Liburan semester masih tersisa beberapa hari lagi. Suara decit sepatu yang bergesekan dengan lantai dan suara drible bola basket masih menggema di stadion kota. Pasalnya selama liburan semester ini anggota klub basket kelas 10 SMA Praditya tak pernah absen latihan basket. Suasan lapangan basket indoor stadion kota hari ini terasa lebih sepi, berbeda dengan hari kemarin dimana ada kehadiran Alea dan Freya di stadion.
Meskipun tanpa kehadiran penonton para pemain basket tetap bermain apik dan tampak serius. Mereka berlari, melompat, menyalip dan memblokade dengan cepat dan tangkas. Permainan dan kemahiran Dewa pun semakin meningkat. Dewa yang selalu berusaha fokus dalam pertandingan basket sesekali melirik pojok tribun tempat Alea kemarin duduk, sepi batinnya.
Jam 11.45, latihan hari ini telah berlalu, beberapa orang sudah meninggalkan lapangan entah pulang atau melanjutkan aktifitas lainnya. Tak seperti biasanya Dewa masih duduk bermalas-malasan di tepian lapangan sambil menengadahkan kepalanya. Dia bahkan masih belum mengganti pakaian olahraganya yang basah oleh keringat. Kedua tangannya menopang tubuhnya kuat-kuat agar tidak ambruk dan matanya masih saja sesekali melirik pojok tribun yang kosong.
Kepala Dewa menghadap langit-langit yang kosong sedang pikirannya mengembara entah kemana. Dia menarik nafas dalam yang berat lalu menghembuskannya dengan suara keluhan. Bersamaan dengan itu Johar berjalan mendekatinya lalu duduk di sampingnya dengan bersila sambil memijit-mijit tumitnya yang pegal. Di perhatikannya kapten basketnya yang seperti sedang menahan beban yang sangat berat, padahal hari itu mereka memenangkan pertandingan basket dengan kemenangan telak 4-0.
"Kenapa lo, ada masalah? ", tanya Johar penasaran.
Dewa melirik sahabatnya yang kedatangannya tidak disadarinya. " Capek", ucap Dewa yang kembali melemparkan pandangannya jauh ke langit-langit stadion.
"Ternyata seorang Dewa juga bisa capek", ledek Johar yang masih memijit-mijit kakinya.
Dewa hanya tertawa pelan sambil masih sesekali menarik nafas dalam yang berat.
Diantara anggota klub basket mereka berdua memang yang paling dekat. Meskipun mereka baru mulai mengenal saat masuk SMA Praditya namun kedekatan mereka seperti sudah terjalin sejak lama. Entah karena alasan apa mereka begitu cocok, yang jelas mereka sekarang adalah sahabat yang berusaha saling memahami dan melindungi satu sama lain.
"Lo kalau mau cerita, gue siap jadi pendengar yang baik. Gue janji gak bakal ngasih komentar buruk, menghujat, atau menghakimi lo", kata Johar serius sambil mengangkat tangannya seperti gerakan orang yang mengambil sumpah.
Dewa geli melihat kelakuan random temannya yang menurutnya berlebihan. "Apaan sih lo", Dewa tertawa terbahak.
Johar ikut tertawa meskipun dalam hatinya sangat menghawatirkan sahabatnya itu. Selama mengenal Dewa, Johar belum pernah melihat sahabatnya berlaku seperti itu. Meskipun Dewa memang jarang menceritakan masalah pribadinya namun Dewa juga tidak pernah terlihat galau, gundah atau murung. Dewa adalah anak lelaki yang ceria dan penuh semangat, kecuali saat di depan murid perempuan, dia akan terlihat cuek dan dingin.
"Meskipun kita belum berteman lama tapi gue tau kalau lo lagi gak baik-baik aja", tegas Johar meyakinkan.
Dewa menutup matanya lalu di tariknya nafas dalam yang berat untuk kesekian kalinya. "Gue beneran capek", keluhnya, Dewa lantas menurunkan tangannya dan membiarkan tubuhnya tergeletak di lantai lapangan yang dingin. "Di dalam hati gue tersembunyi sesuatu yang besar, yang semakin lama semakin lebih besar dan berusaha menerobos keluar. Gue uda berusaha menyembunyikannya dan menahannya dengan sekuat tenaga sejak lama. Sengaja gue bangun tembok yang sangat tebal dan kuat biar sesuatu itu gak bisa menerobos keluar. Gue kira tembok itu adalah tembok terkuat dan terbaik yang pernah gue bangun. Namun lo tau, ternyata itu semua salah", Dewa menghentikan ucapannya dan menarik nafas dalam yang berat lagi. Diletakannya tangan kanannya diatas dadanya seperti sedang menahan sesuatu yang akan keluar dari dadanya.
Johar mendengarkan sahabatnya dengan tatapan dalam yang sendu.
"Tembok yang gue kira paling kuat dan kokoh itu kemarin dengan mudahnya retak hanya dengan satu senyuman. Lo tau, retakannya bener-bener besar dan gue gak tau berapa lama tembok itu mampu bertahan". Dewa lantas melirik pojok tribun yang masih tetap kosong.
Johar masih duduk bersila namun tangannya tak lagi memijit tumitnya yang pegal. Kepalanya menunduk sambil mendengarkan dengan khidmat cerita Dewa.
"Gue kira lo masih bisa mempertahankan tembok itu dengan satu cara. Jangan lagi lo lihat senyum itu. Lo hanya perlu menghindari senyum itu aja", saran Johar meyakinkan sambil menatap sahabatnya penuh arti.
"Gue uda gak bisa. Senyum itu sekarang memenuhi otak gue, bayangannya terus muncul dan gak mau hilang dari pandangan gue", ucap Dewa yang masih menatap langit-langit stadion.
"Gue yakin lo bisa, lo ud-", kata-kata Johar terputus.
"Gak bisa", sela Dewa. " Gue bener-bener gak bisa", Dewa lantas mengangkat tangan kirinya lalu meletakannya di atas wajahnya yang menutupi kedua matanya. "Gue baru sadar ternyata tembok itu bertahan bukan karena kuat, tapi karena tembok itu gak pernah tersentuh. Sejak awal tembok itu ternyata memang rapuh. Gue selama ini hanya menghindar dan lari dari dia, dan baru kemarin gue dengan percaya diri menghadapinya. Awalnya gue ingin membuktikan kalau gue kuat dan gak lemah, namun satu tatapan malunya saja sudah menggetarkan tembok itu dan satu senyumnya yang canggung juga meretakkan tembok itu. Lo tau apa yang semakin buat gue gak bisa menghindari dia, ternyata senyum itu bikin gue bahagia dan gue pingin lihat senyum itu lagi untuk waktu yang lama".
Sejenak keheningan menyelimuti mereka berdua, padahal di tengah lapangan Dzikri dan Arbi sedang berebut bola, ribut dan berisik.
"Alea", ungkap Johar berusaha berkata sangat hati-hati. "Apa ini tentang Alea? ".
Dewa tak menjawab, namun diamnya seperti mengiyakan tebakan Johar.
"Apa salah kalau gue pingin bahagia? ", tanya Dewa dengan putus asa.
"Engga salah kok, lo berhak bahagia", jawab Johar yang dalam batinnya sekarang sedang berisik mengutuki Freya yang sengaja membawa Alea ke stadion kemarin. Johar yakin seyakin yakinnya jika Alea bukanlah seseorang yang akan berinisiatif datang ke stadion untuk menonton pertandingan basket. Saat ini Johar ingin sekali berlari menemui Freya, berteriak padanya dan menyalahkannya sepuas hati.
Johar bener-bener sudah tidak bisa berkata apa-apa pada Dewa. Dia hanya merasa kasihan padanya. Dia sangat tau jika sejak lama Dewa memang sudah memendam perasaan pada Alea. Dia juga tau jika Dewa sudah berusaha dengan keras tidak mendekati Alea dan mengabaikan perasaannya pada Alea. Dewa bener-bener hanya fokus pada basket dan selalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Alea. Namun karena kecerobohan seorang Freya yang dengan tak sopan mempertemukan dua orang yang seharusnya tak pernah berpapasan sekalipun, telah menghancurkan keseimbangan pertahanan sahabatnya itu.
Dewa tiba-tiba bangkit berdiri dan tak memperlihatkan sedikitpun wajah gundahnya. Dia memasang wajah yang ceria dan bersemangat seperti biasanya. "Gue ganti baju dulu", ucapnya sambil berlalu meninggalkan Johar yang masih duduk termangu menghawatikan sahabatnya.
"Wa", panggil Johar menghentikan langkah Dewa.
Dewa berbalik memandang Johar.
"Kalau lo harus memilih salah satu antara persahabatan dan cinta, lo bakal pilih mana? ", tanya Johar lantang yang sekejap menghentikan keributan Dzikri dan Arbi serta mencuri perhatian Dany dan Willy yang sedang asik bermain game di handphone mereka.
"Gue pilih keduanya", jawab Dewa yakin. "Gue bakal pertahankan keduanya dan selamatkan keduannya". Dewa lantas berjalan pergi meninggalkan Johar yang masih duduk mematung di tempatnya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments