7

...----------------...

“Dio, bangun, Dio! Alana sama ayahnya udah nunggu di ruang tamu, lho!”

Gladio menggeliat kecil, sedikit terganggu tetapi tetap meneruskan jam tidurnya agar lebih panjang. Kemarin setelah diantar pulang oleh Jolan, Gladio tidak langsung tidur. Melainkan menyibukkan diri dengan menulis alur baru dalam ceritanya.

Bergadang, ditemani oleh banyak camilan. Yang biasanya ditemani Randu, kemarin hanya keningan dan suara kunyahan dari mulut Gladio yang menemani gadis itu.

Ya, Randu memang selalu menghilang. Tidak selalu berada dikamarnya jika malam sudah tiba. Dan kemarin, mungkin karena memiliki teman baru, Randu terlalu bersemangat sehingga memutuskan untuk berada disana malam itu.

Yaps. Randu bersama Alana. Tidak ikut kembali saat Gladio diantar oleh Jolan.

Lalu sekarang, sesosok gadis kecil itu sudah berada dikamarnya lagi. Mengganggunya dengan angin yang berhembus disekitar wajah Gladio.

“Bisa diem gak sih? Bilangin kalau aku lagi sibuk.” Gumam Gladio dalam tidurnya.

“Sibuk apa, Dio? Sibuk tidur? Yang bener aja. Nanti Mama yang bangunin kamu malah berabe lho.” Peringat Randu.

Yang jelas ucapan Randu langsung didengar oleh Gladio. Dimana gadis itu secara cepat beranjak dari ranjangnya. Dan berjalan dengan satu mata yang tertutup ke arah kamar mandi.

“Masih mempan ternyata.” Gumam Randu sambil menggaruk tengkuknya.

Gladio memakai pakaian asal, celana olahraga dan kaos kebesaran. Juga tidak lupa tas punggungnya yang berisi banyak sekali barang tidak berguna. Ia berjalan tergopoh-gopoh ke arah ruang tamu. Yang untungnya begitu dekat dengan kamar Gladio.

Jadi dia tidak perlu berpapasan dengan anggota keluarganya.

“Kak Gladio!” sapa Alana riang. Gadis kecil itu beranjak dari duduknya dan berlari menghampiri Gladio.

“Mau kemana deh? Pagi-pagi udah kesini aja.” Ujar Gladio pelan pada Jolan yang ikut mendekat ke arahnya.

“Selamat pagi.”

“Pagi. Ih, ayo cepet keluar aja.” Ajak Gladio buru-buru. Menggandeng Alana dan menarik lengan Jolan.

“Kenapa buru-buru? Saya belum bertemu Mama kamu.”

“Gak perlu. Lagian pasti sibuk. Kamu tadi disambut sama Bibi?”

“Iya.” Jolan mengangguk walaupun Gladio tidak melihatnya. “Tetapi tetap saja. Saya harus izin Mama kamu sebelum mengajakmu keluar.”

Ucapan Jolan hanya dianggap lalu oleh Gladio, ia menyuruh lelaki itu untuk memasuki mobil. Lalu Alana ikut masuk saat Gladio juga membukakan pintu mobil untuknya.

“Kakak gak masuk?” tanya Alana kebingungan.

“Kakak yang nutup pagar. Jaga dulu tas Kakak, ya.” Gladio meletakkan tas ranselnya disamping Alana. Kemudian menutup pintu dengan keras. “Cepet, Kak!”

Sesuai arahan dari Gladio, Jolan menginjak gas keluar dari perkarangan rumah tersebut. Menunggu Gladio dan menatap pergerakannya dari spion tengah.

“Padahal ada satpam, Dad?”

Jolan menghendikkan bahunya, “dari kemarin seperti itu. Alana, apakah Randu ada disini?”

Alana mengangguk sebagai jawaban.

“Randu, jadi, apa ada alasan dibelakang Gladio saat dia menutup dan membuka pintu pagar sendiri?”

Mata kiri Randu berkedut, jelas tidak ingin menjawab pertanyaan aneh itu. Dan sedikit terlalu privasi.

“Aku tahu. Tapi, bukankah lebih baik ayahmu bertanya sendiri, Alana?”

Alana kembali mengangguk, membenarkan ucapan Randu. “Dad lebih baik tanya sendiri. Atau nanti aku yang tanya?”

“Hahaha, tidak perlu. Biar Dad saja yang bertanya sendiri.”

Menurut Jolan, Randu benar-benar orang--- hantu yang bisa dipercaya. Pasti Randu tahu akan semua hal tentang Gladio, bagaimana mereka selalu hidup berdampingan sejak Gladio kecil. Tetapi bahkan, pada orang yang tidak bisa melihatnya dan bertanya tentang kondisi Gladio padanya, Randu tidak menjawab.

“Hah, capek. Aku laper. Tapi aku tidur sebentar, ya. Nanti bangunin kalau udah sampai ditempat tujuannya.” Ujar Gladio pada Jolan setelah ia duduk disamping pria itu.

Jolan mengangguk sembari mengingatkan Gladio agar tidak lupa memakai sabuk pengaman. Sedangkan Alana yang paham kondisi akhirnya memilih asik sendiri dengan Randu. Berbisik entah bercerita tentang apa, yang jelas, Gladio sekelebat mendengar jika kepribadian Randu saat bercerita berubah menjadi anak kecil setara dengan Alana.

Gladio tersenyum sebelum benar-benar jatuh dalam bunga tidurnya.

Berpuluh-puluh menit kemudian, Alana menghela nafas disamping Randu yang ikut bosan juga.

“Dad, kenapa belum sampai-sampai? Aku juga udah laper banget.”

Jolan meringis, “ya. Sebentar lagi.”

“Dio! Dio! Cepat bangun! Aku bosan! Calon suamimu benar-benar aneh! Sejak tadi hanya berputar-putar!”

Gladio meregangkan tubuhnya, “Kak Jolan lama banget sih! Aku laper!” teriaknya tanpa membuka mata.

“Ini sudah sampai.”

Dan Alana langsung melongo melihat restoran didepan yang menjadi tujuan mereka. “Dad! Ini mah limabelas menit juga udah sampai dari rumah Kak Gladio! Ah bener kata Randu, Dad cuma puter-puter doang!” protes sang anak pada ayahnya.

Jolan menggaruk pelipisnya, “kasihan Kak Gladio kalau hanya tidur limabelas menit. Nanti pusing.”

Gladio yang sepenuhnya sudah sadar tetapi masih menutupnya matanya pun memberikan ekpresi jijik pada wajahnya.

“Sweet banget. Tapi 'kan Kak Jolan tahu aku eneg kalau makan yang kemanisan.” Sinis Gladio sembari membuka sabuk pengamannya.

“Ayo, Ran, Alana. Kita masuk dulu. Biarin itu orang disana merenungkan keromantisan aneh yang bikin eneg.”

Randu tertawa kencang ditempatnya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari ayah Alana itu. Dan sang anak, justru ikut mencibir sang ayah bersama dengan Gladio.

Ketiganya meninggalkan Jolan yang bersikap malu akibat ulah romantisnya. Yang ternyata terlihat bodoh didepan Gladio.

“Saya tidak akan menyerah untuk membuatmu jatuh, Gladio. Pada saya dan Alana.” Gumam Jolan.

“Apaan deh, Kak. Merinding ih! Udah ayo keluar!”

Dan lagi-lagi, Gladio menangkap gumaman Jolan karena ia kelupaan membawa tas ranselnya yang berada dikursi belakang.

“Ya ampun, Gladio. Bisakah kamu tidak mempermalukan saya?” gemas Jolan yang keluar dari mobil. Lalu berlari kecil ke arah Gladio dan mengapit leher gadis itu dengan lengan kekarnya.

“Ih kok aku? Orang kamu sendiri yang aneh banget sok-sokan jadi manusia paling romantis sepanjang masa. Gak ada, ya. Buatku, kamu tua dan alay.” Ejek Gladio tanpa takut.

Menghasilkan tawa renyah dari Jolan dan usapan lembut di rambut Gladio.

“Iya deh, yang paling muda. Saya mah cuma bapak-bapak anak satu.”

“Tapi kamu kaya sih. Ini bukannya restoran yang harus reservasi dulu, ya?” tanya Gladio. Meneguk ludahnya susah payah saat beberapa orang menyambut mereka didepan restoran.

“Selamat datang, Pak Bisnav. Saya kira ada sesuatu yang terjadi dijalan karena sekarang sudah lebih dari tigapuluh menit dari jam reservasi.”

Gladio mendelik saat mendengar informasi tersebut, “Kak, please banget ini. Kita gak di cancel karena telat, 'kan?” bisiknya pada Jolan.

“Hahaha, maaf. Tadi ada sesuatu yang tertinggal dirumah. Jadi saya balik lagi. Oh ya, meja dan kursi sudah sesuai permintaan saya?”

Mereka mengobrol disepanjang jalan menuju tempatnya, meninggalkan Gladio yang linglung walaupun dirinya kini digandeng oleh Alana dan Jolan dimasing-masing sisi.

Baju yang dipakainya sudah sesuai permintaan Jolan. Nyaman dan tidak akan kedinginan. Lalu ia membawa tas ransel yang berisi jaket besarnya juga beberapa kertas kosong yang berserakan didalamnya.

Lalu, jika melihat tempat apa yang mereka datangi sekarang, bukankah Gladio terlihat seperti gelandangan?

Gladio menggigit bibir bagian dalamnya, menahan kesal pada pria disampingnya.

“Dio, maaf banget. Kamu salah kostum sih kata aku.”

Lirikan sinis dari Gladio segera membuat Randu melipir ke arah Alana, meminta perlindungan.

“Sialan.” Umpat Gladio.

“Gladio? Kenapa? Ada yang salah?” Jolan terkejut mendengar umpatan keluar dari mulut Gladio.

“KAMU TUH! KENAPA GAK BILANG MAKANNYA DISINI?! COBA KALAU DIKASIH TAHU AKU GAK BAKAL PAKAI BAJU INI! AGHH!! MALES BANGET!!” teriak Gladio membuat hampir seisi ruangan ikut terkejut.

Kemudian suara aduan kesakitan, ucapan maaf dan suara tawa terdengar menggema setelah itu. Jolan yang menjadi korban dalam kebrutalan Gladio, dan Alana yang tertawa melihat pertengkaran didepannya.

Sungguh calon keluarga yang unik. Berbagai reaksi ada didalam restoran tersebut. Antaranya sedikit terganggu, melirik sinis, dan ada yang ikut tertawa geli.

Juga sebuah gumaman yang menebak jika, “ini sih, suami takut istri.”

Randu pun hampir akan menghilang akibat ikut tertawa terbahak-bahak sehingga energinya habis, karena dirinya mendengar semua gumaman dari orang-orang disekitar.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!