Luapan hati di atas sajadah membawa Airin dalam rasa lelap hingga sampai tertidur pulas. Melewati malam yang melelahkan.
Krekkk ... Krekkk ...,
Suara gaduh di luar pintu, membangunkan Airin dari tidur. Perlahan membuka mata dengan sayup-sayup di ikuti dengan nafasnya yang berat. Airin berjalan membuka pintu sejengkal, melihat apa yang sedang orang kerjakan pagi buta seperti ini.
Seorang Pria muda menoleh, pandangannya tertuju kepada Airin yang membuka pintu. Sedikit celah membuat keduanya saling menatap dan bertegur sapa dengan senyuman. Suara lakban decitan berhenti, Airin melihat beberapa dus di depan kamarnya, sedang orang yang di hadapannya menutupnya rapat dengan lakban. Tidak ada obrolan, hanya menatap satu sama lain, lalu pandangan pria itu kembali mengurus pekerjaannya.
Airin kembali menutup pintu kamarnya, melepas charger hape dari kontaknya. Melihat masih pukul 3 pagi, Airin melipat sajadah yang tergelar di lantai.
Matanya kembali menatap layar ponsel, mencoba menjelajah ke media sosial untuk mencari pekerjaan dengan mengandalkan ijazah SMP yang di miliki. Beberapa postingan lowongan pekerjaan di toko di screenshot satu persatu. Berharap ada satu toko yang bisa mempekerjakan wanita muda yang hamil.
2 jam masih betah menatap layar ponsel, hingga suara adzan subuh terdengar baru menyadarkan Airin untuk bergegas mandi dan menjalankan sholat subuh.
'Aku pasti bisa!' batin Airin keras, menyemangati dirinya untuk bisa melewati hidup baru.
Selepas mandi dan sholat, Airin keluar dari kos untuk berbelanja ke pasar. Membeli beberapa bahan makanan, dan juga kompor serta peralatan lainnya untuk di gunakan sehari-hari. Berjalan menikmati udara sejuk pagi hari di kota Bandung, Pasar Kosambi sudah terlihat di depan matanya. Beberapa pedagang menggelar dagangannya di sepanjang jalan setapak bahkan sebelum memasuki pasar.
Memilih beberapa mangkuk dan gelas plastik di pinggir jalan dengan harga murah, lima ribu tiga. Beberapa orang berdesakan sampai sesak dan si penjual hingga tidak terlihat. Lalu beralih masuk kedalam pasar untuk membeli kompor dan gas, setelah itu dengan tubuh sempoyongan karena berat, Airin menyempatkan mampir sekalian membeli beberapa sayur dan bumbu dapur untuk di olah.
"Becak, teh?" Ujar seorang pria berdiri di depan Airin dengan handuk kecil di bahu.
Airin diam sejenak, memikirkannya.
"Tidak bang," Jawab Airin, setelah memikirkan arti mengirit kali ini. Airin berlenggang pergi dengan nafas yang berat lalu berhenti ketika sudah tidak ada tenaga lagi, duduk menepi lalu melanjutkan perjalanan lagi menuju kosnya yang berada di jalan cipaera.
Nafas mulai lega ketika, sudah melihat pagar kos. Airin menarik kedua pundaknya lagi membawa gas elpiji 3 kg dan plastik hitam berisi sayuran di tangan kanan, sedang tangan di sisi kiri membawa kompor dan 1 botol air mineral 1 liter.
Menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua, sambil sesaat menahan nafas lalu di kempiskan setelah berada di ujung anak tangga.
"Astaghfirullah," Gumam Airin, lalu menurunkan gas dan plastik, meninggalkannya sebentar untuk menaruh kompor dan air botol di kamar, lalu kembali lagi mengangkat gas dan plastik.
Airin tergeletak di lantai sambil berusaha bernafas, membuat diafragmanya terangkat, mengembang sempurna lalu mengempis. Airin menyeka keringat di kening, lalu menendang pintu yang ada di depan kakinya perlahan hingga tertutup, karna tidak ada lagi tenaga untuk bangkit.
Airin mengambil ponsel di saku, menatap layar ponsel dengan kesedihan karena orang tuanya tidak meneleponnya lagi, kakaknya Ikmal juga tidak terlihat menaruh peduli lagi dengan Airin.
Airin berusaha menepis kesepian, bangkit dan memasang kompor dan gas. Setelah itu keluar dari kamar untuk turun dan kembali ke toko membeli beras.
"Anak baru?" ujar seorang wanita muda yang ramah menunjuk ke arah Airin.
Airin mengangguk dan juga membalas senyum wanita muda itu.
"Aku Milea, aku tinggal di lantai 3. Kamu masih muda banget, anak kuliahan ya?" Ujar Wanita bernama Milea yang ingin memulai keakraban.
" Tidak, aku ... aku hanya tinggal dan mencari pekerjaan saja disini," Sahut Airin, tertunduk canggung.
"Oh, di toko depan kan ada lowongan tuh. Toko sepatu yang berada di pinggir jalan, aku kerja di sana kok ... mau aku kenalin sama yang punya?" Ucap Milea, sambil menunjuk ke arah jalan raya yang baru saja Airin lewati.
"Boleh teh, mau saya," Jawab Airin, menatap kembali Milea dengan senyum yang mengembang.
"Ya sudah nanti jam 9, aku tunggu di sini!" Ucap Milea dengan ramah, lalu berlenggang pergi menaiki tangga. Sedang Airin masih tertegun menatap kecantikan Milea meskipun hanya terlihat bayangannya saja yang perlahan pergi.
Setelah tak terlihat lagi, Airin bergegas berlari pergi ke toko sembako dan membeli beras sesuai dengan niatnya semula.
Huh ... huh ... huh ....
Airin meniup keningnya, hingga bagian jilbab atasnya melayang-layang. Ruangan kamarnya sangat pengap ketika sayur yang mendidih meletup-letup. Padahal pintu sudah di bukanya lebar, namun panas dari uap masih mengepul di dalam ruangan.
Setelah masakannya selesai, Airin duduk dan menyantap sarapannya. Air mata perlahan jatuh di piring, mengingat ini pertama kalinya sarapan tanpa di temani Ibu, Ayah dan Kakaknya. Biasanya setiap pagi, Airin dan Ibunya memasak bersama untuk keluarga, setelah terhidang, berbaris di meja makan Ayah dan Kakaknya keluar dari kamar, sambil memberikan pujian terhadap masakan Airin, lalu di akhiri dengan candaan dan doa bersama sebelum makan.
Tawa itu hanya kenangan, dan pujian itu tak mungkin lagi terdengar di telinga. Airin memasukkan satu pukul nasi dan sayur masuk ke dalam mulutnya, dengan hati yang bergetar. Kesepian itu terasa amat sangat, meskipun baru dua hari berkelana pergi dari rumah.
Nasi yang hangat itu berubah menjadi dingin, ketika beberapa kali hanya sibuk menyeka air mata daripada makan. Sayur juga terasa hambar karena tidak tersentuh garam yang biasanya di taburkan dari jari lentik Ibunya.
Semangat membara untuk hidup meninggalkan keluarga dan teman-temannya kali ini kembali goyah, ada keinginan besar Inging kembali pulang dan menemui Angga. Namun, setelah mendapatkan pesan ancaman dari Mona, Airin kembali menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menyeka air matanya.
'Apa kau sudah menggugurkannya? tolong jangan buat aku menderita. Bagaimana dengan Ayah dan Ibuku? Mereka akan benar-benar sedih jika hubunganku dan Angga berakhir. Bukankah kau bilang keluargaku keluargamu juga, gugurkan dan kembalilah. Aku akan memaafkan kalian, dan tidak menganggap kesalahan itu terjadi. Kau ingin aku menderita dan gila, jika kamu kembali mengabarkan itu pada Angga.' Isi pesan chat dari Mona, yang membuat Airin semakin tersiksa dan kalah.
Airin tidak membalasnya dan lebih memilih memblokir nomor Mona dari kontaknya. Namun, hatinya berdegup kencang ketika panggilan seseorang yang dirindukannya meneleponnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments