Bab 10
Di Bully Keluarga Suami
Keesokan harinya, aku mendatangi rumah mertuaku sesuai keinginannya kemarin. Sebenarnya aku sudah lelah, walau baru beberapa minggu tapi masalah ini benar-benar menguras hatiku hingga aku begitu lelah untuk menerima kebaikan yang di janjikan Mas Heru dan keluarganya.
"Assalamualaikum..."
Aku mengucapkan salam ketika hendak memasuki pintu rumah mertua yang memang sudah terbuka di siang itu.
"Waalaikumsalam. Datang juga kamu! Apa benar kamu mengusir Wina dan Heru kemarin? Orang datang dengan niat baik apa tidak bisa kamu menyambutnya dengan baik pula?"
Astagfirullah, baru juga satu langkah kaki ini mamasuki pintu rumah, Ibu mertua sudah menyambutku dengan kalimat yang mengharuskan aku mengelus dada. Walau bagaimana pun, orang tua ku selalu mengajarkan untuk selalu menghormati orang yang lebih tua. Aku pun mendekati Ibu mertua dan hendak mencium punggung tangannya. Namun dengan cepat Ibu mertua menarik tangannya kebelakang menandakan ia tidak mau di salami.
Seketika hatiku mencelos. Padahal dulu Ibu mertuaku tidak seperti ini. Perhatian dan kasih sayangnya mirip seperti Mas Heru. Dan sepertinya aku tahu sifat Mas Heru berasal dari mana. Mungkin sifat Ibu mertua ini menurun pada Mas Heru. Namun di balik sikap perhatian itu ada ada pisau yang bisa memberi luka tanpa bisa aku menduganya.
"Kamu belum menjawab pernyataan ku!"
"Bu, maaf. Jika perilaku Indah kemarin di rumah tidak membuat hati Ibu senang. Tapi Indah pun tidak menyukai kehadiran Mas Heru dengan istri mudanya di rumah Indah. Apalagi mereka tidak mempertimbangkan perasaan Indah."
"Rumah kamu? Itu rumah Heru, dia membelinya untuk tempat tinggal kalian. Jadi wajar jika dia memiliki keinginan meletakkan istri-istrinya di rumah itu!"
Sejak kapan Mas Heru membeli rumah itu? Rumah itu hanya berpindah nama karena Mas Heru ingin surat rumah atas namanya saja, bukan karena Mas Heru membelinya. Sepertinya Ibu mertua tidak mengetahui faktanya. Dan Mas Heru sudah berbohong pada keluarganya.
"Maaf Bu, rumah itu hadiah...."
"Indah..., kamu pasti lelah. Ayo, duduk dulu. Ratih buatkan Mbak mu teh anget." Ujar Mas Heru tiba-tiba kepada adik perempuannya hingga menghentikan apa yang ingin aku katakan kepada Ibu mertua.
Dengan perhatiannya Mas Heru merangkul bahuku dan menggiringku untuk duduk di Sofa di sampingnya. Bisa ku lihat sekilas wajah Wina cemberut menatapku.
"Lebih baik kalian hidup akur begini. Kamu Indah, kamu harus bisa menerima Wina sebagai adikmu. Anak yang akan Wina lahirkan nanti juga jadi anakmu."
"Bu..."
"Jangan suka memotong kalau orang tua sedang bicara. Apa Ibu dan Ayah mu tidak mengajarkan sopan santun?" Kata Ibu mertua.
Hatiku sakit mendengar Ibu dan Ayahku ku di bawa-bawa dalam urusan ini. Padahal Ibu dan Ayah ku sudah banyak membantu keluarga Mas Heru. Bukan aku mau mengungkit kebaikan yang sudah di beri, tapi keluarga Mas Heru seakan lupa bagaimana mereka mendatangi Ibu dan Ayah ketika mereka sedang menghadapi masalah keuangan.
Aku menghela napas panjang. Mau berdebat bagaimana pun aku yakin keluarga Mas Heru menganggap diri mereka tidak pernah salah. Dan apa pun yang mereka lakukan tetap saja aku yang salah di mata mereka.
Mungkin sebaiknya aku perjelas saja keinginanku. Mau bertahan dengan kondisi ini, aku sudah lelah.
"Bu maaf, mungkin saran yang baik menurut Ibu itu tidak dapat aku penuhi. Kedatangan ku kesini juga ingin memperjelas status ku dengan Mas Heru kedepannya."
"Apa maksud mu?" Tanya Ibu mertua.
"Indah jangan bilang kamu masih ngeyel dengan pendapat mu! Hentikan Indah. Dengar saran dari Ibuku. Pengalamannya banyak dan bisa mengatur kerukunan rumah sampai sekarang. Kamu harus mencontoh disitu!"
"Tapi Ibu tidak menghadapi situasi seperti diriku Mas, dan kamu tahu itu!" Sanggah ku.
"Apa bedanya Indah, kamu tinggal menuruti apa yang Ibu katakan begitu pula Wina." Ujar Mas Heru.
"Mas Aku sudah bilang berapa kali dan terus mengatakan hal yang sama. Apa kamu tidak mengerti juga? Aku tidak ingin berbagi suami. Dan kamu sudah mengkhianati ku Mas." Ucap ku dengan tatapan tajam ke Mas Heru. Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku dan bersiap untuk jatuh jika aku mengedipkan mataku.
"Maaf Bu, aku ingin bercerai dari Mas Heru dan Ibu sudah di bohongi anak sendiri. Rumah itu pemberian orang tuaku bukan belian Mas Heru. Permisi!" Kataku lagi, dan tanpa mengucapkan salam aku berlalu meninggalkan rumah itu sambil menangis.
Ibu Mas Heru tampak terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan. Bahkan istri siri Mas Heru pun menjadi tegang yang sebelumnya duduk manis memainkan kuku-kukunya yang panjang.
Serasa di keroyok jika aku berada di sana lebih lama. Ibu dan Mas Heru yang memiliki pemikiran yang sama, lalu Wina yang selalu menatapku sinis dan juga Ratih yang ikut-ikutan acuh kepadaku. Tidak akan ada orang yang peduli akan perasaan ku disana.
"Indah...!"
"Sudah Heru, jangan dikejar wanita tidak tahu diri itu."
Masih terdengar samar-samar ucapan Ibu mertua walau aku mulai beranjak jauh. Sungguh pedih hati ini melihat semua berubah hanya dalam sekejap mata.
Tanpa melihat ke belakang aku segera menaiki motor ku yang ku parkir di luar halaman. Dah melaju membelah jalan menuju pulang rumah ku. Air mata terus mengalir tanpa suara isak tangis dan terhapus sendiri oleh angin yang menerpa wajahku. Biar saja orang-orang memandang aneh diriku yang menangis di atas sepeda motor yang sedang melaju.
Berhenti di sebuah taman yang sedang kosong karena teriknya panas matahari, aku berjalan menghampiri bangku taman dan duduk di sana. Tak ku hiraukan sengatan matahari menerpa tubuhku. Aku hanya butuh sendiri saat ini.
"Neng, kok berjemur disini? Panas atuh, nanti kulitnya jadi coklat."
Seorang petugas kebersihan taman menyapa ku. Mungkin ia kasihan atau merasa aneh melihat aku yang duduk sendiri berpanas-panasan.
"Lagi pengen aja Pak." kilahku yang sedang tidak bersemangat.
"Oh ya sudah. Tapi di ujung sana ada tempat yang agak teduh. Itu di bawah pohon itu! Takutnya kepalanya neng bisa pusing kalau terlalu banyak berjemur." "Ujar si bapak sambil menunjuk ke arah yang di maksud.
"Terima kasih Pak. Kalau begitu saya akan kesana saja." kataku lalu menganggukkan kepala untuk menghargai saran si Bapak tadi.
Aku pun melangkah menuju bangku kosong di bawah pohon yang cukup rindang. Yah, tidak salah sang Bapak merekomendasikan bangku ini. Karena letaknya di bawah pohon suasana hatiku menjadi sedikit lebih tenang.
"Indah...?"
Suara seseorang mengalihkan perhatianku.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
guntur 1609
yg bodoh kau i dah. ngapain kau fatang..sdh tahu kau gak diterima
2024-01-07
3
Santa Maria
duh baca nya gemes,krn sm
2023-08-27
1
🍌 ᷢ ͩBening🍆
ealah ndah indah... apesmu dpt bojo kang ngibul.... laki cm pinter omong tp gk mutu.. asli pengen mites modelan laki kayak gni🙄🙄
2023-07-29
1