Bab 8
Tamu Tak Di Undang
Ingin ku remas mulut wanita yang telah mengambil suamiku itu. Semudah itu dia berkata, padahal dia juga wanita. Tidak kah dia merasa bersalah atau mengerti bagaimana sakitnya hati ini. Ya Tuhan, aku ingin segera mengusir keduanya dari rumahku. Jika bisa aku ingin mengirim mereka ke planet Mars biar tidak kembali lagi kesini.
Segara aku membawakan minuman ke ruang tamu agar lekas di minum dan mereka segera pergi dari rumahku.
"Mana jus permintaan Wina?" Tanya Mas Heru ketika melihat segelas kopi dan segelas teh yang kubawa di atas nampan.
"Aku tidak punya buah, silahkan beli di luar jika ingin minum jus," kataku.
"Mas aku lapar..." Ujar Wina datang-datang sambil mengusap perutnya.
"Kamu sudah lapar sayang? Sebentar lagi kita makan di luar ya."
"Aku maunya sekarang..., kita makan di sini aja yuk Mas! Tadi ku lihat di meja makan banyak lauk dan itu bikin aku ngiler. Mbak Indah pinter masak deh, kayaknya masakannya enak banget." Rengek Wina.
Oh Tuhan, apalagi ini? Jangan bilang mereka akan menikmati makanan yang sudah aku buat dengan sepenuh hati. Tidak kah mereka punya hati nurani sedikit saja. Aku sedari tadi sudah menunjukan ketidak sukaanku atas kehadiran mereka. Tapi kenapa mereka masih belum mau beranjak juga! Dimana urat malu mereka? Apa belum cukup luka yang mereka torehkan untukku? Tidak, ini tidak bisa di biarkan.
"Jangan sentuh makanan itu. Setelah minum silahkan kalian pergi dari rumahku. Aku masih banyak urusan jadi tidak bisa berlama-lama menerima tamu." Usir ku.
"Tamu? Kamu pikir kami ini tamu? Kami keluarga mu Indah. Wina madumu dan aku suamimu."
"Lalu kamu ingin aku menyambut baik kalian? Mas dimana hati nuranimu?! Aku sudah bilang ingin kita bercerai jadi lupakan keinginan mu yang tidak masuk akal itu."
"Kamu yang tidak masuk akal Indah. Aku selalu memperlakukan dirimu dengan baik, aku mencintai dan menyayangimu. Aku juga selalu memberikan perhatian untukmu. Lalu dimana kamu mengatakan aku tidak adil sebagian seorang suami. Kamu belum mencobanya untuk kita hidup bertiga serumah. Jika memang aku tidak adil maka kamu boleh menangis dan menggugat cerai."
Harus dengan kata-kata seperti apa lagi aku mengungkapkan perasaan ku yang tersakiti ini? Bagaimana aku menjelaskan rasa sakit yang aku rasakan ini? Aku tidak sanggup. Kenapa dibalik sikap manisnya terdapat sifat kepura-puraan dari Mas Heru. Aku tahu Mas Heru pasti menyadarinya. Tapi kenapa ia masih memaksakan dan beranggapan jika itu semua terbaik untukku.
Aku menangis. Bukan karena terharu akan kata-kata yang di ucapkan Mas Heru, tapi karena dada ini begitu sesak. Aku tidak sanggup untuk kembali berdebat yang tidak akan ada akhirnya ini.
"Keluar! KELUAR!!" Teriakku tak tahan lagi.
"Mas, aku takut..." Rengek Wina sambil mendekap lengan Mas Heru.
"Kamu tidak berhak mengusirku Indah. Ini rumah ku, atas namaku."
"Apa?! Mimpi kamu Mas, hiks... Ini rumah hadiah pernikahan dari orang tua ku. Dan kamu yang merayuku untuk menggunakan namamu. Hiks... Hiks..."
"Dan secara hukum rumah ini sah milikku!"
Kami saling menghunuskan tatapan tajam antara satu sama lain. Tak ku sangka makin kesini makin terlihat sifat asli Mas Heru. Aku yang bodoh dulu percaya dengan Mas Heru sepenuhnya, yang akhirnya menjadi bumerang untuk diri ku sendiri.
"Kamu mau aku usir atau terima keputusanku untuk tinggal bersama?!"
Mas Heru benar-benar sudah bukan Mas Heru yang dulu lagi. Aku tak berdaya menghadapi watak keras Mas Heru yang berbalut kelembutan.
"Keluar kamu Mas!"
Aku mencoba mendorong Mas Heru untuk keluar dari rumahku.
"Kamu bukan tandinganku Indah."
"Awww! Hiks.."
Dengan tanpa perasaan Mas Heru tega mendorong ku balik hingga aku jatuh terduduk. Dia dan Wina berlalu menuju meja makan dab duduk manis bersiap menyantap masakanku.
Begitu teganya Mas Heru membiarkan ku menangis di lantai sedang ia dan istri sirinya menikmati masakan yang sudah susah payah aku buat. Ini kah adil menurutnya?
Apalagi wanita itu, dengan tidak tahu malu suap-suapan di depan mataku, menghabiskan masakan yang aku buat tanpa menyisakannya. Sungguh prilaku mereka membuat ku sakit hati dan terluka.
Kutinggalkan mereka dan langsung masuk ke kamarku. Ku kunci pintu kamar dari dalam lalu merebahkan diriku di ranjang. Aku menangis, menangis karena hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.
"Indah!"
"Tok... Tok... Tok!"
"Indah buka pintunya In!"
Mas Heru terus mengetuk pintu kamar ku. Namun aku tidak peduli. Aku terus menangis sambil memelukku bantal guling ku. Berharap Mas Heru mau mengerti sedikit saja perasaan ku. Benar-benar aku tidak ingin melihat mereka. Hati ku sakit hingga tak bisa lagi dilukiskan dengan kata-kata.
"Besok Mas akan kembali ke Surabaya. Mas kembali hanya ingin mengenalkan Wina pada Ibu dan melihatkan rumah kita untuk kita tinggal bersama Wina kelak. Buka pintunya Indah, hargai suamimu ini!
Bagaimana aku bisa menghargai mu Mas, jika kamu sendiri meremehkan perasaanku.
"Mas ayo! Aku udah bosen nih disini. Kita kembali ke Hotel yuk, anak kita pengen rebahan nih."
Deg, mataku langsung terbuka mendengar apa yang barus saja Wina katakan. Anak? Jadi ternyata wanita itu sedang hamil.
"Baiklah sayang kita kembali ke Hotel. Indah, besok Mas akan kesini lagi. Kita bicara kan lagi sampai kamu bisa mengerti."
Sesak rasanya dada ini. Sampai air mata mengering pun Mas Heru masih tetap memaksakan keinginannya. Sepertinya aku sendiri yang harus mengurus perceraian ku. Baiklah jika Mas Heru begitu aku pun akan melakukan apa yang aku inginkan.
Tak terdengar lagi suara Mas Heru, dan suara langkah kakinya pun semakin menjauh. Aku mengusap air mata yang masih tersisa di bulu mata dan pipi ku. Perlahan ku buka pintu kamar untuk memastikan Mereka tidak ada lagi di rumah ini. Dan sukurlah mereka benar-benar telah pergi. Sepertinya aku harus segera mencari pengacara untuk mempermudah urusanku.
Biarlah aku yang mengalah. Mas Heru bukan yang terbaik untukku. Suami yang baik tidak akan melukai hati isterinya. Suami yang mencintai isterinya tidak akan berbagi hati dengan wanita yang lain.
Cukup sudah kisah cintaku untuk Mas Heru ku tutup sampai disini. Sekalipun hati ini masih menyimpan rasa cinta untuknya, tapi luka yang di berikan sama besarnya sehingga cinta itu melemah dengan sendirinya.
Ku tutup pintu rapat-rapat lalu mengambil gawaiku dan mencoba menghubungi Pak Sandi, pengacara yang biasa mengurus bila terjadi masalah di kantor tempat ku bekerja.
"Selamat siang, saya ingin membuat janji ketemu dengan Pak Sandi bisa?" Tanya ku melalui telpon genggam kepada sekretariat firma hukum itu.
"Siang Mbak, maaf atas nama siapa?"
"Indah Pertiwi."
"Oke, sebentar ya Mbak."
Sekitar 2 menit aku menunggu sekretaris itu memeriksa jadwal Pak Sandi.
"Bisa Mbak. Pak Sandi ada di kantor setelah jam makan siang sekitar jam 2an. Setelah itu jam 3 beliau ada janji ketemu klien lain."
"Baik Mbak, kalau begitu bisa daftarkan saya di jam 2 nanti?"
"Bisa Mbak. Akan saya sampaikan. Dan Mbak mau ketemu dimana ya?"
"Dikantor sekretariat aja Mbak."
"Baik kalau begitu."
"Terima kasih Mbak."
"Terima kasih kembali Mbak. Selamat siang."
Ku lihat jam dinding sudah menunjukan pukul 10.10 Wib. Aku pun bergegas untuk ketemu Pak Sandi. Namun sebelum itu aku terpaksa harus membereskan meja makan bekas mereka. Sakit hati melihat semua lauk habis tak bersisa. Tapi mau tidak mau pun aku harus mengerjakannya.
Setelah selesai beres-beres, pintu ku tutup rapat dan ku kunci. Aku bersiap menaiki motor matiku menuju kantor pengacara.
"Mau kemana kamu!"
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
🍌 ᷢ ͩBening🍆
yah kecerobohanmu indah.. rumah pemberian ortumu kamu atas namakan si kampret itu.. rela gk rela klo kamu y hrs kasih krn y secara hukum si kampret itu pemiliknya..
2023-07-29
1
𝐫𝐢𝐧𝐝𝐮°•∂υσ кαℓєм࿐•
kok ikutan kesel ya 😐
2023-07-28
0
Lq6
Pen ku getok
2023-07-16
0