14

...----------------...

Gladio mati kebosanan di dalam ruangan milik Jolan. Randu sudah pergi entah kemana, pastinya tidak jauh-jauh dari memantau keadaan. Hantu kecil itu suka sekali berjelajah. Entah di tempat baru atau asing, Randu seringkali menghilang dan muncul setelah selesai berkeliling.

Setelah dipikir-pikir, Gladio akan menuruti permintaan kedua orangtua angkatnya. Gladio tahu mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dilepaskan.

Gladio sudah berkali-kali merasakan berpindah tangan. Kini, dirinya berdoa agar Jolan tetap menggenggam tangannya hingga akhir. Tidak ingin lagi perpindahan tangan yang lain. Apalagi ini menyangkut pernikahan yang inginnya Gladio sekali seumur hidup.

Belum ada rasa suka, belum ada rasa sayang, atau pun rasa cinta. Tetapi Jolan dan Gladio sudah merasakan kehangatan yang masing-masing mereka cari. Jadi untuk apa Gladio mengelaknya lagi?

Gladio juga harus menjadi sosok yang bisa diandalkan Jolan dan Alana. Seperti halnya mereka memperlakukan Gladio dua hari terakhir ini.

Saking seriusnya melamun, Gladio sama sekali tidak terkejut pada kemunculan Randu.

“Wih, Dio. Perempuan tadi, kamu masih ingat? Tidak seperti pekerja kantoran. Tampil seksi seperti itu, bukankah cocok sebagai pemandu karaoke? Tamu Daddynya Alana pun tidak luput dari aksi perempuan itu. Semuanya di rayu. Daddynya Alana dapat dari mana? Coba kamu tanyakan nanti.”

Gladio hanya menggelengkan kepalanya, ia kembali melamun menatap langit-langit ruangan tersebut.

“Kamu gapapa, Dio?”

“Bosen. Mereka belum selesai?”

“Sebentar----”

Cklek!

“Nah itu.”

“Sayang, mau makan sesuatu? Sekretaris Kakak yang belikan. Mumpung dia mau keluar.”

Pakaian yang dikenakan Jolan masih rapi, selalu rapi sepanjang mata Gladio memandang.

“Sekretarismu itu?” tunjuk Gladio pada wanita yang tadi menyambutnya, sedang berdiri dengan ekspresi pongah. Tetapi buru-buru merubah ekspresinya menjadi ramah saat Jolan menoleh singkat ke arah wanita tersebut.

“Iya, namanya Valerie. Mulai kedepannya, kalau kamu mau apa-apa, bisa bilang Valerie."

"Gak. Aku gak mau apa-apa. Kamu udah selesai? Bisa gak kita ngobrol berdua aja?"

Gladio menatap Jolan penuh keseriusan. Jolan mengangguk mengiyakan.

"Valerie, kamu boleh keluar dulu. Berkas-berkas yang harus ditanda-tangani kamu taruh di meja saya."

Lalu pintu tertutup sempurna. Jolan berjalan mendekat ke arah Gladio. Duduk disamping gadis itu dan menatapnya penuh kelembutan.

“Kenapa, Sayang? Bosan?”

Gladio mengangguk cepat, “itu tadi sekretarismu? Udah berapa lama kerja sama kamu?”

Alis Jolan terangkat mendengar pertanyaan itu. “Baru. Belum lama kerja sama Kakak. Kenapa? Ada yang aneh sama dia?”

“Enggak, cuma tanya aja.”

Jolan tersenyum, “boleh peluk?” ia merentangkan tangannya.

“Peluk mulu, gak bosen apa?” meskipun menolak dari mulut, Gladio masuk ke dalam dekapan Jolan. Mendusal pada dada bidang milik pria tersebut.

“Bajunya bagus. Kayaknya model sekarang kebanyakan gitu deh. Aku jadi pengen beli.” Celetuk Gladio.

“Baju siapa?” Jolan bertanya penuh curiga. Jangan bilang---

“Baju sekretarismu lah.”

Yang benar saja. Jolan mendekap Gladio lebih erat. “Tidak. Nanti masuk angin.”

“Hah? Tapi sekretarismu enggak tuh?”

Gladio mendongak ke atas, bersamaan dengan Jolan yang menunduk ke bawah. Membuat kening Gladio terantuk dagu Jolan.

“AW!” Gladio berteriak. “SAKIT, KAKAK!”

“Eh, maaf, Sayang, maaf. Tidak sengaja.” Jolan cukup panik, tangannya sudah sibuk mengusap kening Gladio.

“Nanti tanyain dia belinya di mana.” Ucap Gladio setelah sakitnya mereda.

“Tidak.” Jolan tetap pada pendiriannya. Baju super ketat dan seperti kekurangan bahan itu mana bisa dirinya iya-iya saja saat Gladio menyukai dan ingin membelinya. “Itu hanya untuk pekerjaan menjadi sekretaris saja.”

“Lah, aku juga sekretaris kok.”

“Eh? Dimana? Kok kamu tidak cerita? Katanya pengangguran?” Jolan terkejut.

Gladio menampar perut Jolan detik itu juga. “Enak aja! Gini-gini juga aku mau kerja. Walaupun belum jadi sekretaris, siapa tahu pas aku apply di perusahaan lain, di terima. Terus aku bakal beli banyak baju kayak gitu. Wah, gak kebayang!”

“Tidak.”

“Lah, kamu ngapain? Aku gak lagi minta persetujuanmu kali.” Sinis Gladio yang berusaha melepaskan pelukan keduanya. “Ih, udah! Sana balik kerja!”

“Dio, kayaknya kamu salah ucap deh. Coba lihat wajah Daddynya Alana.”

Gladio mendongak sesuai arahan dari Randu. Dan benar saja, mata tajamnya, alis dan dahi yang mengkerut. Seperti tatapan pertama kali mereka bertemu.

Reflek yang diacungi jempol, Gladio menutup wajah Jolan dengan telapak tangannya. “Ih, ngapain kamu lihat kayak gitu!”

Jolan menghela nafas, menarik tangan Gladio agar tidak lagi menutupi wajahnya.

“Jangan, ya? Mau beli baju boleh, tapi yang sedikit tertutup. Jangan yang kayak gitu.”

“Kenapa gak boleh?”

“Tidak nyaman.”

Gladio mendengus, “dia nyaman-nyaman aja tuh. Kamu juga nyaman 'kan pasti lihatnya? Aku malah dipilihin yang jumbo gini.”

“Ya ampun, ini ngomongnya kenapa sembarangan terus, ya?” Jolan geregetan sendiri.

“Kenapa? Bener, 'kan?”

“Tidak.” Jolan mengecup kening Gladio. Ada warna merah di sana, bekas tabrakan tak sengaja tadi. “Ayo, mau makan saja? Sekalian jemput Alana.”

“Alana pulangnya masih dua jam lagi, Dio.”

“Aku gak laper. Alana juga masih lama pulangnya. Aku kalau balik aja gimana? Ganti baju sama daleman. Gak nyaman ini.”

Gladio memohon, memancarkan mata berbinar menatap Jolan. Membuat si empu berdeham canggung. “Saya antar.”

“Yaudah, yuk. Nanti kalau ketemu Mama, bilangin kalau nikahan kita gak jadi akhir tahun. Aku gak mau ngomong sama beliau. Jadi kamu yang wakilin, ya, Kak?”

Jolan mematung, “gimana?” otaknya tiba-tiba kosong.

“Ya itu. Akhir bulan gapapa kita nikah? Emang semuanya udah diurus kalau kita nikahnya mendadak gini? Kok aku baru kepikiran, ya...”

“Oma sama Opanya Alana selalu standby kok, Dio. Kamu mau nikah besok juga pasti langsung siap.”

“Hah? Emang iya gitu? Kamu tahu dari mana, Ran?”

“Dari Opa.”

“Ih, kenapa kamu deket banget sama beliau? 'Kan udah dibilangin bahaya, Randu.”

“Tapi aku juga udah bilangin kamu, Dio. Opanya Alana bukan dukun!”

“Ngeyel banget kamu jadi hantu!”

Jolan tertawa, lucu melihat Gladio berbicara sendirian dan bahagia akhirnya ia mendengar keputusan Gladio tentang pernikahan mereka.

“Jadi, benar tidak apa-apa kita nikah akhir bulan, Gladio?”

Gladio memutar menatap Jolan, kemudian mengangguk.

“Iya. Kamu harus tanggung jawab, 'kan kita udah tidur bareng.”

Jolan tersedak ludahnya sendiri. Sudah angkat tangan dengan ucapan Gladio yang terkadang terlalu blak-blakan itu.

Sedangkan Randu tertawa meremehkan, “Orang tidurnya bertiga, Dio. Kamu ngomongnya kayak ada adegan dewasa aja.”

...----------------...

Terpopuler

Comments

ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ

ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ

Peluk aku aja sini

2024-07-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!