...----------------...
Tidak. Gladio tidak sedang buang air besar setelah masuk ke kamar mandi dengan terburu-buru. Ia justru merasakan gejolak yang berusaha keluar dari tenggorokannya.
Muntah. Gladio terus-menerus muntah. Dari semua isi perutnya, sampai hanya air liur saja yang ia keluarkan. Gladio masih tetap mual.
“Ran, masa iya ini akhir dari hidupku?”
Hooekk! Hoekk!!
“Agh, sialan! Valerie, awas aja kamu. Gak bakal tenang hidupmu mulai besok. Eh, jangan. Mulai aku sembuh aja.”
Hooekkk!!
Gladio yang sudah lelah berdiri, akhirnya duduk didepan toilet. Berganti memuntahkan entah apa di dalam wc.
Sudah berpuluh-puluh menit Gladio muntah, pening bahkan sudah datang ke kepala Gladio. Ia harus angkat tangan ke kamera. Ia menyerah. Tetapi dimana kameranya?!
Brak!!
Gladio menoleh saat pintu kamar mandinya di tendang tanpa belas kasihan.
“Kakak...” Panggilnya lirih setelah tahu siapa empu di balik kebrutalan itu.
“Sayang, hei, Gladio.” Jolan dengan nafas terengah berusaha menggendong Gladio yang sudah hampir hilang kesadaran.
“Ya tuhan, Nak Jolan! Gladio kenapa?!”
Jolan tidak menjawab pertanyaan orangtua angkat Gladio, ia segera berlari keluar rumah. Menuju mobilnya. Merebahkan Gladio di kursi belakang.
“Kakak, aku pengen muntah.”
“Muntah saja. Tidak apa-apa. Kakak menyetir dulu, ya?” Jolan mengecup kening Gladio. Dan buru-buru menaiki mobilnya dan duduk dibelakang kemudi. Menginjak gas dengan kecepatan tinggi diiringi suara muntahan Gladio di belakang.
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
“Makan bubur dulu, Sayang.” Jolan berusaha menyuapi Gladio dengan semangkuk bubur. Kata dokter untuk pemulihan perut Gladio. Agar kembali terisi setelah semua makanan keluar dari mulut. Sushi dan ayam goreng yang menjadi menu makan hari ini sudah tidak lagi hinggap di perut Gladio.
Jolan bergegas ke rumah Gladio setelah menyuruh sembarang pegawainya untuk menahan Valerie agar tidak kabur. Pertama kali dalam hidupnya ia menjadi pengemudi yang ugal-ugalan.
Lalu sampai di rumah sakit, Jolan langsung membawa Gladio ke IGD. Di diagnosa keracunan makanan yang berakibat mual dan muntah-muntah. Tidak henti Gladio mengumpat nama Valerie didalam hati saking kesalnya.
Tangan Gladio menggenggam erat tangan Jolan saat pertama kali tangannya di infus. Sebenarnya Gladio sangat ingin menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Tetapi apa daya, ia sudah tidak kuat menahannya. Sakit yang ia rasa hari ini tidak seperti sebelum-sebelumnya. Yang hanya sakit demam atau batuk dan pilek.
“Gak mau. Mual, Kak, mual. Ngerti gak sih?! Mending usapin perutku.” Ujar Gladio. Matanya tertutup, enggan terbuka karena masih merasa pusing.
“Kak Gladio harus makan dulu, ya. Obatnya banyak lho. Takut lambungnya tidak kuat.” Suster yang masih didalam ruangan Gladio membuka suara.
“Kalau gak mual juga aku makan, Sus. Ini emang aku beneran keracunan? Bukannya hamil, ya?”
Jolan reflek menepuk pelan bibir Gladio. “Ngawur banget ini mulutnya. Padahal lagi sakit.”
Suster yang mendengar hanya tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nanti kalau infusnya habis, bisa bilang ke depan ya, Pak. Mari.” Suster itu pergi begitu saja.
“Kak, sakit...” Gladio merengek. “Ini gara-gara sekretarismu, ya. Pokoknya harus tanggung jawab.”
Jolan mengangguk, “ini juga tanggung jawab, Sayang. Ayo makan dulu buburnya. Sedikit saja.”
Gladio menggeleng brutal, “aduh! Jadi pusing lagi, 'kan! Kakak jangan maksa-maksa aku ih!”
Lagi-lagi disalahkan, Jolan hanya bisa pasrah. Menerima tangannya diletakkan di perut Gladio oleh si empunya sendiri.
“Usap-usap.”
Jolan menurut. Padahal sejak Gladio dipindahkan ke kamar rumah sakit, Jolan sudah mengusap-usap perut gadis itu sampai tangannya kesemutan. Tetapi masih tetap merasa kurang.
“Sekretarismu itu jangan sampai kabur ya, Kak.”
“Iya, Sayang.”
Gladio membuka sedikit sebelah matanya, mengintip Jolan yang fokus menatapnya. Ekspresinya datar, Gladio menebak pria itu pasti bosan.
“Kamu bosen, ya?” tanya Gladio. Matanya terbuka lebar sekarang. Melihat-lihat sekitar.
“Kenapa harus bosan, Sayang?”
“Gak jadi deh. Randu dimana, ya? Kok gak ada. Masa aku sakit ditinggalin sih. Apa Randu yang ketinggalan di rumah? Tadi kamu ajak gak, Kak?”
Jolan meringis sebelum menjawab, “Kakak tidak tahu, Sayang. Kakak tidak bisa lihat, tapi seharusnya ikut.” Jawabnya ragu-ragu.
Baru kali ini ia tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan yang mudah. Pertanyaan yang diluar nalar milik anaknya saja Jolan bisa menjawab tanpa keraguan. Sedangkan untuk gadisnya ini, ia bahkan harus berpikir tentang jawaban yang memuaskan. Semacam Jolan sedang memuaskan klien barunya.
Harus sempurna. Agar klien yang ingin menjalin kerja sama tidak akan kabur setelahnya.
“OH, DIO DISINI!”
Randu muncul tiba-tiba menembus dinding, tetapi secepat kilat menghilang sebelum Gladio mencerna kedatangannya.
“Eh, Randu! Kemana tuh?!” teriak Gladio tertahan.
“Eh, sudah datang? Apa Randu tersesat?”
Gladio melirik sinis Jolan, “mana mungkin. Randu tuh pintar cari jalan.”
“Iya? Lalu sekarang dimana dia? Hilang lagi?”
“Gak tahu ah! Kamu jangan banyak tanya. Aku pusing lagi ih Kakak!”
Salah lagi. Jolan mendekat pada Gladio dan mengecup kening gadis itu. “Maaf, Sayang.” Ujarnya.
Masih setia mengusap perut Gladio. Benar-benar seperti orang hamil. Atau apa benar? Jolan menggelengkan kepalanya. Berusaha menghalau pikiran negatif pada Gladio.
Tidak mungkin.
“Ngapain kamu geleng-geleng? Ikut pusing juga?”
“Tidak. Maaf ya. Kamu jadi sakit seperti ini. Harusnya tadi saya saja yang mengantarnya sendiri. Atau memakai kurir seperti biasanya.”
Gladio memberikan satu jempolnya yang terbebas dari infus pada Jolan. “Santai. Tapi Valerie gak boleh kabur dulu, ya. Aku aja yang kasih perhitungan. Kalau kamu sih terserah, di pecat sih lebih bagus. Aku cuma kasih saran aja ya itu, Kak. Bukan mempengaruhi kamu.” Ocehnya tanpa henti.
Si empu yang beberapa menit lalu mengeluh pusing karena Jolan banyak bertanya.
“Tadi buru-buru ke rumah kamu, jadi belum bertanya Valerie. Kalau memang ulah dia, Kakak akan pecat. Saran kamu mulai sekarang juga akan jadi pertimbangan utama Kakak. Sekali lagi maaf, ya.” Jolan mengecup kening Gladio kembali.
Memang apa enaknya mencium kening Gladio? “Kamu sering cium dahi, gak mau nyoba cium bibirku?”
CKLEK!
“Ya ampun menantuku! Mana yang namanya Jolan?! Mau nikah juga kok malah dibikin sakit istrinya?! Emangnya mau nikah sama siapa kalau menantuku sakit gara-gara kamu! Anak ini bandel banget, ya! Dari kecil sampe udah mau tua, udah punya anak juga masih belaga jadi anak kecil!”
“A-aduh, Ma--- Sakit, Ma! Telinga Jolan sakit!”
Randu dan Alana yang menyelonong tanpa peduli kesakitan Jolan segera berhambur ke arah Gladio yang masih kebingungan atas kehadiran calon mertuanya itu.
“Mommy, Mommy gapapa? Apa iya ini ulah sekretaris Daddy? Aish, emang dari awal tuh sebenernya aku gak setuju. Tapi kasihan Daddy karena pekerjaannya jadi banyak. Harusnya aku udah usir dia!” Alana bercerita dengan menggebu-gebu. Wajahnya menyiratkan kebencian yang umumnya diberikan anak kecil kepada orang yang tidak disukainya.
Lucu. Tetapi menurut Randu, sepertinya Alana sama dengan Gladio. Tidak peduli akan di cap nakal atau yang lain. Gladio harus membalas dendam yang setimpal. Dan Alana, jelas sudah di cap sebagai anak nakal. Maka Randu akan melihat seberapa nakal Alana di realita.
“Kita harus mulai susun rencana balas dendam, Alana, Dio..”
Hantu ya hantu. Kata orang-orang seringnya membawa pengaruh buruk.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments