...----------------...
Seminggu sebelum pernikahan, calon mertua Gladio menyuruhnya untuk melakukan pencocokan baju bersama Jolan. Tentunya baju pengantin yang akan mereka pakai pada saat hari bahagia itu tiba.
Gladio makan dengan tenang disamping Jolan yang fokus menyetir. Dibelikan satu sandwich cepat saji di minimarket di mana searah dengan tempat butik langganan Zela, calon mama mertua Gladio.
“Kamu kelihatan makin kurus, Sayang.” Celetuk Jolan setelah hampir satu minggu keduanya tidak bertemu.
Gladio tidak menjawab. Jelas saja. Lina memaksanya untuk melakukan diet ketat. Takut-takut jika baju pengantin yang sudah dipesan tidak muat. Makan hanya diberi semangkuk sayur dan air putih. Tidak boleh keluar rumah barang sejengkal pun. Mana mungkin berat badan Gladio tidak turun drastis.
“Sayang? Kamu dipaksa Mama Lina lagi?” tanya Jolan penuh curiga.
“Enggak ih. Ini juga aku makan, 'kan?” ujar Gladio sembari menunjukkan sandwichnya.
“Sayang, Kakak serius. Bukannya sudah janji kalau ada apa-apa cerita sama Kakak?”
“Ya tapi gak ada apa-apa, Kakak. Terus aku cerita apa deh?”
“Bohong. Apa aku bilang Alana saja, ya?”
Randu sebenarnya sudah sangat gatal ingin memberitahu Alana agar anak itu berbicara pada Daddynya. Tapi apa boleh buat, Randu juga tidak ingin meninggalkan Gladio yang terkurung di kamar sendirian. Apalagi dirinya sudah di ancam untuk tidak memberitahu siapa pun. Randu bisa apa?
“Coba Alana ikut tadi. Kakak bisa tanya Randu langsung.”
“Eh, kok satu pemikiran, Dio. Keren. Suamimu kayaknya juga gak percaya sama Mama lagi deh.”
Semenjak Gladio menerima perjodohan itu dan mau dinikahi pada akhir bulan, sebutan Randu pada Jolan sudah berganti. Menjadi ‘suamimu’ bukan lagi ‘Daddynya Alana’.
Gladio hanya menghendikkan bahunya, malas menjawab. Ia fokus menghabiskan sandwichnya yang tersisa dengan sekali lahapan. Jolan melirik Gladio sekilas, kemudian kembali menghadap depan. Tidak lagi bersua.
Sampai lah keduanya di butik langganan Zela, beberapa karyawan menyambut kedatangan mereka.
“Atas nama Pak Jolan?”
Jolan mengangguk sebagai jawaban.
“Mari, Pak.”
Gladio berjalan dibelakang Jolan, begitu terperangah menatap koleksi gaun-gaun pengantin wanita berjejeran disana. Sudah tidak peduli jika Jolan tidak menggandengnya setelah keluar dari mobil.
“Mau fitting gaun pengantin wanitanya dulu, Pak?”
“Saya dulu saja. Sudah sesuai arahan Mama saya, 'kan?” Jolan berucap tanpa keramahan.
Gladio memilih duduk di tempat yang disediakan. Tanpa malu mengambil sebotol air putih yang disediakan. Menegaknya beberapa kali agar sandwich yang ia makan tadi terdorong dari tenggorokannya.
“Sudah, Pak.” Lalu karyawan tersebut mengeluarkan sebuah setelan jas berwarna putih terang. Kemudian dibawa oleh Jolan ke tempat ganti, tidak berselang lama, pria itu keluar sudah memakai bajunya lengkap.
“Disini sedikit kelonggaran.” Jolan menunjukkan bagian lengan. “Kancingnya ganti warna putih saja, biar tidak terlalu mencolok.”
Para karyawan mencatat semua koreksi dari Jolan. Dan pencocokan baju milik Jolan selesai dengan cepat.
“Kak Gladio? Silakan, mari saya bantu memakaikan bajunya.”
Gladio mengangguk, berdiri dari duduknya tanpa berkomentar apapun tentang baju milik Jolan. Membuat para karyawan yang bekerja merasa canggung. Apakah calon pengantin yang mereka tangani sekarang sedang dalam masa bertengkar?
“Ini yang pilihin beneran Mama, Kak?” tanya Gladio basa-basi setelah melihat gaun putih dikeluarkan dari lemari.
“Iya, Kak. Beliau datang kesini semangat sekali. Bilangnya mau punya menantu cantik, eh beneran yang datang cantik banget. Cocok sama Kak Gladio banget.”
Selera Gladio benar-benar sama dengan calon mama mertuanya itu. Membuat kagum Randu yang terbang disebelahnya.
“Wah, pilihan Oma emang gak main-main, Dio.”
Gladio mengangguk setuju.
“Ini Kak Gladio lagi diet ketat apa gimana, ya? Semisal lagi diet ketat, bisa di stop dulu buat sementara, Kak. Soalnya ini udah terlalu banyak dikecilin bagian pinggangnya. Nanti kalau tambah lagi, takutnya bakal kelihatan gak bervolume, Kak.” Komentar salah satu karyawan yang membantu Gladio di dalam ruang ganti.
Gladio berdeham keras, takut Jolan mendengar di luar. “Hehehe, iya ya? Iya deh nanti aku stop. Tapi beneran gapapa ini ya kalau aku gendutan dikit?”
“Gapapa banget, Kak. Soalnya ukuran gaun ini udah normal, nanti agak sedikit saya kecilin aja. Biar pas hari H kalau Kak Gladio lebih berisi, gak perlu banyak perubahan lagi.”
Penjelasan yang seharusnya bisa diterima semua orang. Tetapi bisakah Lina menerima penjelasan itu?
“Mari, Kak. Biar Pak Jolannya lihat dulu. Siapa tahu beliau ada komentar sedikit.”
“Harusnya tadi rekam aja deh, Dio. Biar ada bukti ke Mama kalau berat badanmu udah bukan termasuk ideal.”
Gladio hanya menghela nafas, tidak menjawab ucapan Randu.
“Bagaimana?” tanya Jolan. Matanya memindai Gladio dari atas sampai bawah.
Gladio yang harusnya segera membungkam mulut salah satu karyawan itu agar tidak memberi penjelasan pada Jolan, ia kalah kecepatan. Bahkan sudah mendapat tatapan tajam dari Jolan. Lagi. Seperti terakhir kali.
Pencocokan baju hari ini berjalan lancar. Ya walaupun banyak pemasukan untuk Gladio. Dan tatapan tajam dari Jolan yang menusuknya. Gladio hampir ingin menutup wajah itu dengan semua kain yang berserakan di butik tadi.
Kemana lagi keduanya pergi? Gladio hampir sepenuhnya melamun menatap jalanan. Masih tidak ada percakapan atau basa-basi sedikit pun. Mungkin beberapa orang jaman dulu sudah lebih mengerti jika pengantin harusnya tidak bertemu dulu sebelum pernikahan terjadi. Menghindari pertengkaran seperti ini, yang mungkin berakibat fatal hingga pernikahan batal.
Amit-amit. Gladio segera melihat ke arah Jolan. “Kak, kamu marah?”
“Tidak. Atas dasar apa saya marah?”
Gladio meringis medengar sebutan formal itu. “Atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Jawabnya asal. Kemudian dirinya sedikit maju, memberikan satu kecupan pada pipi Jolan.
“Dasar ngambekan. Udah tua, nanti rambutmu ubanan, Kak.” Omel Gladio. Lalu ia bermanja-manja pada lengan Jolan. Sebenarnya terpaksa melakukan hal menggelikan itu agar pernikahan tidak batal seperti pikirannya.
Padahal Jolan marah pada wanita yang digadang-gadang adalah ibu Gladio. Kesal karena ia baru tahu hari ini. Atas perubahan drastis yang terjadi pada Gladio, calon istrinya.
“Saya tiba-tiba ingin sushi. Mampir sebentar.”
Lalu mata Gladio sudah menangkap logo restoran yang dimaksud. Ia melirik sinis pada Jolan meskipun Gladio masih menyandarkan pipinya pada lengan kekar milik Jolan.
“Emang gak bisa makan ringan-ringan aja?”
“Sejak kapan kamu menolak makanan, Dio? Atau jangan-jangan makanan yang selalu saya kirim ke kamu tidak sepenuhnya kamu makan? Ini ulah Mama Lina, 'kan? Kalau iya, saya nanti bicara dulu sama beliau. Badan sudah kurus seperti ini mau di apakan lagi? Saya ini calon suami kamu dan sebaliknya, kamu calon istri saya. Seminggu lagi saya akan meminang manusia, bukan tengkorak.”
Randu tertawa terbahak-bahak di belakang.
“Ngapain kamu ketawa?!” sinis Gladio melihat ke belakang. “Kamu juga ngomel-ngomel mulu. Yaudah sana omelin Mama aja, jangan aku. Aku ini lagi berbakti sama orangtua, malah di omelin begini. Kalau berani dari dulu juga kita gak akan ketemu. Ih, jahat banget perasaan semua orang tuh.”
Gladio tanpa takut menggigit lengan Jolan.
“Aw! Gladio! Sakit! Kenapa jadi gigit saya?!”
“Lagi unjuk kekuatan gigi nih.” Jawab Gladio santai sembari memperlihatkan semua giginya pada Jolan. Tidak merasa berdosa.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments