Bab 14
Di Usir Dari Rumah Sendiri
"Bu Indah, berkas yang ini bagaimana?"
"Oh, yang ini langsung serahkan ke bagian divisi 2 nanti mereka yang arahkan selanjutnya gimana." Aku mengarahkan kepada anak magang yang ingin menyerahkan berkas laporan kerjanya.
"Baik Bu."
"Indah, kamu jadi ke lokasi siang nanti?"
"Sepertinya tidak jadi Ra, belum ada perintah lagi dari Pak Adam. Tadi mau turun jam 10, tapi katanya pending dulu."
"Oh begitu."
"Kenapa Ra?"
"Tidak apa-apa. Aku gabut aja disini kalau kamu ke lapangan."
"Heleh kamu bisa aja."
"Hehehe..."
Sedang asik bercanda dengan Rara, handphone ku berdering. Tertera nama Mbak Surti memanggil di sana. Aku sedikit gelisah, kenapa Mbak Surti tiba-tiba menelpon apalagi saat ini aku sedang berkerja.
"Kenapa tidak di angkat?" Rara bertanya dan menatap ku heran.
"Dari Mbak Surti, tetangga sebelah rumah. Ada apa ya?" Tanya ku bingung. Sungguh tidak biasanya Mbak Surti menelepon seperti ini.
"Lah, malah balik nanya. Coba angkat dulu, siapa tahu penting."
Aku mengangguk, menuruti saran Rara untuk mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum Mbak Surti."
"Waalaikumsalam Dek Indah. Maaf kalau Saya ganggu waktu bekerjanya."
"Tidak apa-apa Mbak, Saya sedang tidak sibuk sekarang. Ada apa ya Mbak?"
"Anu Dek Indah, saya lihat di teras itu ada dua koper tergeletak gitu. Dan tadi ada tukang sama Pak Heru. Kayaknya sedang ganti kunci rumah Dek Indah."
Deg, jantungku berdetak cepat hingga darahku mulai naik ke ubun-ubun. Sepertinya Mas Heru telah melakukan sesuatu di rumahku.
"Koper siapa Mbak?" Tanya ku memastikan.
"Saya tidak tahu juga. Yang jelas pintu sudah di kunci dari salam oleh Pak Heru dan... Emm...dan....."
"Pak Heru sama siapa Mbak?!" Tanyaku yang semakin dibuat penasaran dalam hati yang kalut.
"Itu Dek Indah, sama yang waktu itu."
Jedeeer!
Napasku mulai memburu karena jantung yang berdetak cepat dipacu oleh aliran darah yang terus naik ke kepala. Emosiku rasanya tidak dapat aku bendung lagi hingga aku ingin saat itu juga meninggalkan kantor dan kembali ke rumahku.
"Terima kasih atas informasinya Mbak. Kalau boleh Saya minta tolong, koper-koper itu di bawa ke rumah Mbak Surti dulu, karena kemungkinan dalam koper itu adalah barang-barang Saya."
"Bisa Dek. Setelah menutup telpon ini Saya langsung bawa ke rumah Saya."
"Terima kasih banyak Mbak. Pulang kerja Saya langsung mampir ke rumah Mbak Surti."
"Iya Dek Indah. Silahkan, pintu rumah Saya selalu terbuka untuk Dek Indah. Kalau begitu Saya segera ambil koper Dek Indah dulu. Assalamualaikum Dek Indah..."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..."
Aku langsung tersandar di kursiku. Kaki ini tiba-tiba lemas tak bertenaga dan mataku mulai mengembun.
Siksaan apalagi yang hendak Mas Heru berikan untukku. Tidak cukupnya dia memberi luka di hati ini. Haruskah dia menyiksa fisik ku juga dengan mengusir diriku secara tidak langsung seperti itu.
"Indah ada apa? Kenapa tetanggamu menelpon?"
Aku lupa ada Rara di sampingku yang sedari tadi menunggu untuk mendengar apa yang sedang terjadi. Sahabat ku itu nampak khawatir, apalagi air mata ini meleleh tanpa ijin dari ku.
"Ya Allah In, ada apa? Ceritakan padaku."
Rara semakin cemas dan bingung. Aku pun tak sanggup rasanya mengeluarkan isi hati hingga aku hanya memeluknya erat untuk bersandar sesaat atas sakit dan luka yang aku rasakan.
Rara membalas pelukan ku, mengelus punggung ku lembut seakan-akan tahu apa yang sedang aku rasakan dan seakan-akan ingin memberikan kekuatan agar aku tetap kuat.
"Kalau kamu merasa ini berat, kamu sebaiknya ijin pulang saja In. Bilang saja sedang tidak enak badan."
Sepertinya saran Rara ada benarnya. Apalagi setelah ini mungkin aku sudah tidak bisa masuk ke rumah ku sendiri. Dan sepertinya aku juga harus mencari tempat tinggal untuk sementara.
Aku mengangguk mengiyakan saran Rara. Lalu perlahan menghapus air mata yang meleleh di pipi.
"Mas Heru mengganti kunci rumahku. Lalu membuang koper ku di teras rumah."
"Astagfirullahaladzim, suami mu itu parah sekali Indah. Terus kamu bagaimana?"
"Entahlah Ra. Sepertinya aku harus mencari tempat tinggal sementara."
"Ya Tuhan, suami mu itu benar-benar tega ya. Aku sampai tidak habis pikir."
Aku tertunduk lemah, sesekali aku menghapus jejak air mata yang masih tersisa.
"Bagaimana jika sementara ini kamu tinggal di rumahku. Kita bisa berbagi kamar Indah, pasti menyenangkan bisa pergi dan pulang kerja bersama." Saran Rara yang tampak senang dengan idenya itu.
Aku menggeleng pelan. Aku tidak ingin memberatkan Rara dan keluarganya atas kehadiranku.
"Tidak Ra. Tidak etis rasanya aku tinggal di rumahmu. Apalagi aku ini wanita berstatus istri orang, tentu menjadi tanda tanya pada keluargamu, kenapa aku sampai tinggal di rumah kalian. Dan aku tidak ingin banyak orang tahu permasalahan rumah tanggaku." Tutur ku menolak halus agar Rara tidak tersinggung dan bisa memahami keinginanku.
"Terus gimana dong?"Tanya Rara yang tampak cemas dengan keadaanku.
Meski hati ini sedang bersedih, namun aku berusaha memberikan senyumku untuk sahabat ku itu. Sahabat yang senantiasa memikirkan kebaikanku.
"Malam ini aku bisa tidur di penginapan jika belum menemukan tempat tinggal, mungkin aku mencari kosan saja. "
"Perlu aku temani mencari kosan?"
"Terima kasih untuk niat baik mu itu Ra. Tapi aku tidak ingin kamu kesusahan gara-gara masalahku, apalagi sampai ijin dari kerja. Aku tidak apa-apa Ra, doakan saja yang terbaik untukku."
"Pasti In. Aku berharap kamu segera menemukan kebahagiaanmu."
Kembali kami berpelukan sebagai rasa persahabatan yang saling menyayangi satu sama lain.
Kemudian aku beranjak ke ruang atasanku meminta ijin untuk pulang lebih awal karena sedang tidak enak badan. Setelah mendapatkan ijin, aku pun mengambil tas ku dan pergi meninggalkan kantor.
Aku melamun sambil berkendara dengan motor maticku. Aku bingung kemana harus mencari rumah kos untuk tempat ku tinggal nanti.
Sepertinya aku butuh sesuatu untuk mendinginkan kepalaku. Aku pun menepikan motorku di sebuah cafe yang menjual desert dengan berbagai macam es krim.
Aku duduk di pojokan depan dengan panorama menghadap kejalan meski di balik sebuah kaca transparan. Semangkuk es krim dengan beraneka ragam toping tersaji indah di atas mejaku. Sengaja aku memesan es krim dengan porsi besar untuk menyenangkan hati ini.
Sesendok es krim perlahan masuk ke dalam mulutku dengan jari tangan yang terus men-scroll layar handphone. Aku membuka beberapa link yang menawarkan rumah kosan siap huni di dekat daerah tempatku bekerja.
Rumah dua lantai dengan banyaknya tanaman hias menarik perhatianku. Rumah itu berada di sebuah gang yang akses jalannya cukup besar hingga bisa di lalui oleh mobil. Aku berencana untuk melihat rumah kosan yang di promosikan dengan harga terjangkau itu.
Lalu aku men-scroll lagi layar gawaiku, mencari lagi kosan yang menarik bagiku. Aku harus punya beberapa pilihan agar aku bisa segera beralih jika kosan pertama tidak sesuai ekspektasi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Quen
Cewe bego padahal dia bisa nuntut si heru dengan banyak kasus perzinahan, perselingkuhan, nikah tanpa ijin dan penipuan kaga punya otak kah sampe ga kepikiran ke situ cuman bisanya nangis meratapi nasib ya udah iklasin ajah rumah sama si heru kalau ga mau ngelaporin si heru balik lagi kerumah gi biar jadi babu dan sapi perah keluarga si heru sama istrinya
2024-05-03
1
guntur 1609
laporkan ke kantor di.biar heru bermasalaj
2024-01-07
2
Rosnelli Sihombing S Rosnelli
Lho kau bilang suami kau pns kau bisa tuntut suamimu
2023-08-05
1