Bab 4
Keras Kepala
Wanita di luar sana mungkin bisa di madu, tapi aku tidak. Lebih baik aku mundur dari pada berbagi cinta dan tubuh suami pada wanita lain. Mengalami satu hari kemarin saja hati ku sudah hancur berderai tak berbentuk. Apalagi satu atap selamanya dengan mereka dan melihat pemandangan yang menyayat hati secara terus menerus. Tidak, aku tidak mau!
Masih saja Mas Heru tidak beranjak dari duduknya di sampingku. Sedangkan aku sudah tak ingin lagi berada dekat dengannya. Melihat kemarin dia bersama isteri sirinya sudah membuat aku ilfeel.
"Tok... tok..., permisi. Bu Indah sudah sadar?"
Seorang pria memakai jas putih masuk di ikuti beberapa perawat dan seorang lelaki berkemeja. Aku yakin yang berjas putih itu adalah dokter yang menanganiku.
"Ada keluhan Bu Indah?" Tanya Dokter itu dengan ramah dan semakin mendekat ke arah ranjang besi yang sedang aku gunakan.
"Kapan saya bisa keluar Dok?"
Bukannya menjawab apa yang aku rasakan, tapi aku malah ingin secepatnya bisa keluar dari sini. Aku ingin segera menjauh dari Mas Heru.
"Secepatnya, jika keadaan Bu Indah sudah stabil dan normal. Boleh saya periksa dulu Bu?"
"Silahkan Dok," Ujar Mas Heru menjawab dan berdiri dari tempatnya untuk memberi ruang bergerak bagi sang Dokter.
"Kalau begitu permisi ya Pak."
Dokter mulai memeriksa kesehatanku.
"Siapa yang membawa saya kesini Dokter? Saya ingin mengucapkan terima kasih padanya." Tanya ku di sela-sela pemeriksaan.
Aku mencoba mencari tahu bagaimana aku bisa sampai di rumah sakit ini. Sedangkan aku tahu gawaiku pada saat itu sengaja aku matikan agar tidak bisa di hubungi oleh Mas Heru.
"Untung saja, ada saudara Fandi yang menolong. Nyaris saja Bu Indah jatuh mengenai eskalator." Kata sang Dokter menjelaskan.
"Fandi?" Tanya ku bingung.
"Saya Fandi, Bu Indah."
Pria yang berkemeja itu memperkenalkan dirinya. Senyum ramah terukir di wajahnya.
"Maaf saya lancang mengunakan ponsel Bu Indah yang saat itu sedang mati. Karena saya harus menghubungi keluarga Bu Indah. Kebetulan suami Bu Indah menelpon jadi beliau langsung datang kemari." Jelas laki-laki yang bernama Fandi ini.
Jadi begitu rupanya. Pantas saja Mas Heru bisa ada disini. Lalu, di mana isteri sirinya? Apa wanita itu tahu Mas Heru menemuiku? Karena terakhir ku lihat ia tidak rela jika Mas Heru berhubungan denganku.
"Terima kasih sudah menolong saya. Semoga Allah membalas kebaikan anda." Kataku tulus.
"Aamiin. Kebetulan saja saya ada di dekat Bu Indah untuk cek in. Saat itu wajah Bu Indah memang sudah terlihat pucat. Jadi maaf, saya mengikuti Bu Indah karena firasat saya mengatakan Bu Indah kurang sehat. Dan ternyata benar."
"Terima kasih Tuan Fandi. Firasat memang terkadang tidak pernah salah." Ucapku melirik Mas Heru yang langsung menunduk.
Aku tahu Mas Heru paham dengan ucapanku hingga ia tertunduk setelah mendengar sindiran dari ku.
Setelah memeriksa dan mengatakan aku bisa pulang nanti sore, Dokter beserta perawat dan Tuan Fandi pun meninggalkan aku dan Mas Heru.
Sesaat keheningan tercipta sebelum gawai milik Mas Heru memecah kesunyian di antara kami. Mas Heru melihat layar gawainya kemudian melihat ke arahku. Setelah itu ia bangun dari duduknya dan menerima panggilan telepon itu di luar ruangan ini.
Aku tahu, itu pasti Wina yang menelepon karena raut wajah Mas Heru langsung berubah manakala melihat nama yang tertera disana.
Lihatlah, bagaimana kamu bisa adil Mas? Sedangkan menerima teleponnya saja kamu harus menjauh dari ku. Apa kamu takut isteri sirimu itu tahu kamu menemui ku?
Pecundang! Mulutmu saja yang berkoar-koar manis Mas, nyatanya kamu tidak bisa mengimbangi antara aku dan isteri sirimu itu. Batinku.
"Aku akan kembali lagi, tunggulah. Jangan keluar dari RS sendirian. Aku takut kamu kenapa-kenapa lagi." Ujar Mas Heru ketika selesai menelpon dan bersiap untuk pergi.
"Tidak usah repot Mas, aku bisa keluar sendiri."
"Tidak, tunggu aku! Kita akan pulang bersama kerumah dinasku nanti." Ucap Mas Heru dengan tatapan serius kepadaku.
Ya Tuhan, kenapa Mas Heru masih tidak paham juga atas perasaanku? Harus dengan kalimat yang bagaimana agar dia bisa mengerti dengan keinginanku.
"Untuk apa Mas? Apa belum cukup kamu torehkan luka di hatiku?"
"Mengertilah Indah, ini demi kebaikanmu. Tidak mungkin ku biarkan kamu seorang diri di luar sana."
Apa, demi kebaikan? Apa aku tidak salah dengar. Justru kembali kesana membuat luka hatiku kian bertambah. Kebaikan dari mana?
"Aku baik-baik saja tanpa kamu Mas! Aku tidak butuh perhatian dari mu!"
"Ngeyel! Lihat kamu sampai di bawa ke RS begini. Turunkan ego mu, apa salahnya tinggal satu atap dengan Wina, dia wanita baik-baik dan sangat pengertian."
"Kamu yang jangan egois Mas. Aku begini karena mu, karena ulah mu! Apa belum cukup dengan perkelahian kemarin? Apa harus menunggu sampai salah satu dari kami ada yang terluka dan berdarah?"
"Tidak perlu sampai adu fisik Indah. Coba lah bersikap dengan kepala dingin. Ini sudah terjadi, cobalah untuk menerima keadaan dengan ikhlas."
"Pandai sekali kamu berbicara Mas. Kamu tidak merasakan jadi aku, betapa sakitnya hatiku Mas. Aku harus bicara apa agar kamu paham dengan rasa sakit ini. Apa aku juga harus selingkuh agar kamu juga bisa merasakan sakit ini?" Ucap ku dengan dada turun naik dan napas menggebu-gebu.
"Hentikan Indah! Kamu jangan macam-macam!"
"Kenapa Mas? Perasaanmu sakit bukan? Ini baru perkataan, dan bukan perbuatan. Bagaimana bila kamu yang ada di posisiku, mendapati pasanganmu sudah menduakan cintamu Mas?!"
Mas Heru terdiam lalu tertunduk. Aku tahu ucapan ku ini menyentil hatinya.
"Jangan memaksaku menuruti keinginanmu itu Mas! Lepaskan saja aku, kita tidak mungkin bisa bersama lagi."
"Tidak, aku tidak mau!"
"Kenapa Mas? Haruskah sikap mu keras kepala seperti ini Mas? Yang akan kita jalani bukan lagi bahtera rumah tangga seperti dulu, sadarlah Mas."
"Kamu yang keras kepala Indah. Semua akan baik-baik saja, cobalah dulu."
"Tidak Mas! Berkali-kali aku sudah bilang aku tidak ingin di madu. Tolong tinggalkan aku!"
Aku membuang muka tak ingin menatap Mas Heru lagi. Percuma, sampai kapanpun aku mengeluh ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana perasaanku. Mudah baginya yang hanya sekedar bicara. Tapi sulit bagiku yang harus berhadapan dengan kenyataan.
Untuk apa menggenggam sesuatu yang tidak mungkin bisa di miliki. Jika tidak remuk bagai kertas maka akan terlepas seperti pasir. Apa Mas Heru tidak paham akan hal itu.
"Pokoknya aku akan kembali, dan kamu jangan kemana-mana sebelum aku datang!" Ucap Mas Heru kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan ruangan ku.
Oh Tuhan, bagaimana lagi aku harus menghadapi Mas Heru yang terus memaksakan keinginannya dan tidak peduli pada perasaanku. Baru aku tahu sifat keras kepala dan egois Mas Heru ternyata tersembunyi dengan baik selama ini. Aku begitu bodoh yang terbuai akan kata-kata manis yang selalu diucapkan olehnya.
Tidak, sebaiknya aku keluar dari RS ini lebih cepat sebelum Mas Heru datang.
Aku pun mencoba bangun dan hendak mancabut paksa selang infus yang masih tertancap di lengan ku.
"Bu Indah, sedang apa?"
Suara tuan Fandi sedikit mengejutkan diriku. Ia pun tampak terkejut melihat aku yang berusaha mencabut paksa jarum infus di tangan ku.
Kebetulan ada Tuan Fandi. Aku akan meminta bantuannya sekali lagi.
"Oh, tuan Fandi. Bisa bantu saya sekali lagi?" Pintaku penuh harap.
Tuan Fandi berjalan mendekat ke arah ranjangku. Baru ku sadari pria yang menolongku ini ternyata pria yang tampan dengan garis rahang yang tegas. Emosi yang menyelimuti hati karena kehadiran Mas Heru, membuatku tidak menyadari sekitar hingga tidak memperhatikan dengan jelas wajah lelaki yang ada di hadapanku ini.
"Ada apa Bu Indah, kenapa anda mencabut jarum infus di tangan anda?"
"Saya ingin keluar dari RS ini sekarang juga. Saya mau segera kembali ke Kalimantan." Ujar ku menatap laki-laki itu.
Tuan Fandi terlihat tidak nyaman. Tapi sorot matanya menatap kasihan padaku.
"Apa tidak apa-apa? Tunggulah sampai sore seperti yang Dokter sarankan."
"Tidak, tolong bantu saya. Saya ingin secepatnya meninggalkan kota ini. Please...."
Aku memohon dengan tatapan memelas.
Sejenak mata kami saling beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan oleh pria di hadapan ku ini. Yang jelas aku sangat berharap banyak darinya.
"Emm.. baiklah. Saya akan meminta perawat untuk melepaskan infus anda, dan mengurus administrasinya."
"Terima kasih Tuan, ini pakai lah.. untuk biaya saya selama di sini."
Aku menyodorkan amplop yang berisi sebulan gajiku untuk biaya rumah sakit ini.
"Tidak usah, biayanya pun tidak seberapa. Saya ikhlas." Tolaknya halus.
"Beruntung bertemu orang baik seperti Tuan Fandi. Semoga kebaikan Tuan di balas Allah dengan berlipat ganda."
"Aamiin..."
Senyum manis dan tulus terukir di wajah lelaki yang baru saja aku kenal ini. Sukurlah masih banyak orang baik di muka bumi ini yang mau menolong tanpa mengharapkan pamrih.
Keputusanku sudah bulat. Aku ingin segera pulang ke Kalimantan dan mengajukan gugatan cerai kepada Mas Heru.
Bersambung...
Note : jangan lupa untuk selalu like dan komen setiap bab ya, karena jejak kalian sangat berharga bagi Author. Terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
guntur 1609
otakmu tu taruh di dengkuk heru. mknya gk bs berfikiir
2024-01-07
2
Sulfia Nuriawati
suami model gt jgn percy bs brbh sesuai anginnya mw co dong kmn dr pd mati kering lbh bgs tggalkan
2023-10-22
1
Soraya
menurutku sih sblm bercerai laprin dl kekantor suaminya
2023-10-11
1