6

...----------------...

Gladio menghela nafas panjang setelah sesi makan malam mereka selesai. Sebagai tanda terima kasih pun, Gladio membantu Jolan, yang bertugas mencuci semua piring hari ini.

“Tegang banget.” Celetuk Jolan pada Gladio.

“Harusnya saya jadi adik kamu aja deh, Kak.”

“Tidak.”

“Kata Om Bisma 'kan bisa lihat hantu karena keturunan. Nah, Kak Jolan gak bisa. Harusnya saya aja. Biar keturunan langsung Om Bisma ada yang bisa lihat.”

Setelah diceritakan tentang bagaimana Bisma bisa melihat hantu, Gladio sedikit paham akan garis besar keluarga Bisnav. Rasa bersalahnya sedikit berkurang mendengar penjelasan Bisma jikalau beliau menunggu keturunannya agar bisa meneruskan warisan indra keenam itu. Dan ternyata yang mendapatkan hal itu bukan anaknya, tetapi cucunya.

“Kamu nanti jadi istri saya. Sama saja. Kalau bukan anaknya, jadi ya menantunya.”

Gladio melirik sinis ke arah Jolan sembari mengambil sodoran piring dari pria itu setelah selesai dibersihkan. Lalu menatanya di rak piring didekat lemari pendingin.

“Duh, saya kok merinding ya denger bakal jadi istrimu.” Cibir Gladio tidak takut.

Jolan hanya tertawa kecil dan menghendikkan bahunya. “Kamu mau ganti baju dulu? Pakai baju saya.”

“Enggak. Ngapain sih?! Ini tuh keren tahu gak?! Kamu aja deh kayaknya yang komplain tentang gaun ini. Coba lihat orang lain, pasti ada yang pakai gaun ini juga. Lagi musim tahu!” Gladio mengomel karena sebelum turun untuk makan malam pun, Jolan sudah mewanti-wantinya untuk berganti pakaian.

“Ini nyaman! Pokoknya aku gak mau ganti!” kekeuhnya. Tidak ingin Jolan mengatakan lagi padanya jika gaun yang dipakai terlihat tidak nyaman.

“Dingin.”

Gladio menutup matanya sembari menghela nafas panjang, “BODO AMAT!” dengan kesal, dirinya memeluk Jolan dengan kuat. Kemudian menggigit lengan pria itu hingga mengadu kesakitan.

“Aw! Aw! Iya, Gladio, iya! Sebentar! Ini beneran sakit, lho!” Jolan berusaha menyingkirkan kepala Gladio dengan mendorong kening gadis itu.

Semakin gemas dan kesal, Gladio justru semakin mengeratkan pelukannya dan gigitannya. Sudah tidak peduli bagaimana nasib lengan kekar itu setelah digigitnya.

“Waduh, Mama ganggu nih?”

Gladio segera menjauh dan mendorong Jolan, “eh, Tante. Silakan. Ada yang dibutuhin?” sapanya ramah.

Sedangkan Jolan sedang mengusap kasar lengannya. Meringis melihat bekas gigi dari Gladio yang hinggap di lengannya setelah ia menggulung kaos dibagian itu.

“Kok tetep Tante deh, Gladio. Mama. Panggil Mama coba.” Ujar Zela. Wanita itu melangkahkan kakinya ke lemari pendingin di samping Gladio tanpa melihat keadaan sang anak tunggal.

Gladio tersenyum penuh arti, “boleh. Tapi saya jadi adiknya Kak Jolan aja ya, Tante?”

“Ngawur!” Jolan mengapit leher Gladio dengan lengannya. Membuat Gladio sedikit kesusahan untuk bernafas.

“KAK JOLAN! MINGGIR! AKU GAK BISA NAFAS!” teriaknya tanpa lagi memperlihatkan keanggunannya.

Zela terkejut mendengar teriakan Gladio, sehingga dengan cepat menutup pintu kulkas itu untuk melihat keadaan Gladio.

“JOLAN! YA AMPUN! LEPASIN GLADIO SEKARANG!”

Dan malam itu, sebelum Gladio duduk tenang didalam mobil Jolan, menjadi malam yang berisik dalam hidup Gladio. Ia suka. Suka akan kehangatan itu. Suka akan bagaimana mereka menjamu Gladio seakan ia adalah manusia. Bukan sebuah barang antik seperti sebelum-sebelumnya.

“Kenapa melamun? Capek?”

Gladio menoleh ke samping lalu menggelengkan kepalanya. “Mampir ke minimarket. Aku mau beli sesuatu dulu.”

Jolan yang fokus menyetir, menganggukkan kepalanya. Gladio bahkan sudah tidak lagi memakai bahasa formal padanya. Mungkin ini adalah kemajuan, terlihat bagaimana Gladio sekarang duduk menyandar dengan nyaman tanpa kecanggungan di mobilnya.

“Lain kali kalau jalan sama saya, pakai pakaian biasa saja.”

Gladio memutar bola matanya, “siapa juga yang mau jalan sama kamu.”

“Tidak tahu. Saya hanya bilang.” Jolan menghendikkan bahunya. Dengan lihai memutar kemudi mobilnya agar membelok ke arah sebuah minimarket dekat rumah Gladio.

Mereka berdua masuk ke dalam minimarket itu, dengan Jolan yang mengikuti dari belakang.

“Kamu juga lagi butuh sesuatu?” tanya Gladio saat Jolan mengambil alih keranjang belanjanya.

“Mungkin.” Jawabnya singkat.

Gladio yang sudah berjalan ke arah rak camilan langsung mengambil semua yang diperlukan. Meletakkannya ke keranjang yang dibawa oleh Jolan tanpa banyak bicara.

“Kamu makan semuanya?”

Gladio menggeleng, “buat Randu juga. Dia lebih suka yang asin daripada yang manis. Aneh banget hantu satu itu.”

“Kalau kamu?”

“Aku kenapa?”

“Suka yang apa? Asin atau manis?”

“Manis. Tapi yang gak sampai bikin eneg. Kalau Kak Jolan?”

“Asin juga, sama seperti Randu. Kalau Alana suka yang manis-manis. Es krim, coklat, yang begitu selalu standby di kulkas.”

Gladio mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar informasi itu. Ya, walaupun didalam hati mencibir jikalau dirinya tidak terlalu peduli akan informasinya.

“Kalau gitu aku nitip coklat deh buat Alana.” Gladio mengambil beberapa batang coklat dan memasukkannya ke dalam keranjang tanpa kesulitan.

“Kenapa tidak kamu berikan sendiri besok? Atau belanja bareng sama Alana.”

Gladio melirik ke arah Jolan, “enggak. Makasih.” Tolaknya mentah-mentah.

“Hmm, kayaknya udah segini aja deh. Ayo ke kasir, Kak. Kamu gak mau beli sesuatu?”

Jolan tersenyum, “tidak. Ya sudah, ayo.”

Mereka pun kembali berjalan berdampingan menuju kasir. Disambut dengan sapaan ramah dari kasir tersebut, mereka menunggu total harga belanjaan Gladio.

Setelah selesai, kasir segera memberitahukan total belanjaannya. Dan secara cepat, sebelum Gladio menggeledah tasnya mencari kartu debitnya, Jolan lebih dulu memberikan kartu berwarna hitam pada kasir tersebut.

“Sebentar, Kak! Itu kartunya gak bisa! Ini pakai punya saya!” Gladio berteriak panik, tidak peduli jika nadanya tadi membuat sang kasir terkejut bukan main.

“Langsung digesek saja, Kak. Tidak perlu didengarkan.” Ucap Jolan penuh ketenangan. Tangannya juga bergerak untuk menghentikan kegiatan Gladio menggeledah tasnya.

“Ah! Apaan sih?! Orang itu belanjaanku kenapa kamu yang bayar!” ketus Gladio tidak terima.

“Nanti juga kamu pakai kartu saya buat seterusnya. Jadi belajar mulai sekarang.” Jawab Jolan dengan senyumam tipisnya.

“Gak mau belajar! Aku udah lulus!”

Celetukan Gladio mengundang tawa dari sang kasir. “Ini, Kak, kartunya. Dan ini belanjaannya. Terima kasih, silakan datang kembali.”

Jolan mengangguk, lalu mengambil kartu dan belanjaan Gladio untuk dibawanya keluar dari minimarket itu.

Sedangkan Gladio semakin mengerucutkan bibirnya karena kesal. “Pokoknya nanti jangan gitu lagi! Aku punya uang sendiri!”

Jolan tidak menggubris, mereka masuk ke mobil diiringi gerutuan Gladio yamg memecahkan keheningan.

“Saya tidak bercanda soal perjodohan ini, Gladio. Saya juga tidak akan sekalipun membatalkan perjodohan ini.” Jolan fokus menyetir saat mengucapkan kalimat itu.

“Saya mohon, kasih saya kesempatan untuk menjalankan perjodohan ini. Sisanya, biar takdir yang mengatur. Ya, Gladio?”

Gladio menghela nafas panjang, ia bingung. Dirinya sangat ingin membatalkan perjodohan ini. Gladio juga masih belum siap membangun komunikasi dalam hal romantis seperti itu.

Tetapi benar jika Jolan berkata takdir, mungkin bisa saja setelah ini ada kejadian yang membuat perjodohan ini batal. Dan Gladio berdoa akan hal itu bisa terjadi kedepannya. Padanya, pada kehidupannya.

“Oke. Aku mau. Dengan syarat, kamu gak ngomong soal Randu ke siapapun. Terus, kalau Randu mau sesuatu kamu juga yang harus turutin. Tapi kalau soal aku, kamu gak boleh ikut campur. Ngerti?”

Jolan spontan tertawa mendengar syarat dari Gladio. “Kalau Randu manusia, sama saja saya seperti menikah dengan Randu bukan denganmu, Gladio.”

“Oh, ya gapapa kalau kamu mau nikah sama Randu.”

“Tidak. Saya ingin menikah denganmu.”

Gladio bergidik ngeri, “ih, kamu kok kayak psikopat posesif gitu sih. Gak keren banget.”

“Iya?”

“Gak tahu deh.”

Mobil berhenti didepan pagar rumah yang menjulan tinggi, “saya antar sampai depan rumah.” Tahan Jolan saat Gladio ingin membuka sabuk pengamannya.

Lalu dirinya menekan klakson mobil dua kali dan menunggu pagar dibuka.

“Alay banget kayak tuan muda. Minggir tanganmu. Gak akan ada yang buka pagar kalau gak diri sendiri.” Cibir Gladio.

Jolan kebingungan, “saya tadi ada?”

“Ya itu kamu 'kan sama keluargamu. Tamu kehormatan.” Gladio menyingkirkan tangan Jolan dari sabuk pengamannya.

“Sebentar.” Tahan Jolan sekali lagi.

“Apasih, Kak Jolan?! Aku udah capek mau tidur!” teriak Gladio frustasi.

“Biar saya saja yang buka pagar. Kamu tunggu disini.”

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!