Chapter 13 | Cafe Bakso

Dewa dan Alea masih di stadion kota dengan cuaca panas dan berdebu. Baru saja mobil merah milik Dani meninggalkan mereka berdua. Dewa memundurkan motornya beberapa langkah ke arah Alea yang masih berdiri canggung. Dewa meraih helm berwarna putih lantas menyodorkannya ke Alea tanpa basa basi.

Sejenak pandangan mata mereka saling bertemu, itu adalah kali pertama Alea menatap Dewa secara langsung. Hawa panas tiba-tiba menjalar cepat di tubuhnya. Pelepasan hormon adrenalin memicu sirkulasi darahnya meningkat sehingga wajah putihnya mendadak merona. Cepat-cepat Alea mengambil helm dari tangan Dewa.

Mereka belum saling mengenal namun akan lebih canggung lagi jika mereka tiba-tiba berkenalan. Bagaimanapun juga mereka teman seangkatan di SMA Praditya, yang jelas mereka saling tau nama masing-masing.

Dewa menurunkan footstep motor maticnya yang masih terlipat dengan tangannya.

Dewa lantas memandang Alea. "Lo pernah naik motor? ", ucap Dewa dengan suara baritonnya yang sedikit bergetar.

Seketika adrenalin di tubuh Alea semakin membuncah, sekarang tubuhnya benar-benar panas.

"Be-belum", jawab Alea terbata.

Mata Dewa berputar lantas menatap Alea lagi. "Lo yakin nggak pa pa naik motor, kalau lo nggak bisa kita cari taxi aja".

"Oh itu, maksudnya kalau di bonceng pernah tapi kalau nyetirin motor sendiri belum pernah", jawab Alea yang baru menyadari maksud pertanyaan Dewa.

"Oh", gumam Dewa dengan ekspresi wajah leganya. "Kalau antara nasi dan bakso lo suka yang mana? ", tanya Dewa mendadak.

" Ha...", Alea sedikit kaget dengan pertanyaan Dewa yang diluar prediksinya. Sesaat Alea hanya terdiam dan tak berani menatap langsung ke arah Dewa.

"Lo sendiri lebih suka mana? ", tanya balik Alea yang masih bingung harus menjawab apa.

"Kan gue dulu yang nanya", senyum Dewa tipis dibibirnya.

Gemuruh jantung Alea, ini adalah kali pertamanya melihat senyum Dewa dari dekat. Tatapannya yang dalam dan teduh seketika menghancurkan predikat cowok terdingin dan tercuek yang selama ini melekat pada Dewa.

Alea yang sejak tadi berdiri tegang dan gugup mulai terlihat santai. "emmm, bakso", jawab Alea ragu-ragu.

Kecanggungan diantara mereka berdua sepertinya sudah mulai menipis.

"Oke, gue kayaknya tau tempat bakso yang lumayan enak di sekitar sini", ucap Dewa yang masih menatap Alea.

Alea yang sejak tadi salah tingkah, beberapa kali jarinya membenarkan rambutnya yang sebenarnya tidak berantakan.

"Ya udah, ayo naik", pinta Dewa.

Alea berjalan mendekati motor Dewa dengan canggung, masih di dekapnya helm putih pemberian Dewa erat-erat. Lalu dipakainya helm itu dengan hati-hati. Tak lama kemudian kaki kiri Alea menginjak footstep, kedua tangannya berpegangan pada jok motor agar tak tergelincir. Alea duduk di motor dengan menyisakan ruang diantara dia dan Dewa cukup luas, sedangkan kedua tangan Alea berpegangan kuat pada behel jok bagian belakang.

Dewa memutar badannya mengecek posisi duduk Alea. Seperti yang dia perkirakan Alea duduk terlalu mundur di ujung jok. Tabiat cewek saat di bonceng cowok yang belum dia kenal kurang lebih hampir selalu seperti itu batinnya. Dewa menarik tas hitamnya yang sejak tadi diletakan dibagian pijakan kaki bagian depan lalu menyerahkannya pada Alea. "Tolong pegangin ya", ucap Dewa ringan.

Spontan tangan Alea menerima tas yang disodorkan Dewa lantas meletakkannya diantara mereka berdua dan memegangnya erat. Tas hitam yang lumayan berat itu berisi kaos dan sepatu olahraga yang tadi Dewa gunakan.

Tangan kekar Dewa menarik helm yang sejak tadi tergantung di spion motor lalu memakainya. Dewa memutar kunci lalu menekan tombol starter. Tangannya lantas membenarkan spion yang sedikit miring.

"Alea", panggil Dewa. Mungkin itu adalah kali pertama Dewa memanggil nama Alea sejak pertemuan pertamanya hari itu.

"Iya", jawab Alea sambil mendorong tubuhnya sedikit ke depan supaya mendengar lebih jelas ucapan Dewa.

"Pegangan", pinta Dewa lembut. Suaranya sedikit kurang jelas karena bertubrukan dengan gerung knalpot motornya yang lumayan brisik.

"Ha? ", seru Alea yang semakin mendekat ke tubuh Dewa.

Dewa spontan menengok ke arah belakang, dan seketika helm mereka bertubrukan keras.

"Aduh", Alea terkejut lalu menarik tubuhnya kembali kebelakang sambil mengelus kepalanya yang terhalang oleh helm.

Dewa dengan cepat menghadap kembali ke depan, sekarang tubuhnya terasa panas, degup jantungnya riuh tak beraturan, lalu senyum tipis di bibirnya mengembang yang sengaja tak ditunjukkannya pada Alea.

Alea tersipu, di tundukkannya kepalanya dalam-dalam agar pipinya yang merona kemerahan tak terlihat.

"Pegangan", seru Dewa kembali dengan volume agak keras sambil matanya melirik ke belakang.

Alea tidak menjawab, hanya jari-jarinya yang lentik menggenggam hoodie Dewa perlahan.

Tubuh Dewa semakin memanas, degup jantungnya yang bergemuruh kencang membuat nafasnya menjadi lebih cepat. Tangannya sesekali mengibas-ngibaskan bagian leher hoodienya agar tubuhnya cepat mendingin.

Tak berapa lama kemudian tangan Dewa menarik handle gas perlahan. Motor Dewa melaju pelan menelusuri jalan aspal yang dipenuhi kelopak bunga Jacaranda. Tangan Alea lantas mencengkeram hoodie Dewa dengan lebih erat.

...............

Setelah mereka berkendara selama kurang lebih 15 menit, Dewa menghentikan motornya di depan sebuah cafe bakso bertema vintage. Motornya terparkir dibawah kanopi yang dipenuhi tumbuhan rambat. Dewa mengambil tasnya dari Alea lantas menggendongnya dengan lengan kirinya.

Mereka berjalan memasuki cafe berpintu kayu itu beriringan. Dewa lantas menuju meja dengan dua kursi berhadapan di samping jendela dan meletakkan tas hitamnya di kaki meja. Alea duduk di kursi sementara Dewa memesan makanan. Tak lama kemudian Dewa kembali dengan membawa nomor pesanan dan meletakannya di atas meja.

Saat ini mereka duduk berhadapan dengan sedikit canggung. Tak ada percakapan yang terdengar diantara mereka. Sesekali mereka hanya melihat-lihat susana cafe yang unik. Beberapa furniture berbahan kayu menghiasi sudut ruangan dengan penerangan lampu kuning keemasan. Galerry Wall di tengah ruangan yang diisi foto grayscale menambah suasana klasik.

Saat mereka sedang asik memandang aksesoris klasik yang terpajang di beberapa bagian cafe tiba-tiba nada notifikasi berdering dari dalam tas Alea. Alea lantas merogoh handphone nya dari dalam tas. Beberapa pesan masuk dan panggilan tak terjawab terlihat di layar handphone-nya. Segera Alea membaca pesan dari seseorang yang kebanyakan sudah masuk sejak beberapa menit yang lalu. Sepertinya pesan itu dikirim saat Alea masih diatas motor hingga dia tak menyadarinya.

Alea membaca pesan itu dengan kening berkerut. Dewa terlihat penasaran namun tak berani menanyakannya. Alea terlihat mengabaikan pesan itu dan menutup kembali handphone-nya lalu meletakannya di meja. Meski Dewa semakin penasaran, ditahannya perasaan itu kuat-kuat, tak mau dia membuat Alea tak nyaman.

Pesanan mereka telah datang, dua mangkuk bakso, satu piring pangsit dan dua es jeruk. Dewa menyeruput es jeruknya lalu memakan baksonya pelan, sedang Alea hanya mengaduk-aduk baksonya. Sepertinya pikirannya melayang entah kemana. Dewa melihat gelagat aneh Alea sejak dia membuka pesan di hp nya.

"Gak suka baksonya? ", tanya Dewa memecah keheningan diantara mereka.

Alea sedikit terkejut dengan pertanyaan Dewa. "Suka kok".

"Trus kenapa nggak dimakan", tambah Dewa.

"Iya, ini mau di makan", jawab Alea sambil cepat-cepat mencicipi bakso di depannya.

Keheningan kembali meliputi mereka berdua yang sekarang sibuk menikmati makanan di depan mereka. Alea terlihat masih memikirkan sesuatu yang membuatnya kurang nyaman. Sesekali dia terdiam mematung sambil melirik handphone-nya.

"Dewa", Alea membuka percakapan dengan suaranya yang lembut.

"Iya", tertegun Dewa mendengar Alea menyebut namanya.

"Gimana pendapat lo tentang kebohongan putih", tanya Alea serius.

Dewa terdiam sebentar mencerna pertanyaan yang dilontarkan Alea. "Maksud kamu mengatakan kebohongan demi sebuah kebaikan? ".

"He eh", angguk Alea.

Dewa berpikir sejenak, keningnya berkerut. "Kalau menurut gue, kebohongan tetaplah kebohongan, seseorang yang dibohongi tetap akan merasa kecewa meski dengan embel-embel sebuah kebaikan. Lagi pula kebohongan itu menandakan seseorang pecundang".

Alea mematung mendengar jawaban Dewa yang tegas, beberapa kali tenggorokannya menelan salivany dengan susah payah. Alea ngeri membayangkan reaksi Dewa saat tau bahwa dirinya sengaja mendekatinya karena misi Blind Choice yang didapatnya. Namun alasannya menanyakan pendapatnya kali ini tidak ada hubungannya dengan Blind Choice, akan tetapi berhubungan dengan pesan yang diterimanya beberapa saat yang lalu.

...****************...

...Bersambung..... ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!