Alea berdiri di depan jendela kelas, pandangannya tertuju pada kerumunan murid-murid di lapangan yang sedang sibuk menonton pertandingan sepak bola. Tak berbeda dengan pertandingan basket kemarin, kali ini pun euforia penonton begitu tinggi, sorak-sorai yel-yel, jeritan para penonton dan kehebohan lainnya menyemarakkan pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung.
Alea sedikit demi sedikit memang mulai tertarik pada keramaian, berbeda dengan dirinya dahulu yang begitu menghindari keramaian dan kerumunan orang. Dia mulai bisa menyesuaikan diri sejak mendapat misi menjadi anggota paduan suara, karena dia mau tidak mau harus tampil di depan banyak orang.
Alea sebenarnya menyadari bahwa dirinya terlalu tertutup terhadap dunia luar, dia terjebak dalam dunianya sendiri. Dia memang sangat menyukai ilmu pengetahuan, dan selalu merasa haus dan penasaran dengan banyak hal. Namun terkadang dia juga merasa kesepian, dia iri dengan murid-murid lain yang berlarian di lorong-lorong kelas, menyanyi bersama saat kelas kosong, tertawa terbahak pada hal-hal tidak masuk akal dan menangis saat mereka kecewa atau putus cinta. Segala kegaduhan, kelucuan, kebahagiaan bahkan ketakutan saat di kelas, selalu dia tidak pernah menjadi bagian itu, dia hanya penonton yang mengamati dari pojok kelas.
Alea merasa selama ini selalu sendirian. Dia ingin terbebas dari belenggu yang mengikatnya namun dia tidak punya keberanian dan tidak tau cara melakukannya. Saat dia melihat segerombolan siswa siswi sedang asik mengobrol tentang make up, PR yang belum mereka kerjakan, orang yang mereka suka, acara TV yang mereka tonton, artis atau penyanyi yang diidolakan dan bahkan uang jajan mereka yang dipotong karena nilai mereka turun, dia ingin menjadi salah satu bagian dari mereka. Dia selalu iri pada mereka yang tidak pernah kehabisan topik pembicaraan dan memiliki teman banyak di sekolah.
Alea memang memiliki Freya sahabat satu-satunya yang selalu setia padanya, namun dia juga ingin memiliki teman lain yang banyak, dimana saat dia berjalan akan saling menyapa, saat ada hal lucu dia bisa ikut menertawakannya, saat ada yang menangis dia ikut menenangkannya. Dia juga merasa ada tembok yang sangat tinggi yang memisahkan dia dan teman-teman sekelasnya. Memang dia tidak bermusuhan dengan teman sekelasnya ataupun murid lain, namun dia juga tidak dekat dengan mereka. Dia dan teman-teman kelasnya hanya saling mengenal wajah dan nama. Dia memang terkenal genius dan hampir semua orang di sekolah mengenalnya, namun mereka tidak pernah berbicara, bercanda, tertawa dan bahkan saling menjaili seperti layaknya anak-anak SMA lainnya.
Alea merasa ada topeng yang sangat tebal terpasang diwajahnya, sehingga dia tidak mempu menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya. Dia hanya mampu bebas berekspresi dan menjadi dirinya sendiri saat bersama Freya. Entah mengapa saat dengan teman lainnya, hanya ekspresi datar yang terlihat di wajahnya. Dia juga merasa sulit berbicara lancar dengan orang lain, padahal ratusan buku sudah dibacanya sehingga ada begitu banyak kosa kata yang tersimpan di otaknya namun dia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun saat berada di samping orang lain seakan lidahnya terkunci.
Sebenarnya dia tidak sengaja untuk menghindari orang lain, hal itu berawal dari dia yang selalu asik sendiri dengan buku-bukunya, menghabiskan waktu di perpustakaan atau dikelas sendirian, tenggelam sendiri dalam keindahan pengetahuan yang begitu luas dan misterius, hingga dia terjebak sendiri dan asing terhadap sekitarnya.
Freya yang mengetahui hal itu merasa kasihan dan tidak ingin sahabatnya terjebak lebih lama lagi dalam kesepian dan keterasingan yang menyiksanya. Sehingga dia berusaha sekuat tenaga agar sahabatnya itu dapat terbebas dari belenggunya dan menikmati lika-liku kehidupan SMA yang begitu berwarna seperti murid-murid lainnya.
......................
"Dor". Freya mengejutkan Alea yang dari tadi masih berdiri di depan jendela kaca kelasnya sambil mengamati pertandingan sepak bola dilapangan seberang kelasnya.
Alea terkejut dengan kedatangan sahabatnya yang tiba-tiba itu.
"Lagi liat apa sih, serius amat". Freya menarik meja ke arah samping jendela dan duduk di atasnya.
"Duduk sini". Pinta Freya pada Alea, tanganya sibuk mengelap bagian permukaan meja untuk diduduki Alea.
Alea menjinjitkan kakinya untuk meraih tinggi meja dan duduk di samping Freya. Dua sahabat itu duduk menghadap lapangan yang sangat ramai itu.
"Lo nggak lagi nyari Dewa dari sini kan". Ledek Freya dengan senyum jailnya.
"Kejauhan, mana kelihatan". Jari-jari lentik Alea membenarkan poninya yang sedikit berantakan.
"Wow, ternyata bener nih lagi nyariin Dewa". Lengan Freya menubruk lengan Alea dengan sedikit keras.
"Enggak lah". Jawab Alea dengan muka sebal.
"Jadi, gimna Dewa menurut lo? "
"Gimna apanya? "
"Ya orangnya lah, dia ganteng kan? "
"Heem". Alea menjawab dengan malas. "Ngomong-ngomong kenapa lo nulis misi buat jadi pacar Dewa sih?". Tanya Alea dengan wajah penasaran nya.
"Emmm,,, iseng aja sih, hahaha". Tawa Freya puas.
"Jangan-jangan lo sendiri yang suka sama Dewa". Selidik Alea dengan ujung alisnya yang saling bertemu.
"Tenang aja, dia bukan kriteria cowok yang gua suka".
"Emang siapa cowok yang elo suka? kok gue gak tau".
"Hahaha, tenang aja orangnya belum muncul".
"Dasar aneh". Alea ikut tersenyum tipis.
"Gue rasa misi ini impossible banget deh". Pandangannya menerawang jauh ke cakrawala.
"Belum juga di coba uda pesimis".
"Gimana caranya gue jadi pacarnya, dia aja gak tau gue hidup".
"Hahaha, lo lucu amat sih"
"Lo hanya perlu hadapin dan perjuangin, dan kita lihat hasilnya".
Jari Freya sibuk merogoh saku bajunya.
"Kalau cuman di omongin emang gampang, tapi susah banget ngelakuinnya".
"Makanya dicoba dulu". Dari dalam saku bajunya dia mengeluarkan dua permen bergagang.
"Gue aja nggak tau mau mulai misi ini dari mana? " Alea tertunduk lesu.
"Tenang aja, gue uda punya ide bagus biar lo bisa deket sama Dewa". Freya memberikan satu gagang permennya ke Alea.
Alea mengambil permen yang disodorkan Freya dengan memasang wajah penasaran sekaligus curiga.
"Rencana gila apa yang uda lo rancang kali ini? "
"Hahaha,,, " Jari Freya sibuk membuka bungkus permen ditangannya.
"Lo belum isi formulir penjurusan yang kemarin kan?
"Iya belum". Alea hanya memegangi permen pemberian Freya.
"Lo uda boleh isi sekarang, tapi lo jangan masuk jurusan science, lo harus masuk jurusan social". Freya memasukan permen yang di tangannya ke mulutnya.
Alea mematung hanya menatap Freya dengan muka bingungnya.
Sadar ekspresi sahabatnya yang kaget dan kebingungan Freya lantas menjelaskan tujuannya.
"Jadi gini", Freya memasang wajah serius sambil mengeluarkan permen dari mulutnya. "Cara cepat agar lo bisa dekat dengan Dewa adalah dengan menjadi teman sekelasnya".
"Gue uda observasi dan wawancara beberapa teman sekelasnya kalau kemungkinan besar Dewa bakal masuk jurusan social". Jelas Freya dengan penuh percaya diri.
Alea hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal saat mendengar ide gila dari sahabatnya itu.
"Kalau lo satu kelas sama doi, otomatis lo juga bakal sering ketemu sama doi. Dengan begitu lo bisa dengan mudah ndeketin doi juga". Freya menyelesaikan penjelasannya dengan wajah bangga sambil memasukkan permen ke mulutnya lagi.
Alea terdiam, bola matanya bergerak ke kanan ke kiri mempertimbangkan ide Freya yang sebenarnya sedikit berlebihan menurutnya.
"Gimana cara gue njelasin masalah jurusan kalau Bokap dan Kak Farrel tanya? " Masalah pemilihan jurusan memang bukan masalah sederhana bagi Alea, karena Ayah dan Kakaknya sangat perduli dan ketat dengan pendidikannya. Ayah Alea sendiri merupakan seorang Dokter dan Kakaknya sekarang sedang belajar di Fakultas Kedokteran terkenal. Kemungkinan besar kedua orang itu berharap Alea mengikuti jejak keduanya, terlebih lagi Alea memang termasuk siswa genius.
Freya melupakan elemen paling penting sebagai seorang anak sekolah, kenyataan bahwa mereka hanya anak-anak remaja yang kehidupannya pasti selalu diawasi dan diatur oleh orang dewasa, terutama keluarganya merupakan sesuatu yang mutlak adanya.
Namun bukan anak remaja namanya jika langsung setuju dan patuh terhadap semua peraturan yang ada, mereka cenderung mengambil keputusan spontan dan tidak memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari.
Pembicaraan tentang strategi mendekati Dewa siang itu berhenti sampai di situ, mereka kemudian hanya menceritakan hal-hal random yang terjadi disekolah. Mereka belum menemukan ide bagaimana harus melanjutkan misi tersebut. Alea berencana menanyakan pendapat ibunya terlebih dahulu tentang keinginannya bergabung di jurusan social. Ibunya adalah satu-satunya orang yang tidak terlalu ketat terhadap pendidikan anak-anaknya, dia cenderung terbuka dan fleksibel dengan pilihan yang diinginkan anaknya. Alea berharap ibunya dapat mendukung dan membantu dia untuk dapat masuk di jurusan social.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments