajah pucat dari Alana serta teriakan Jolan saat tubuh anaknya ambruk terlihat lucu dihadapan Gladio.
“Kak Jolan harus percaya. Soalnya Alana lihat sejenis hantu yang takut anjing. Hehehehe.” Cekikiknya diakhir kalimat.
...----------------...
...----------------...
Gladio duduk di ruang tamu sendirian. Si tuan rumah panik mengurusi anak tunggalnya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Sehingga dengan cepat memanggil dokter ke kediamannya.
Sungguh. Orang kaya sekali bermain ponsel, mungkin presiden dengan sukarela bertamu ke rumahnya.
“Jadi dia pingsan karena aku, Dio?”
Randu. Sosok itu selamat dari kejaran dan gonggongan anjing penjaga. Ia lupa jika dirinya bisa menghilang. Hantu bodoh. Randu mengakui itu karena ia selalu melupakan segalanya jika sedang ketakutan.
Dan Gladio, bukannya mengingatkan, justru meninggalkan Randu dan menertawakannya.
“Dikira kamu anak aku.”
“Dih, gak mau.”
Gladio mendelik, “enak aja! aku juga gak mau kamu jadi anakku, kali.” Sinisnya.
“Apa kita kabur aja, Dio?”
“Ngapain kabur?”
“Ya, daripada kamu jelasin tentang aku.”
“Justru itu poinnya, Randu. Kita kan masih belum tahu anaknya beneran bisa lihat kamu atau enggak. Kalau dia bisa lihat kamu 'kan dia jadi ketakutan tuh, terus minta Daddynya buat batalin perjodohan. Dia pasti mikir dong gak mau punya mommy kayak aku yang bawa-bawa hantu. Wah ini pasti berhasil sih.” Pikirnya berhasil.
Randu melebarkan matanya, “jadi ini rencana kamu? Wah, Dio, parah sih kamu. Makanya tumben banget mau-mau aja di ajak ke rumah orang. Eh taunya ada udang dibalik selimut.” Cibirnya kesal.
Gladio terkekeh, “dia udah tahu aku gak sepolos itu malah iya-iya aja nerima perjodohan aneh ini. Aku terbilang masih kecil, sedangkan dia udah punya anak. Ya gak imbang dong, Randu.”
“Jadi kamu beneran bisa lihat sejenis hantu, Gladio?”
Suara itu berhasil membuat Gladio dan Randu berjingkat dari tempatnya.
“Jadi anak yang di maksud Alana itu beneran ada?”
Pertanyaan terus memberondong Gladio yang hanya bisa terdiam. Aura yang dikeluarkan pria itu sedikit menekan keberanian Gladio.
Jolan, pria itu berjalan dengan tampang yang semrawut mendekati Gladio. “Saya tidak tahu kalau kamu bisa melihat sesuatu seperti itu. Maaf jika perkataan saya tadi membuatmu tersinggung. Hanya saja tentang Alana, saya kira dia sedang bercanda.” Jelasnya sembari mengambil tempat duduk berdampingan dengan Gladio.
“Kata dokter, Alana mengalami syok berat. Sepertinya memang dia baru saja bisa melihat hal-hal itu.”
Gladio menelan ludahnya susah payah. Merasa kasihan melihat pria didepannya ini juga ikut syok mendengar bahwa anaknya bisa melihat hal yang sama sekali tidak dipercayai pria itu.
Ya, bagaimanapun juga, Gladio tetap pada rencana pertamanya. Ia akan berusaha membuat Jolan sendiri yang membatalkan perjodohan ini.
“Kamu---” ucapan itu mengambang.
“Pasti kamu udah denger semuanya, kan?”
Jolan menatap Gladio, “tidak akan ada perubahan dari perjodohan kita, Gladio. Justru yang akan berubah adalah anak saya. Dia yang akan berusaha untuk terbiasa dengan hal itu.”
Raut wajah Gladio langsung berkerut tidak terima. “Kenapa?”
“Kamu terlalu naif, Gladio.” Jolan tertawa. “Tentang perjodohan dan anak saya, itu sudah berada di jalur yang berbeda. Semisal memang anak saya tidak setuju karena takut dengan sesuatu disekitarmu, lalu menyuruh saya untuk membatalkan perjodohan ini. Apakah anak saya tidak akan melihat hal-hal seperti itu lagi setelah perjodohan kita batal? Tidak, kan?”
Randu yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bertepuk tangan. Membuat Gladio melirik sinis ke arahnya. “Dia gak cocok buat kamu, Dio. Dia terlalu pintar, gak kayak kamu.”
“Ayo,” tiba-tiba Jolan mengajak Gladio untuk beranjak dari duduknya.
“Saya pulang aja.” Tolak Gladio.
“Saya antar setelah kamu bertemu anak saya. Ayo.” Ujar Jolan yang meraih tangan Gladio untuk di genggamnya.
“Gak. Nanti dia takut lagi ketemu temen saya.” Gladio menggeleng brutal.
“Siapa nama teman kamu?”
Gladio menatap selidik, “Randu. Ke---”
“Randu? Saya punya satu permintaan ke kamu, bisakah nanti bersikap biasa saja di depan anak saya? Anak saya sudah setuju untuk mencoba berbicara denganmu.”
Randu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, “boleh. Tapi jangan paksa Dio.”
Jolan hanya merasakan keheningan, kemudian dengan mandiri mengajukan pertanyaan. “Apa jawabannya, Gladio?”
“Boleh, tapi jangan paksa aku.” Ujar Gladio sesuai jawaban Randu.
Jolan menatap pegangan tangan mereka yang mengambang di udara, kemudian melepaskannya secara perlahan. “Ayo?”
Dan akhirnya mereka berdua berjalan menuju ke kamar yang bertuliskan ‘Alana Room’ di pintunya. Ditambah Randu yang terbang rendah disamping Gladio.
“Pak Jolan, obat akan dikirim sebentar lagi. Nona Alana hanya perlu beristirahat sebentar.” Seorang dokter muda menyapa indera penglihatan dan pendengaran Gladio.
“Terima kasih, Dok. Mari saya antar keluar.” Jolan hampir melangkah jika Gladio tidak menggenggam pergelangan tangannya.
“Kok saya ditinggal sih.”
Jolan terkekeh, “hanya sebentar. Kamu bisa berkenalan terlebih dahulu dengan Alana. Lihat, dia sedang melihatmu. Saya tinggal, ya.”
Gladio mendengus saat pegangannya dilepaskan oleh Jolan. Kemudian dirinya benar-benar ditinggalkan hanya berdua dengan anak pria tersebut, Alana.
“Kak Gladio,” panggilan itu mau tak mau membuat si empu menoleh.
“Duduk sini.” Ucapnya lirih. Bibirnya pucat.
Apa mungkin masih takut?
Randu menyerobot Gladio dan menampakkan diri di depan Alana. “Halo, Alana! Kenalin aku Randu. Aku bukan anak Dio, tapi aku teman kecilnya. Maaf kalau aku jadi pengalaman pertama kamu lihat hal-hal itu. Tapi tenang aja, aku ba----”
“HUAAA, KAK GLADIO!” teriakan bercampur tangisan memotong perkenalan Randu.
Gladio kelabakan saat anak itu justru berhambur ke pelukannya. Tubuh Alana bergetar hebat. Tangisannya bahkan menyirat ketakutan.
“Dio, kok dia malah nangis?” bingung Randu.
“Randu!” keluh Gladio pusing. Ingin sekali menyemprot hantu kecilnya itu, tetapi anak kecil di hadapannya ini lebih membutuhkan perhatian.
“Duh, maaf, ya.” Ucap Gladio canggung. Tangannya pun perlahan mengusap punggung Alana. Mengatakan jika Randu adalah hantu baik hati. Randu bahkan memiliki wujud yang menggemaskan dari kebanyakan hantu lainnya.
Bajunya walaupun tidak putih bersih, masih terbilang enak dipandang. Dan rambut sebahunya tertata rapi tidak menutupi matanya.
“Randu juga bisa takut lho.” Celetuk Gladio memecah tangisan Alana.
“Aduh, Dio! Jangan diceritain! Itu aib tahu!”
“Randu takut sama anjing. Kamu punya anjing di depan, kan? Kalau Randu nakal, kamu bisa lepasin anjing itu biar Randu di kejar.”
Tangisan yang tadinya terasa berat kini mulai mereda seiring penjelasan Gladio terucap.
“Dia juga takut ketinggian. Jadi kalau terbang pasti selalu sepundak Kakak.”
“Ke-kenapa gak jalan?”
Randu dan Gladio saling bersitatap. Randu bahkan terlihat semakin bersemangat.
“Karena kalau jalan, Randu bakal tenggelem.” Gladio menahan tawanya saat mengingat dimana pertama kalinya Randu mencoba berjalan.
Bukannya menapak, Randu justru seperti tertelan oleh bumi. Dan itu berhasil membuat Gladio mengejek dan menertawai Randu habis-habisan.
“Karena gak napak?”
Gladio langsung mengangguk brutal sebagai jawaban karena mulutnya kini sibuk mengeluarkan tawa.
“Ah, Dio gak asik!”
“Hahahahahaha, Ran-Ran, anak kecil aja tahu.” Ejeknya begitu puas.
“Aku bisa jalan umur dua tahun.”
Dan tawa Gladio semakin pecah. “Namanya juga hantu, hahahaha.”
“Dahlah, aku pergi aja.” Dan Randu menghilang saat itu juga. Meninggalkan Gladio dan Alana berduaan disana. Hawa canggung pun menghinggap pada Gladio.
“Kamu udah gak nangis?” Gladio mempertanyakan kondisi Alana.
“Kalau udah gak nangis, ayo lepasin dulu pelukannya. Randu udah gak disini kok. Dia pergi karena ngambek.” Jelasnya yang perlahan terbebas dari pelukan anak kecil itu.
Gladio meringis melihat wajah sembab Alana dan matanya yang membengkak. “Kamu baru pertama kali bisa lihat, ‘kan? Kakak dulu karena dari kecil udah lihat Randu dimanapun, Kakak gak terlalu kaget waktu dia jelasin kalau dia hantu.” Jelasnya sembari mengusap wajah Alana yang terdapat genangan air mata.
“Mau Kakak ceritain?”
Dan Alana mengangguk brutal.
“Saya juga mau dengar cerita kamu.” Tiba-tiba Jolan sudah ada dibelakang Gladio dan mengambil kursi kecil agar bisa duduk berhadapan dengan Gladio.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!