...----------------...
Gladio merasakan tidur yang amat nyenyak. Setelah berjam-jam menangis, Gladio tertidur dipelukan Jolan tanpa merasa terganggu. Bahkan saat pria tersebut merebahkan tubuh Gladio ke kasurnya.
Jolan sibuk menyiapkan air hangat untuk mengompres mata Gladio, kemudian menyiapkan makan malam yang terpaksa dilewati gadis itu. Gladio sama sekali tidak terbangun. Padahal Jolan terdengar sangat rusuh saat dirinya dan anaknya berdebat mengajukan diri untuk mengompres mata Gladio.
Yang jelas dimenangi oleh Alana. Meskipun begitu, Alana tetap diajari oleh Jolan. Memimpin bagaimana Alana harus beraksi.
Randu juga ikut dikamar itu, tetapi memilih diam menatap ayah dan anak itu yang ribut sendiri. Merasa hangat melihat Gladio diperhatikan sedemikian rupa oleh mereka.
Matahari sudah terbit dari arah timur, suara dengkuran kecil menyapa indera pendengaran milik Gladio. Masih enggan untuk sepenuhnya bangun, mata Gladio sedikit terbuka melihat kondisi disekitar.
Didepannya, ada anak kecil yang tidur terlentang. Gladio baru sadar jika dirinya sekarang memeluk anak kecil tersebut. Ia menggeliat kecil untuk membenahi posisinya dan kembali tersadar ada seseorang dibelakangnya. Juga sedang memeluk pinggangnya hingga melingkari perut Gladio begitu erat.
“Pagi, Dio.”
“Randu? Siapa dibelakangku...” Suara Gladio berbisik, sepertinya beradaptasi karena tenggorokannya terasa begitu kering.
“Daddynya Alana, Dio.”
Sesuai tebakannya, Gladio berubah posisi terlentang. Matanya masih tertutup, bahkan perlahan-lahan mimpi kembali menjemputnya.
“Jam berapa sekarang?” tanya Gladio, berusaha untuk membuka mata.
“Jam enam, Dio. Kayaknya ini waktunya Alana bangun.”
Gladio mengangguk, menggoyangkan tangan Jolan yang masih bertengger diperutnya. “Kak, bangun. Udah jam enam.”
Jolan mengerang kemudian bergumam lirih.
“Kak Jolan berangkat jam berapa?”
“Gak tahu, Dio. Tapi kemarin waktu aku nginap disini, Alana berangkat setengah delapan. Tapi Daddynya udah duluan.”
“Terus Alana berangkat sama siapa?”
“Sama Oma dan Opa. Pasti bentar lagi dateng.”
Dan sesuai ucapan Randu.
Cklek!
“JOLAN BANGUN! ALANA JUGA A----” Zela terkejut saat mendapati seorang wanita yang tidur ditengah-tengah keduanya.
“Lho, he, menantu Mama kok disini, ya?”
Randu tertawa melihat kondisi muka wanita paruh baya itu yang kebingungan. Apalagi ia segera menutup mulut kemudian pintu kamar Jolan secara hati-hati.
Gladio menahan rasa malu, harusnya ia segera bangun dan bersembunyi di kamar mandi jika tahu kedua orang tua Jolan selalu berkunjung kemari pagi-pagi.
“Pagi, Sayang.”
“Pagi, Mommy, Daddy!” Alana jelas langsung terbangun dengan teriakan menggelegar itu. Mungkin sudah menjadi alarm yang tersimpan di otak anak kecil itu. Dan bapaknya.
Jolan melewati wajah Gladio tanpa dosa, memberi satu kecupan pada pipi gembul milik Alana. “Mandi. Habis itu susul Oma-Opa dibawah.”
Alana segera terbangun, ia ikut mengecup pipi Gladio setelah melihat sang ayah juga mengecup pipi kanan milik perempuan tersebut.
Si empu hanya diam meratapi, merasa sangat begitu asing dengan aktivitas disekitarnya ini.
“Mommy, Mommy, nanti anterin aku ke sekolah mau gak?”
“Hm, boleh.”
Alana berteriak semangat, “yey! Kalau gitu aku mandi dulu. Mommy juga, ya.. Terus kita sarapan dibawah! Let's go!”
Anak kecil itu turun dari ranjang, membuka pintu lebar-lebar tanpa menutupnya kembali. Meninggalkan Gladio dan Jolan berduaan. Masih dengan Jolan yang memeluk Gladio. Sama sekali tidak berniat melepaskan.
“Bangun, Kak. Aku pakai baju apa ya ini? Aku gak bawa baju...”
“Pakai baju Kakak aja. Nanti Kakak siapin. Gih, mandi dulu.”
Gladio melirik sinis ke arah Jolan, menyuruhnya untuk mandi tapi ia tidak dilepaskan. Yang benar saja.
Jolan terlalu nyaman, sudah lama ia tidak memiliki guling bernyawa. Apalagi tidur bersama Alana dan satu lagi perempuannya. Rasanya sungguh hangat. Ingin cepat-cepat menikahi perempuan ini.
“Kemarin Kakak udah pamit ke Mama? Aku lupa. Capek nangis, ketiduran deh.”
“Sudah. Kemarin dibantu Alana juga, mungkin kalau tidak ditutup mulutnya anak itu sudah keceplosan marah-marah ke Mama.” Cerita Jolan mengingat kemarin Alana mencak-mencak tidak jelas disampingnya saat mulut anak itu ia bungkam tanpa permisi.
Membuat anak tunggalnya tersebut merajuk dan meminta untuk tidur bersama Gladio. Jolan iya-iya saja, yang penting Alana tidak melakukan hal nekat seperti tadi.
“Jadi inget kemarin...” Perasaan bersalah kembali menyeruak keluar. Ekspresi sendu dari wajah Gladio begitu kentara.
“Ingat apa?” Gladio semakin ditarik masuk ke dalam pelukan Jolan, pria tersebut sampai mengecup puncak kepala Gladio berulang kali karena gemas. “Sudah, yuk. Nanti anaknya makin ngamuk kalau Mommy belum siap-siap.”
Dan akhirnya Jolan beranjak dari tidurnya setelah mencuri kecupan di pipi Gladio lagi.
“Nih Bapak-Bapak satu doyan banget cium-cium. Mahal!”
Jolan tertawa kecil, ia bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya. “Berapa coba? Kakak bayar tunai.”
“Dih, kayak apaan.” Cibir Gladio seraya beranjak dari kasur. Berjalan mendekat pada Jolan. Mengintip pria tersebut yang kebingungan memilih pakaian untuknya.
“Pakaian dalamku gak ganti dong?” celetuk Gladio.
Sampai-sampai membuat Jolan tersedak ludahnya sendiri. “Uhuk----uhuk! Kita mampir beli habis mengantar Alana.”
“Lah, emang Kakak gak kerja?”
“Kerja. Ini mau, Sayang? Sedikit kebesaran, tidak apa-apa?”
Jolan memperlihatkan satu set baju olahraga berwarna hitam. “Tidak pernah Kakak pakai, soalnya tidak muat di lengan.” Jelasnya.
Gladio mengambil alih pakaian tersebut, “yaudah, aku mandi dulu.”
“Oke, Kakak mandi di bawah saja. Biar kamu tidak terburu-buru.”
Gladio mengangguk setuju, melambaikan tangannya ke arah Jolan sebelum sepenuhnya ditelan oleh pintu kamar mandi.
Jolan menghela nafas panjang, ia tersenyum sangat lebar detik itu juga.
“Waduh, anak Mama pagi-pagi udah lebar aja senyumnya.”
Jolan terkejut setengah mati saat Zela datang dari luar tanpa permisi. Ia lupa jika pintu masih terbuka lebar. Pasti sang Mama mendengar semua percakapan antara dirinya dan Gladio.
“Mama buru-buru nih sama Papamu, mendadak ada acara. Jadi harus siap-siap sekarang. Tadi Mama udah siapin toast, sederhana aja. Yang penting bisa buat mengganjal perut kalian bertiga. Yaudah, Mama pamit, ya.”
Jolan memeluk Zela, “iya, hati-hati kalau gitu.”
“Jangan lupa anaknya nanti dijemput juga. Baik-baik sama menantu Mama. Kalian belum menikah, jangan berbuat aneh-aneh dulu.” Peringat Zela disetiap ucapannya.
Jolan hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Mengerti. “Cium sedikit.”
Tamparan keras diterima oleh Jolan setelahnya. “Ngawur ya kamu! Boleh dikit, awas kalau banyak-banyak! Mama culik Gladio nanti.” Ancamnya yang terdengar seperti gurauan di telinga Jolan.
“Hahaha, iya, Ma.”
“Alana sebelum di drop, bilangin Missnya dulu kalau hari ini yang jemput pulangnya kamu. Biar tetap didalam sekolah sebelum kamu jemput. Ngerti 'kan, Jolan. Inget-inget itu. Nanti Mama telepon lagi biar makin inget.” Oceh Zela tidak selesai-selesai.
“Iya, Ma, iya. Jolan mau mandi, sudah belum bicaranya?”
“Udah. Tapi awas, ya, kamu. Mama punya banyak cctv di rumah ini. Bikin Gladio nangis, kamu Mama pecat jadi calon suaminya.”
“Memang bisa begitu?”
“Bisalah. Mama serba bisa.”
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments