...----------------...
Bohong. Jolan bohong. Gladio tidak memiliki ketenangan yang diucapkan oleh Jolan kemarin. Kini dirinya hanya bisa menunduk dan duduk di sofa, mendengar ceramahan yang mencemoohnya.
“Kamu itu gimana sih, Gladio? Sudah jelas-jelas Mama atur tanggal pernikahan kalian, kenapa di undur?! Perusahaan Papa itu lagi menurun! Harus segera mendapat suntikan dana dari mereka! Tapi ada segala syarat di mana kalian harus nikah dulu, merepotkan sekali! Makanya pernikahan kamu, Mama cepetin. Kamu pikir Mama ini buru-buru gini untuk siapa? Ya untuk keluarga!”
Gladio semakin menunduk, di luar memang dirinya terlihat seperti gadis urakan yang tidak kenal takut. Lain halnya jika ia sudah masuk ke dalam rumah ini, neraka dunia yang mampu membuat Gladio menciut.
“Gak bisa ya, Gladio! Mama gak setuju kalau kalian undur sampai akhir tahun! Bisa bangkrut perusahaan Papa! Mikir nanti kita mau makan apa kalau perusahaan Papa tutup?! Bilang sama keluarga Bisnav kalau kamu berubah pikiran! Akhir bulan ini atau perjodohan batal!”
Lina sepertinya lupa umur, darah tingginya mungkin akan kambuh melihat bagaimana urat leher wanita paruh baya itu menyembul saat menceramahi Gladio.
Gladio hanya mengangguk lemah, tidak bisa menjawab dengan kata.
“Kalau sampai pernikahan kalian bukan akhir bulan ini, Mama terpaksa lepasin kamu dari keluarga ini. Kamu paham maksud Mama 'kan, Gladio.”
“Iya, Mama.” Jawab Gladio dengan nada bergetar. Mana mungkin ia tidak tahu maksud Lina. Ibu angkatnya itu pasti akan menjualnya lagi ke keluarga lain.
Beberapa jam setelahnya, hari sudah menginjak petang. Gladio menggigit bibirnya, menunggu di halte dekat toko bunga miliknya.
Tin! Tin!
Sebuah mobil berhenti di depannya, diikuti kaca mobil yang turun secara perlahan. Si pengemudi tersenyum menyambut Gladio.
“Halo,” sapanya pada Gladio yang sudah sibuk memakai sabuk pengaman.
“Kemarin saya lupa bertukar nomor. Jadi buat kamu repot harus telpon Mama dulu.” Jolan tersenyum, mengacak rambut Gladio yang hanya diam saja.
Jolan mengemudikan mobilnya kembali, membelah kemacetan di sore hari. Banyak pekerja yang terburu-buru untuk pulang menemui keluarganya. Termasuk Jolan sekarang, membuatnya semakin melengkungkan bibirnya membentuk senyuman.
“Kamu habis dari mana? Jalan-jalan, ya? Searah sama jalan pulang saya.”
Hati Gladio bergemuruh, ingin sekali segera mengatakan semuanya. Tetapi merasa tidak enak juga karena baru saja bertemu.
“Gladio? Kamu tidak apa-apa? Mau berhenti sebentar?”
Seakan tahu isi hati Gladio, Jolan menawarkan sesuatu yang langsung di angguki oleh si empu.
“Okay. Tenang, ya. Jangan mikir dulu. Nanti mikirnya sama saya.” Ujar Jolan memberi ketenangan.
Dan berhentilah mereka di depan sebuah mini market. Jolan memberhentikan mobilnya, dengan cekatan menarik rem tangan.
“Mau beli dulu? Sesuatu? Haus? Atau lapar?”
Gladio menggeleng, segera menahan tangan Jolan yang sedang bersiap-siap melepas sabuk pengaman.
“Mau cerita sekarang?”
Gladio menganggukkan kepalanya.
“Okay, tarik nafas dulu, Gladio.”
Kemudian, setelah melakukan apa yang diperintahkan Jolan. Gladio mengeluarkan suaranya, “perjodohan kita batal aja, ya.”
Jolan seperti tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Ia melepaskan sabuk pengamannya dan duduk menghadap Gladio. Menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Gladio, sebentar. Kalau ada masalah, saya bisa cari jalan keluarnya. Jangan tiba-tiba batal. Kita kemarin sudah sepakat.” Bicara Jolan buru-buru, seperti sedang di kejar hewan buas di tengah hutan.
Gladio memejamkan matanya, beberapa jam ia sendirian memikirkan ini. Bukankah lebih baik jika diberikan pada keluarga lain dari pada menikah? Gladio sempat ingin mengacak-acak tempat kerjanya jika tidak ingat itu adalah jerih payahnya.
Ia kesal. Hidupnya terus disetir. Harus ini. Harus begitu. Tentang pernikahan yang harusnya dengan seseorang yang dicintai Gladio pun masih dikendalikan. Dipilihkan dengan dalih yang terbaik, padahal terbaik untuk ekonomi mereka.
Lalu, ditambah Randu yang biasanya ada di sisinya, hari ini tidak menampakkan wujudnya sama sekali. Seakan sudah di hak milik oleh anak dari pria yang memeluk Gladio saat ini.
Gladio cukup lelah untuk selalu menerima. Apapun yang ada di hidupnya adalah titipan. Tetapi, Randu, ia tidak rela. Dia adalah teman satu-satunya Gladio.
Gladio berpikir jika ia diberikan pada keluarga lain, bukankah Randu akan kembali kepadanya? Tidak akan berurusan lagi dengan keluarga Jolan.
Ia tidak apa-apa harus kembali beradaptasi dengan keluarga baru dibanding harus kehilangan Randu.
“Gladio, bernafas. Tidak apa-apa menangis, tetapi jangan lupa bernafas.”
Jolan yang sadar karena kemeja bagian depannya basah, segera memberi peringatan. Mengecup pucuk kepala si muda berulang kali dan mengatakan tidak apa-apa untuk berbagi cerita.
“Kamu punya saya, Gladio. Katakan apa yang membuatmu menjadi tidak nyaman. Saya bisa bantu memikirkannya. Tidak perlu di tahan, ya?”
Tangis Gladio semakin histeris, tangannya meremat kemeja bagian depan milik Jolan.
“Aku gak tahu! Hiks---hiks... Mama gak mau pernikahannya di undur. Aku bingung, Kakak...” Ucap Gladio kesusahan akibat tangisnya.
“Aku kalau gak mau akhir bulan ini bakal di kasih keluarga lain. Di satu sisi aku belum siap nikah, di sisi lain aku juga gak mau punya keluarga baru lagi. Kakak, tolong, hikss--hikss!!!”
“Hikss, Randu---Randu juga. Randu gak ada disamping aku pas Mama marahin aku. Kak Jo, Randu itu temen aku satu-satunya. Aku gak mau sendirian. Gimana kalau Randu pilih Alana buat jadi temen barunya? Terus aku gimana, Kakak? Aku sama siapa?”
“Semua orang jahat sama aku. Gak pernah mikirin aku gimana perasaannya. Ayah sama Bunda buang aku demi uang, terus kayak gitu ke ulang-ulang di keluarga baru. Ini yang terakhir aku harus pilih dibuangnya mau nikah sama Kakak atau keluarga lain yang mampu bayar aku. Kakak, hikss, coba kakak bantu aku. Gimana? Gimana biar aku gak dijahatin lagi. Aku capek, Kakak.”
Jolan mengeratkan pelukannya, ia menggertakkan giginya demi mengurangi emosi dan sakit di hatinya. Jolan ikut merasakan derita yang dialami Gladio.
Jolan akhirnya tahu, alasan di balik ketakutan Gladio tempo lalu saat tertidur di kamarnya. Lalu orang tua yang Jolan sempat bingungkan karena Gladio hanya memanggil Randu di alam bawah sadarnya.
Gadisnya ini sendirian.
“Nikah sama Kakak, ya? Tidak perlu dibatalkan. Kakak janji jaga kamu. Kalau sudah tenang, kita bicara baik-baik, ya?”
Mana mungkin Jolan membiarkan Gladio memilih keluarga baru dari pada dirinya. Yang jelas, Jolan akan mengusut tuntas calon mertuanya ini. Tidak akan membiarkan mulut mereka menjatuhkan Gladio lagi.
“Malam ini menginap di rumah Kakak dulu. Nanti semuanya Kakak bantu. Gladio tidak akan sendirian lagi. Ada Kakak. Ditambah ada Alana. Randu juga tidak akan pernah meninggalkanmu. Nangis dulu, habisin dulu air matanya. Setelah itu janji sama Kakak tidak boleh nangis karena mereka.”
Jolan mengecup lama kening Gladio.
“Kak--- Kak Jo juga janji. Temenin aku terus. Kalau udah nikah, jangan berantemin aku, ya? Baik-baik sama aku. Jangan kasih aku ke orang lain lagi. Nanti kalau Kak Jo beneran baik, gapapa Randu sama Alana. Tapi Kak Jo sama aku, ya.”
Jolan menahan senyumnya, memilih menggigit pipi bagian dalam untuk melampiaskan kegemasannya. Kemudian mengangguk sebagai jawaban, dan terus mengusap punggung Gladio tanpa berhenti.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments