Masih di cafe Bakso - Cuaca siang hari menuju sore itu masih panas. Dewa dan Alea masih saling duduk berhadapan di meja samping jendela sambil sesekali menikmati bakso di hadapan mereka.
Alea termangu, masih mengabaikan pesan yang masuk dihandphone-nya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat Dewa tentang kebohongan putih yang tadi dia tanyakan pun, masih sedikit menganggunya.
"Lea", panggil Dewa yang sekejap membuyarkan lamunan Alea.
"Ya", Alea lantas menatap Dewa.
"Kenapa ngelamun? ", tanya Dewa penasaran.
Alea memutar matanya seperti sedang memikirkan sesuatu. Lantas dia beranikan diri mengatakan kegundahannya.
"Jika ada orang nanya sesuatu, tapi kita nggak pingin ngasih tau dia, apa yang harus kita lakukan? ".
Dewa meletakkan sendok dan garpu yang sejak tadi di pegangnya. Tangannya lantas memegang dagunya yang tajam sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan Alea.
"Emmm, kenapa lo nggak pingin ngasih tau dia".
"Karena nggak pingin aja".
Dewa tertawa mendengar jawaban Alea. " Bener juga sih, nggak pingin emang nggak butuh alasan", gumamnya. "Emang pertanyaan apa sih, sampe lo nggak mau ngasih tau orang itu?". tanya Dewa sambil menarik lengan hoodienya yang hampir terkena kuah bakso.
Alea terdiam, bibirnya sedikit manyun sambil memotong kecil-kecil bakso yang ada di mangkuknya.
"Jangan bilang lo juga nggak pingin ngasih tau gue? ", Dewa menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menatap Alea gemas.
"Eeee, bukan gitu juga". jawab Alea lirih.
"Terus... ", Dewa masih memperhatikan tingkah Alea yang menurutnya lucu.
"Dia nanya gue sekarang dimana", ungkap Alea sambil terus memotong-motong baksonya.
"Orang tua lo yang nanya? ".
"Bukan, kalau mama atau papa udah jelas aku jawab".
"Sodara lo".
"Bukan juga".
"Tetangga lo".
"Ha? ", Alea lantas memandang Dewa.
Dewa yang tersenyum manis sambil memperhatikan Alea sejak tadi, membuat Alea tersipu malu.
"Bukan juga", jawab Alea semakin lirih, bibirnya ikut merekah. Cepat-cepat Alea meraih gelas es jeruk dan meminumnya untuk menutupi kecanggungannya.
Alea melirik sebentar handphone-nya lalu memandang Dewa ragu-ragu. "Kak Kevin", ucapnya.
Dewa sedikit terkejut mendengar nama Kevin, entah mengapa seketika suhu badannya tiba-tiba naik, emosi di dadanya bergejolak, namun ditahannya kuat-kuat. Dewa sadar emosi dan ekspresi yang berlebihan bisa membuat Alea tidak nyaman. Bagaimanapun ini adalah kali pertama mereka mengobrol dan berinteraksi.
Jika mengira Dewa tak mengenal Alea itu tidak benar. Dewa sendiri sudah sering melihat Alea yang beberapa kali naik ke podium untuk mewakili angkatannya atau hal lainnya. Dewa juga sering memperhatikan Alea meskipun jelas Alea tak menyadarinya. Entah sejak kapan Dewa menaruh ketertarikan pada Alea, yang jelas Dewa juga tau jika Kevin kakak kelasnya, anggota klub basketnya, sekaligus Ketua Osis disekolahnya adalah orang yang menyukai Alea dan masih mengejarnya hingga sekarang.
"Pacar lo? ", celetuk Dewa yang tak lagi tersenyum. Ekspresinya saat ini datar sambil beberapa kali membenarkan posisi duduknya yang terlihat tidak nyaman.
"Siapa?", Alea menyadari perubahan suasana hati Dewa, yang membuatnya merasa bersalah.
"Kevin", kata Dewa sambil mengaduk-aduk es jeruknya dengan sedotan.
"Bukan", jawab Alea tegas, entah mengapa Alea juga tidak ingin membuat Dewa salah sangka.
Suasana diantara mereka entah mengapa menjadi tegang. Seperti pertengkaran kecil antara dua kekasih padahal mereka hanya dua orang yang baru pertama kali saling mengenal dan makan bersama. Sebenarnya Dewa tidak ingin bersikap berlebihan namun reaksi tubuhnya sulit dia kendalikan.
"Terus kenapa dia nyariin lo", tanya Dewa seperti sedang menginterogasi Alea.
"Mungkin cuman penasaran aja", jawab Alea.
"Emangnya dia gak boleh tau lo di mana?", cecar Dewa. Saat ini Dewa memang sudah benar-benar tidak dapat mengontrol emosinya.
Alea menelan salivanya, dia hati-hati memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Dewa.
Suara notifikasi handphone Alea kembali berdering. Alea dan Dewa spontan memandang handphone bersamaan. Beberapa saat Alea mengabaikannya dan kembali memotong bakso.
"Nggak di lihat? mungkin aja penting", ucap Dewa yang terlihat kesal.
Melihat Dewa kesal, cepat-cepat tangan Alea menarik handphone-nya, dibukanya pesan yang masuk. Tanpa menjawab pesan itu, Alea kembali meletakkannya di meja.
"Kevin?", tanya Dewa ketus.
Alea mengangguk pelan.
"Kasihan dia nungguin balesan lo". Dewa meneguk kembali es jeruknya berharap dapat mendinginkan hatinya.
"Tadi lo nanya soal kebohongan putih apa karena pesan kevin juga? ", ucap Dewa masih kesal.
"Iya", Alea mengangguk.
"Kenapa harus bohong kalau lo lagi sama gue? Emang kenapa kalau dia tau lo sama gue? ", emosi Dewa benar-benar tak dapat di bendung.
"Gue cuman takut".
"Takut kenapa, emangnya salah kalau kita bareng", wajah Dewa memerah seperti mau meledak. "Lo bilang dia bukan pacar lo, jadi kenapa takut, emangnya lo lagi selingkuh".
"Bukan gitu maksud gue Dewa. Kak Kevin pasti langsung nyamperin kita kalau tau gue lagi sama lo".
Sejenak mereka hanya saling diam. Lantas Alea tersenyum setelah dihujani pertanyaan bertubi-tubi dari Dewa.
"Kenapa lo senyum", Dewa mulai sadar jika sikapnya telah berlebihan. "Aneh ya gue", Dewa mulai menurunkan nada bicaranya.
Alea hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis.
"Jangan senyum kayak gitu", pinta Dewa.
"Kenapa? "
Dewa diam tak menjawab, hanya memandang Alea dengan pandangan yang dalam.
"Kenapa? ", ucap Alea dengan senyum manja. "Kok nggak di jawab".
Dewa hanya balik tersenyum, batinnya bergejolak, ingin rasanya dia melontarkan kata-kata gombalan, namun ditahannya sebab ini baru pertemuan pertama mereka.
"Buruan habisin baksonya, jangan liatin gue mulu", kata Dewa yang wajahnya merona.
"Iya", Alea lantas memakan bakso yang sudah di potongnya menjadi bagian-bagian kecil.
"Emang lo bener-bener gak mau Kevin tau kalau lo lagi sama gue", Dewa memulai lagi pembahasan tentang Kevin.
"Kenapa bahas Kak Kevin lagi, nanti lo marah lagi".
"Kapan gue marah", sangkal Dewa.
"Nggak ngaku lagi".
"Gue mah gak pernah marah".
"Nggak marah tapi ngambekan".
"Nggak ngambek juga kok. Buruan jawab".
"Emmm, bukannya gak pingin dia tau, tapi males aja kalau nanti tiba-tiba dia kesini".
"Emang dia berani kesini".
"Dia orangnya kan nekat".
"Terus kalau dia kesini mau apa? ".
"Mungkin ngajak gue pulang".
"Coba aja kalau berani, hadepin gue dulu".
Alea tertawa kecil mendengar Dewa bicara.
"Emang pernah kejadian kayak gitu", tanya Dewa penasaran.
"Iya pernah, jadi dulu gue lagi cari buku sama teman sekelompok gue yang cowok. Nah Kak Kevin tau, dia langsung nyamperin kita terus dengan dramatis narik tangan gue dan nganterin gue pulang. Dia nggak ngomong apa apa sepanjang jalan, cuman masang wajah serem aja", kenang Alea.
Dewa menahan tawa mendengar cerita Alea yang bak adegan sinetron. "Terus temen sekelompok lo gimana? ".
"Dia kebingungan karena di tinggal sendiri di toko buku".
Dewa tak berhenti tertawa mendengar cerita Alea. Melihat Dewa tertawa lepas membuat Alea tak dapat memalingkan pandangannya dari Dewa.
"Gue gak takut", ucap Dewa setelah puas tertawa. "Kasih tau aja Kevin kalau lo lagi sama gue, gak akan gue biarin dia bawa lo pergi".
Alea tersenyum manis mendengar kata-kata Dewa. Perutnya terasa geli seperti ada kupu-kupu yang terbang berputar-putar.
"Males ah ngladenin dia, lagian kita kan masih harus nyari duren", ucap Alea yang menyadarkan Dewa tentang tujuan utama mereka pergi berdua.
"Hampir lupa gue, kayaknya ngobrol sama lo bikin gue jadi pelupa", kata Dewa sambil tersenyum.
Alea meminum sisa es jeruknya setelah menghabiskan bakso di mangkuknya.
"Uda selesai?", tanya Dewa yang dibalas dengan anggukan Alea.
Dewa lantas beranjak dari tempat duduknya sambil meraih tas punggungnya. Dewa berdiri sejenak menunggu Alea agar berjalan terlebih dahulu. Mereka keluar dari cafe beriringan menuju parkiran motor. Sejurus kemudian Dewa telah melajukan motor maticnya, mereka berdua meninggalkan cafe dengan cepat untuk mencari duren.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments