Chapter 5 | Formulir

Sekolah masih pada suasana pasca Ujian Semester sehingga tidak ada kegiatan belajar di kelas. Sebagian besar murid-murid masih sibuk dengan olimpiade antar kelas baik menjadi penonton atau peserta pertandingan, sedang sebagian lain sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler yang mereka ikuti. Minggu ini juga merupakan waktu pengumpulan formulir penjurusan untuk siswa kelas 10.

Freya berlari kecil menuju ruang guru yang berada di lantai dua. Laju kakinya melambat saat sudah mendekati pintu masuk ruang guru. Tangannya dengan cepat merapihkan seragam dan rambut panjangnya yang mengembang di terpa angin.

Pintu ruangan itu terbuka, Freya mengetok pintu lirih sebagai sopan santun dan tanda permisi pada guru-guru yang ada di dalam ruangan. Kakinya melangkah pelan menuju meja Pak Alif yang berada di pojok sebelah kiri. Kebetulan Freya memang disuruh guru ekstrakurikuler silat itu untuk mengambil buku teknik silat yang ada di mejanya.

"Kamu tau kan, kalau nilai Matematikamu di bawah nilai minimum kriteria kelulusan? ". Ucap suara dibalik papan sekat antar meja guru yang tingginya setelinga Freya.

"Untungnya ini masih semester pertama, jika di semester kedua nanti nilaimu masih dibawah nilai minimum, kemungkinan besar akan sulit bagi wali kelas untuk menaikkan kamu ke kelas 11". Freya mengenali jika suara lembut itu berasal dari Bu Devi yang merupakan guru BK di SMA Praditya.

Kebetulan meja Bu Devi memang bersebelahan dengan meja Pak Alif, sehingga secara tidak langsung Freya dapat mendengar ucapan dari Bu Devi. Freya berdiri di depan meja Pak Alif sambil mengabaikan suara dari meja sebelah sedang tangannya sibuk mengacak tumpukan buku di atas meja.

"Sebaiknya kamu mengikuti kelas tambahan atau les agar nilai Matematikamu bisa naik". Nasihat Bu Devi masih terdengar oleh Freya.

"Iya Bu". Jawab singkat siswa laki-laki yang duduk di depan Bu Devi.

Mendengar suara berat yang khas dari siswa laki-laki itu Freya sedikit terkejut. Tangannya yang sudah menggenggam buku teknik silat itu mematung sebentar. Freya sepertinya mengenali suara siswa dari balik sekat itu. "Dewa", gumamnya dalam hati.

"Ibu yang akan mencarikan kelas tambahan atau lesnya, kamu hanya perlu meluangkan waktu di sela-sela latihan basketmu". Freya yang tadinya tidak tertarik dengan percakapan di meja seberang menjadi antusias mendengarkan.

"Ibu tau basket memang sangat penting buat kamu, jadi Ibu tidak akan melarang kamu bermain basket. Ibu hanya berharap kamu bisa bijak mengatur waktu antara belajar dan bermain basket". Nasehat Bu Devi masih terus terdengar, namun siswa di depannya hanya diam mendengarkan saja.

Freya masih berdiri mematung di depan meja Pak Alif, tangannya masih menggenggam buku yang dari tadi dicarinya, namun konsentrasinya tertuju pada percakapan antara guru dan murid dari balik papan sekat di sampingnya.

"Ya sudah, kamu boleh keluar, untuk kelas tambahan atau lesnya akan Ibu kabari lagi". Ibu Devi mempersilahkan siswa laki-laki itu untuk meninggalkan mejanya.

"Baik Bu, terima kasih". Ucap dengan sopan siswa laki-laki yang terkenal dingin itu.

Tubuh tegap siswa itu berdiri dan beranjak dari meja Bu Devi. Freya yang tak mau ketahuan menguping pembicaraan mereka langsung menundukkan tubuhnya sambil tangannya sibuk mengacak buku-buku di meja Pak Alif lagi.

Beberapa menit berlalu, Freya menenteng buku teknik silat dan melangkahkan kakinya meninggalkan meja Pak Afif dengan santai. Freya berusaha bersikap normal dan tenang agar tak mencurigakan karena dia sudah menguping sesi konsultasi murid lain.

Setelah sampai di luar ruang guru, senyum merekah di bibir Freya. Langkahnya riang, sedang dalam benaknya tersusun sebuah skenario yang sangat hebat untuk sahabat tercintanya.

......................

Alea duduk sendirian di gazebo taman sekolah. Kepalanya menunduk, kedua tangannya sedekap, sedang kakinya yang menggantung bergerak ke depan ke belakang. Matanya terpejam dan rambut hitamnya yang sebahu tertiup angin lembut. Dari kejauhan Freya berlari ke arah Alea dengan seragam silatnya yang putih bersih. Freya mendarat tepat di samping Alea dengan nafas yang tersengal-sengal.

Alea mengangkat wajahnya, melirik sahabatnya yang masih berusaha mengatur nafasnya. Gadis pesilat itu tinggi tegap dan memiliki wajah yang tegas. Rambut panjangnya di kuncir satu, sedang bulir-bulir air merembes dari rambutnya yang hitam. Dia lebih banyak memiliki teman laki-laki dibanding teman perempuan, namun dia gadis baik yang selalu ceria dan sangat menjunjung tinggi keadilan. Freya yang sibuk dengan latihan silatnya selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk sahabat satu-satunya itu.

Hari ini mereka berdua sudah janjian untuk menyerahkan formulir penjurusan bersama-sama pada guru BK. Guru BK memang sengaja ditunjuk bertanggung jawab mengumpulkan formulir penjurusan siswa karena jika ada siswa yang kesulitan memilih jurusan dapat sekaligus melakukan konseling.

Alea membuka resleting tas sekolahnya yang tergeletak di samping kirinya. Ditariknya selembar kertas putih dengan hati-hati, lalu tangan kanannya memegang kertas itu dan memampangkannya tepat dua jengkal di depan wajah Freya.

Freya membaca cepat formulir yang ditulis tangan dengan rapih. "Lo dapat izin ambil jurusan social? "

Tangan Freya mengambil formulir itu, dan dibacanya ulang dengan wajah terkejutnya.

"Waah, ini bener-bener keajaiban". Bibirnya tersenyum lebar dan matanya berbinar-binar tak percaya.

"Ceritain gimana caranya lo bisa dapat izin masuk jurusan social". Freya tidak sabar mendengar cerita sahabatnya.

Alea menarik nafas dalam, matanya menatap langit biru yang cerah. "Gua bilang pingin jadi jaksa". Lalu Alea menceritakan dengan lengkap percakapannya dengan Ibunya kemarin.

Freya tertegun sebentar mendengar jawaban Lea, semenit kemudian dia tertawa terbahak-bahak tak percaya temannya bisa terpikirkan membuat alasan yang cukup ekstrim menurutnya.

Tangan kiri Freya lantas memeluk pundak Lea dan matanya ikut menatap langit. "Tenang aja, gue pasti akan mendukung sepenuhnya cita-cita yang mulia ini".

"Ini semua gara-gara misi absurd yang lo buat". Mata Alea melirik Freya dengan tajam.

"Ho... Ow, tapi yang milih misi itu kan lo sendiri". Freya meringis jahil.

Alea hanya cemberut sebal mendengar kejahilan Freya.

"Tapi gimana caranya mastiin kalau gue satu kelas sama Dewa? Kelas social biasanya kan lebih dari satu kelas". Alea menatap serius sahabatnya.

"Cie... yang pingin banget satu kelas sama Dewa". Freya menggoda Alea dengan terang-terangan.

"Apaan sih, nggak lucu". Alea semakin sebal dengan candaan Freya.

"Sabar,,, sabar,,, orang sabar pasti disayang Dewa" . Canda Freya yang membuat Lea muntab.

"Gue pulang". Tangan Lea meraih tas gendongnya.

Dengan cepat Freya menarik lengan Alea dan menghentikannya. " Sorry,,, sorry,,, " Freya memohon pada Alea dengan wajah bersalahnnya.

"Gue uda punya cara" . Kerlingan mata Freya meyakinkan Alea.

Alea sedikit khawatir memikirkan ide gila apa lagi yang dipikirkan sahabatnya kali ini.

"Sekarang kita kumpulkan dulu formulirnya, masalah satu kelas sama Dewa serahkan sama gue". Tatap Freya dengan serius dan percaya diri.

Dua sahabat itu berjalan beriringan menuju ruang guru untuk menyerahkan formulir penjurusan kelas.

Sejurus kemudian mereka sudah berada di depan ruang guru, Alea mengetuk pintu dengan lembut, lantas mereka berdua melangkah masuk menuju arah meja Bu Devi. Bu Devi sedang sibuk membaca dan memilah formulir penjurusan siswa-siswa saat mereka sampai di depan mejanya.

"Permisi Bu", pamit Lea mengganggu Bu Devi.

" Silahkan". Guru yang memiliki senyum manis dan ramah itu mempersilahkan mereka berdua duduk. "Mau mengumpulkan formulir penjurusan ya? ".

Kedua siswi itu duduk di hadapan Bu Devi dengan hati-hati.

" Iya Bu ". Mereka bedua serentak menjawab Bu Devi serta menyerahkan selembar kertas formulir yang sudah mereka isi.

Bu Devi menerima formulir itu dengan senyum manisnya. Dibacanya isi formulir itu dengan teliti.

"Nilai Freya bagus, dapat peringkat 10 besar juga ya? " Ucap Bu Devi dengan ramah.

Freya hanya mengangguk dan tersenyum malu pada Bu Devi.

"Setelah lulus rencananya mau kuliah di mana? " Tanya Bu Devi dengan serius.

"Saya pingin jadi polisi Bu". Jawab Freya dengan mantap dan tegas. Freya memang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang polisi, karena itu dia belajar bela diri sejak dirinya masih di bangku sekolah dasar.

Mendengar jawaban Freya yang begitu semangat Bu Devi hanya tersenyum manis. Lantas meletakkan formulirnya di tumpukkan formulir siswa lain. Kali ini Bu Devi membaca dengan cermat formulir milik Alea.

Bu Devi memandang Alea dengan sedikit penasaran. "Kamu memilih jurusan social? " Tanya Bu Devi dengan lembut.

Alea sudah mengira akan mendapatkan berbagai pertanyaan atas pilihan jurusannya. "Benar Bu", jawab Lea.

"Boleh Ibu tau alasannya? ". Bu Devi mengajukan pertanyaan yang sama seperti Ibunya.

Lantas Alea mengulang jawaban yang sama seperti yang telah di ungkapkannya kepada Ibunya kemarin.

Bu Devi hanya menggut-manggut mendengarkan penjelasan Alea.

Beberapa saat Bu Devi hanya diam memandangi formulir penjurusan Alea. Dalam benaknya berkecamuk bagaimana dia harus menanggapi formulir dari murid terpandai disekolahnya itu.

"Semua jurusan memang baik, tapi kamu memiliki nilai sempurna di pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia". Bu Devi berbicara hati-hati dan selalu berusaha tidak menyinggung perasaan siswa-siswa nya.

"Pihak sekolah mungkin juga tidak akan setuju jika kamu masuk di jurusan social, karena sekolah membutuhkanmu untuk mengikuti olimpiade science mendatang". Jelas Bu Devi dengan ramah.

"Saya akan mewakili sekolah". Jawab Alea singkat.

Bu Devi sedikit terkejut dengan jawaban Alea.

"Meskipun saya di jurusan social, saya bersedia mewakili sekolah pada Olimpiade science". Tegas Alea.

"Jika kamu di jurusan social, kamu pasti akan tertinggal dengan materi pelajaran science dan itu kurang bagus untuk calon peserta Olimpiade science". Bu Devi berusaha menjelaskan posisi Alea jika tetap memilih jurusan social.

Alea hanya diam tak berani menjawab argumen Bu Devi kembali karena yang dikataknnya memang benar.

Freya yang sejak tadi mendengarkan perdebatan cukup serius antara Bu Devi dan Alea hanya duduk mematung.

Melihat Alea diam dan tak memberikan jawaban lagi, Bu Devi tersenyum manis.

"Baiklah, untuk masalah ini sebaiknya ibu membahasnya dengan Orang tua Lea saja".

Alea mengangguk dan setuju dengan usul Bu Devi.

Dua siswi itu kemudian pamit meninggalkan meja Bu Devi. Alea berjalan di depan, sedang Freya mengikutinya dari belakang. Saat mereka berada di lorong kelas, Freya tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Le, lo tunggu dulu di kantin ya, ada yang perlu gue omongin ke Bu Devi penting". Freya berbalik arah dan berlari kecil ke arah ruang guru lagi.

Alea hanya berdiri mematung melihat sahabatnya memutar arah tanpa sempat menanyakan alasannya. Namun tak ingin pusing memikirkan tingkah aneh sahabatnya itu, Alea melanjutkan langkahnya ke kantin.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!