Bab 12
Bersama Rara
Masih ada waktu sebelum pulang kerumah. Rasanya aku ingin hangout sebentar bersama Rara. Dan aku ingin bercerita sedikit mengenai kejadian tadi di dalam mobil. Akupun mengambil gawaiku dan menelpon sahabatku Rara.
"Assalamualaikum Ra..."
"Waalaikumsalam..."
"Kamu dimana Ra, apa masih di kantor?"
"Baru aja mau pesan ojol nih. Kenapa In?"
"Nongkrong sebentar yuk, masih ada waktu 2 jam. Sebelum maghrib."
"Yuk! Dimana?"
"Tempat biasa ya."
"Oke beb, aku kesana sekarang."
Panggilan telepon pun aku tutup. Kami sudah biasa ketemuan di sebuah kafe di jalan Merdeka yang sepi dari pengunjung, padahal minuman dan makanan disini lumayan enak dan tidak terlalu mahal. Suasananya pun tenang dan terkesan santai.
Hanya menunggu 15 menit, Rara sudah terlihat turun dari ojol yang mengantar dirinya ke kafe ini.
Ia langsung menuju ke meja di mana aku sedang berada.
"Gimana tadi survei lapangannya?" Tanya Rara tersenyum yang sepertinya sudah tahu apa yang akan aku ceritakan padanya.
"Haah, bener katamu. Pak Dahlan mencoba merayuku." Ujar ku.
"Tuh kan, apa aku bilang. Terus gimana?" Tanya Rara.
"Ya aku tolak lah. Kamu kan tahu aku paling anti yang begituan. Kalau pun terpaksa harus selingkuh masa iya pilihan ku pada Pak botak itu!" Ujar ku sedikit meledek atasanku.
"Hahahaha....bener bener bener. Tidak sadar diri tuh orang! Di kira semua cewek itu matre apa. Terus kamu langsung misahin diri ke sini kan?" Tanya Rara.
"Iya lah. Masa iya aku bertahan satu mobil dengan buaya-buaya itu. Oh ya, minuman mu sudah aku pesanin. Es capucino kan, apa mau makan sekalian?"
"Masih kenyang aku. Pesan kentang goreng aja, sama dessert apa yang ada?"
"Nih, coba kamu pilih deh. Aku sekalian ya Onion Crispy juga boleh."
"Oke..."
Rara memanggil pelayan lalu memesan makanan ringan yang kami inginkan. Sambil menunggu makanan datang, kami pun mengobrol kembali. Dan aku sedari kemarin sudah ingin bercerita kepada sahabatku ini tentang pengkhianatan yang di lakukan Mas Heru terhadap ku.
"Kamu benar Ra, aku terlalu percaya sama Mas Heru." Ucap ku pelan ketika makanan kami telah habis.
"Maksud mu? Tunggu, apa ini ada kaitannya dengan perjalananmu bertemu suamimu kemarin?" Tanya Rara memastikan.
Aku mengangguk.
"Terus gimana?" Rara kembali bertanya dengan antusias.
"Kamu benar, tidak seharusnya aku percaya pada lelaki itu."
"Suami mu? Apa dia disana...."
"Iya. Tidak hanya selingkuh, dia bahkan sudah menikahi wanita itu secara siri." Kataku memotong kalimat Rara yang sepertinya dia enggan melanjutkan kalimatnya.
"Ya Tuhan..." Ucap Rara terkejut sambil menutup mulutnya.
"Dia memintaku untuk tinggal bersamanya dan isteri mudanya itu."
"Dasar sampah! Aku sudah curiga kemungkinan selingkuh itu pasti ada. Tapi aku tidak menyangka dia sampai menikah lagi. Terus kamu mau?"
Rara terlihat berang mendengar cerita ku tentang Mas Heru.
"Sudah gila apa aku?! Tentu saja aku menolak! Aku tidak sudi berbagi suami. Bahkan aku memutuskan untuk bercerai dengannya."
"Bagus, aku setuju. Bukan aku membenarkan perceraian, tapi menurut ku kamu pantas bahagia tapi tidak dengan lelaki seperti suamimu. Banyak yang tampan, kaya dan mereka bisa setia terhadap pasanganya. Semua itu tergantung dari diri pribadi masing-masing."
"Tapi, aku tidak yakin Mas Heru mau melepaskan ku begitu saja."
"Kenapa?"
"Entahlah, baik Mas Heru maupun Ibu mertua masih berusaha untuk tidak melepaskan aku."
"Serius?! Itu berarti masih ada rasa sayang untukmu di hati mereka."
"Aku tidak merasakan kasih sayang itu walau mereka mengucapkannya. Batin ku berkata itu hanyalah sandiwara."
"Tapi kulihat kehidupan keluarga kalian cukup nyaman Indah. Apa kamu tidak mencoba untuk bersama? Biasanya kehidupan orang yang punya istri lebih dari satu itu terkendala oleh ekonomi hingga memaksa mereka untuk tidak berlaku adil. Tapi sepertinya keluarga suamimu berkecukupan. Mungkin berjalan seiringnya waktu perhatian dan kasih sayangnya akan adil untuk kalian berdua. Bisa saja kan dia tidak adil saat ini karena sedang hangat-hangatnya." Ujar Rara menyarankan.
Aku tidak ingin menjelekkan keluarga Mas Heru dengan kebenaran yang ada. Mereka memang tampak hangat di pandang orang. Tapi mereka pandai menutupi kekurangan mereka. Waktu itu mereka pernah meminjam uang kepada orang tuaku untuk menyekolahkan lagi Mas Heru serta membayar biaya kuliah adiknya. Dan itu tidak sedikit sampai-sampai Ayahku harus menjual tanahnya. Mas Heru sendiri tulang punggung keluarganya. Kakaknya sudah menikah dan suaminya bekerja sebagai buruh di pabrik. Jadi mereka tidak bisa membantu keuangan keluarga Mas Heru. Sedang Bapak Mas Heru sudah lama meninggal.
"Tidak. Aku tidak ingin mencoba yang nyata terlihat sakit untuk aku lalui."
"Lalu bagaimana?"
"Entahlah. Aku berpikir mereka tidak ingin melepaskan ku karena tersangkut urusan materi."
"Kenapa bisa begitu?"
"Mas Heru dan Ibunya memiliki hutang kepada Ayahku. Entah mereka ingin mengembalikan atau tidak. Mungkin berpikir karena aku istri Mas Heru jadi uang itu milik Mas Heru bararti milik mereka juga."
"Ya tidak bisa seperti itu dong. Itu kan hutang kepada orang tuamu. Aku kira selama ini keluarga suami mu itu orang yang berkecukupan malah bisa di bilang lebih." Kata Rara seolah-olah tak percaya dengan kenyataan yang baru saja aku ceritakan.
"Gaya mereka memang tinggi. Mereka yang menikmati gaji Mas Heru sepenuhnya. Aku hidup dengan gaji yang aku terima setiap bulannya dari jerih payah ku sendiri. Bahkan Bapakku masih mentransfer uang buat ku tanpa sepengetahuan ku. Aku selalu menerima notif dari aplikasi walau aku terus menolak, Bapak akan tetap mengirim." Tuturku.
"Astaga...! Jadi selama ini kamu tidak di nafkahi?"
Aku menggeleng karena benar selama ini aku tidak menerima uang bulanan dari Mas Heru.
"Aku lupa seharusnya Mas Heru memang harus memberiku nafkah semampunya. Tapi karena aku yang memiliki gaji dan selalu memakai uang ku sendiri, Mas Heru jadi terbiasa tidak memberi ku nafkah lahirnya."
"Suami mu itu memang kebangetan ya. Jangan sampai suami mu tahu tentang uang kiriman itu! Bisa-bisa uang itu di pinta olehnya juga."
"Tidak. Uang itu aman di sebuah rekening yang tidak pernah aku tunjukan kepada Mas Heru." Tuturku.
"Bagus! Aku tidak menyangka dibalik rumah tangga mu yang terkesan harmonis ada persoalan yang rumit seperti itu." Kata Rara yang terlihat iba menatapku. "Cerita saja padaku jika kamu butuh teman untuk berbagi, aku siap kapan saja." Katanya lagi.
Rara meraih tanganku dan menggenggamnya seakan ingin memberikan kekuatan untuk tatap sabar.
Aku menghela napas panjang dan tersenyum kepada Rara yang sudah mau menjadi tempat ku berkeluh kesah.
"Tidak semua yang kita lihat bagus di luar bagus juga di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, yang terlihat buruk ternyata memiliki keindahan didalamnya. Atau bisa saja keadaan sesuai dengan apa yang sudah terlihat di depan mata." Kataku.
"Bagaimana jika mereka membiarkan kamu berpisah dengan suamimu tetapi tidak membayar hutang mereka?"
"Aku tetap memilih berpisah. Soal hutang, bisa di serahkan kepada hukum yang mengaturnya."
"Kamu benar. Btw, cantik tidak madu mu itu? Hehehe..."
Aku langsung melirik tajam mendengar pertanyaan yang baru saja di lontarkan Rara.
"Ck, kamu meledek ku ya?! Bagiku ku percuma memiliki wajah cantik tapi merebut milik orang lain."
"Sabar beb, aku yakin kelak kamu akan menemukan kebahagiaan mu sendiri. Sudah yuk kita pulang, ntar maghrib di jalan lagi."
"Ya sudah, yuk!"
Aku membayar makanan dan minuman pesanan kami. Lalu berpisah dengan Rara di parkiran menuju rumah masing-masing.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
guntur 1609
krn heru lny misi tk mengeruk hartamu nanti indah
2024-01-07
1
Sulfia Nuriawati
ini slh kaprah, wlw istri bekerja tp ttp nafkah lahir hrs d kasi, ni model laki kyk gn hrs d karungin buang k laut g pny otak, g pny malu kalo g mampu jgn pny 2 istri ssh sendiri ntar
2023-10-22
1
S
hahaha...pantesan ternyata yg bucin di sini Indah to.
2023-08-02
2