Ibunya yang terkejut dengan kalimat yang baru saja anaknya utarakan, langsung menjatuhkan sendok ketika sedang mencicipi masakan.
Ibunya menoleh, lalu mendorong pundak Airin.
"Jangan bercanda, dek!" ujar Ibunya.
Airin terdiam dan tertunduk, menarik kursi meminta Ibunya untuk duduk.
"Ibuk, Airin bingung," keluh Airin, lalu berlutut di depan Ibunya yang duduk di kursi. Ririn meraih tangan Ibunya, berharap pengampunan. Namun, Ibunya masih menganggap hal itu hanya candaan belaka.
"Udah jangan aneh-aneh! Ganti seragam dan makan!" gertak Ibunya, mencoba bangkit dari kursi. Airin berusia menahan dan tetap membuat Ibunya terduduk. Dengan derai air mata, Airin mencium tangan Ibunya di dalam pangkuan.
Kali ini Ibunya menangkis sentuhan Airin, ketika menatap putri bungsunya yang terlihat bersungguh-sungguh mengatakan hal yang hina ini.
Air mata yang keluar dari kepedihan seorang Ibu yang menyadari ketidak mampuannya untuk menjaga putri bungsunya. Perlahan turun tanpa jeda, menyekanya berulang kali namun masih gagal untuk menahannya.
"Matikan kompornya!" ucap Ibunya memerintah ketika mendengar suara letupan sayur yang matang dari panci. Airin bangkit dan melakukan perintah Ibunya.
Ceklek ....,
Setelah api itu padam, Ibunya bangkit dari kursi. Pergi menghindari Ririn dan memilih berdiam diri di dalam kamar. Menenangkan batinnya yang tengah risau, antara sedih, bingung, marah dan juga tidak tega terhadap kemalangan yang di sengaja di perbuat oleh putrinya.
"Buk," ucap Ririn, mengetuk pintu kamar Ibunya.
Airin berdiri di depan pintu dengan wajah memerah, mata sembab dan juga bertahan dengan air mata yang tak bisa di kendalikan untuk berhenti sejenak.
Bruakkk ..., Ibunya membuka pintu.
Airin masuk ke dalam dan langsung mengikuti langkah Ibunya. Ibunya bergegas segera mengunci pintu, menarik tangan Airin untuk membahas tentang hal serius ini. .
"Siapa Ayahnya, dek?" tanya Ibunya lirih.
Ririn menyeka air matanya untuk mendapatkan pandangan yang jelas di lihat.
"Teman ... kelas Airin, Buk." jawab Airin.
"Astaghfirullah, dek. Setan apa yang merasuki mu sampai berbuat sejauh itu. Bagaimana jika Ayahmu tahu? bukan hanya kamu yang akan di telan hidup-hidup oleh Ayahmu. Tapi Ibuk juga pasti akan di salahkan karena salah mendidik mu. Lalu, mas mu pasti juga akan marah besar. Tega sekali kami dek, buat Ibu risau seperti ini," Ungkap Ibunya sambil mondar-mandir di depan Airin yang sedang duduk.
Airin hanya dapat tertunduk dan tak berani menyanggah kemarahan Ibunya.
"Siapa temanmu itu! katakan pada Ibuk!" gertak Ibunya dengan nada lirih, takut jika Anak tertua atau Suaminya tiba-tiba pulang dan mendengar.
"Pacarnya Mona, buk." jawab Airin.
"Astaghfirullah, Pacarnya Mona. Astaghfirullah, bisa-bisanya kamu melakukan itu pada Mona temanmu dan juga sudah Ibu anggap sebagai keluarga kita. Ibu rasanya ingin menelanmu!" gertak Ibunya, sambil mencubiti pundak dan punggung Airin. Airin hanya bisa pasrah mendapatkan kesakitan itu.
Sesaat Ibunya terdiam, menarik nafas mencari ketenangan dan mencari solusi untuk masalah yang sedang di hadapi Airin.
"Pria itu tahu jika kau hamil?" tanya Ibunya. Ririn menggelengkan kepalanya dengan tenang, sambil matanya menatap Ibunya.
"Kenapa kamu tidak katakan?" tanya Ibunya dengan nada gertakan.
"Airin bingung harus berkata kepada Mona juga bagaimana, buk. Airin hanya masih mengatakan hal ini kepada Ibuk, karena Airin bingung dan panik." jawab Airin.
Ibunya berdecak kesal, dan memukul punggung Airin dengan kepalan tangan berulang kali, hingga Airin mencoba menghindar pada akhirnya.
"Ibuk bisa gila mikirin ini, belum kelar mikirin pernikahan kakakmu yang sebulan lagi akan datang, sekarang juga mikirin kamu yang hamil," gerutu Ibunya.
Bruakkk ...,
Ayahnya yang diam-diam menguping pembicaraan istri dan anak gadisnya dari balik pintu langsung terkejut dan mendobrak pintu. Ririn dan Ibunya juga sama kagetnya dengan kedatangan Ayahnya tiba-tiba.
"Hamil!" teriak Ayahnya, lalu melempar peci ke muka Airin secara reflek.
Ibunya mundur dan keluar dari kamar, kali ini membiarkan sang kepala rumah tangga menyelesaikan masalah putrinya.
"Kamu sudah tidak waras, Astagfirullah ..., Airin. Innalilahi wa innailaihi rojiun," ungkap Ayahnya, berkacak pinggang di depan muka Airin. Airin mendongak sebentar lalu kembali tertunduk.
"Airin kamu bikin malu saja! Siapa Ayah anak yang kau kandung?" teriak Ayahnya.
"Angga, yah. Teman Airin," sahut Airin lirih.
Plakk ...,
Satu tamparan melayang di pipi kanan Airin, hingga membuat Airin jatuh terkapar karena tak mampu menopang dirinya ketika mendapatkan tamparan keras dari Ayahnya.
Airin masih tertunduk dengan linangan air mata yang membasahi baju seragamnya. Airin mencoba bangkit dan duduk kembali, sambil memegang pipi kanannya yang kesakitan.
"Dasar bodoh, anak tidak tahu diri, anak bikin aib saja keluarga. Sudah tahu Ayahnya adalah kepala desa ... Apa kata orang jika mereka tahu kamu hamil? Bikin malu saja!" gertak Ayahnya tanpa jeda sambil matanya menatap Airin dengan tajam.
"Siapa pria itu! bawa kesini, sekarang!" teriak Ayahnya sampai memekik di telinga.
"Airin ... tak ... kut yah," sahut Airin dengan terbata-bata.
"Pergi! bawa pria itu kemari! jika tidak, jangan pernah kembali lagi kerumah ini!" gertak Ayahnya, lalu menarik tangan Airin keluar dari pintu kamar hingga membuat Airin tersungkur.
Airin masih bergeming duduk di lantai, dengan pikiran yang carut-marut. Tidak ada keberanian untuk datang di depan keluarga Angga sendirian untuk membahas hal ini.
Airin menoleh ke belakang, melihat Ibunya yang menatapnya dari kejauhan lalu berpaling muka seakan juga tak mau ikut campur jika sudah Ayahnya marah. Airin sudah berada di satu titik mengungkapkan kejujuran kepada orang tuanya, namun sekarang harus berpikir ke dua hal lainnya. Yaitu jujur dengan Mona sahabatnya dan mengatakan kehamilan ini pada Angga secara terang-terangan.
Airin bangkit, berjalan dengan terhuyung-huyung ke kamarnya. Pikiran dan batinnya carut-marut. Raganya terombang-ambing dalam kehinaan, jujur dengan orang tuanya tidak mengurangi kerisauannya malah menambah rasa kalut.
Mengurung diri di dalam kamar adalah hal yang bisa di lakukan untuk gadis hina yang sudah merusak kepercayaan dan martabat orang tuanya, itu saat ini Airin lakukan.
Matanya menatap sekeliling sudut kamar, melihat satu persatu buku pelajaran tersusun rapi di meja. Alat tulis barunya juga masih bergeletakan di meja belum sempat Airin tata.
"Apa aku bunuh diri saja biar semua masalahku hilang?" Tanya Airin berperang dengan batinnya, lalu di akhiri dengan Isak tangis.
'Jika Angga tahu, Apa dia akan menikahiku?' tanya Airin kembali pada batinnya, mencari jawabannya sendiri karena takut untuk menerima kenyataan dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Satu, harus menanggung malu jika harus bertemu dengan orang tua Angga dan berterus terang jika dirinya butuh pengakuan jika anak yang di kandungnya adalah anak Angga.
Dua, Bagaimana jika Angga tidak mengakui hubungan satu malam itu yang membuahkan anak di perut Airin. Karena mereka tidak pernah terjalin hubungan serius sebelumnya.
Tiga, Memikirkan cara untuk bisa mengatakan kabar ini kepada Mona. Mona Sahabat Airin dan juga masih menjadi pacar Angga, akankah Mona akan memaafkan Airin dengan kehinaan ini?
Tiga hal yang saat ini berterbangan bagaikan kunang-kunang di kepala Airin. Nafasnya berat, langkahnya juga berat.
Airin mengepalkan tangan dan memukul perutnya berulang kali, menangis sepanjang malam karena tidak menemukan titik di mana harus memulai mengurus masalah pelik ini.
Semua impian yang terlukis di pikiran selama bertahun-tahun untuk bisa masuk ke Universitas Negeri hingga sarjana tingkat 1, lalu melanjutkan S2 di Oxford harus kandas hanya karena tatapan mata dari Angga yang meluluhkan hatinya hingga mau merelakan kesuciannya untu Pria yang seharusnya cukup dia sukai diam-diam.
Sudah 3 tahun memendam rasa suka pada pria milik sahabatnya. Padahal sudah berhasil berjalan sejauh ini hanya untuk merasakan cinta sendiri, dan harapannya setelah lulus tidak akan bertemu lagi dengan Angga, lalu dengan berjalannya waktu Airin berpikir juga akan melupakan Angga.
Takdir berkata lain, saat ini benih cinta sembunyi itu berada di dalam tubuhnya. Darah yang sama dari Angga mengalir ke tubuh bayi yang kemungkinan berusia 8 Minggu, setelah Airin mencoba mengira dari hari terakhir haidnya.
Airin meringkuk di dalam kamar semalaman, tidak ada rasa lapar dan dahaga di rasakan, hanya ada kerisauan yang menyelimuti malam yang dingin. Perlahan memejamkan mata, berusaha agar otaknya beristirahat sebentar.
Suara musik kajian dan beberapa suara warga sekitar yang datang ke rumahnya mulai terdengar, acara arisan atau kumpul-kumpul para warga sekitar yang saat ini bertepatan di rumahnya seperti sudah terlaksana. Musiknya perlahan membuat Airin terbawa dalam suasana untuk terlelap tidur. Ayahnya tak akan mengusik pertanyaan lagi kepadanya karena tengah sibuk dengan acaranya.
Cit ... Cit ... Cit ...,
Suara kicauan burung yang mampir di jendela membangunkan mimpi buruk.
Airin bangun dan tersadar jika ini semua bukan hanya mimpi ketika menatap dirinya yang masih memakai seragam olahraga dari sore kemarin saat pulang sekolah sampai di bawanya tidur.
Bruakkk ...,
Pintu kamarnya di buka dengan lebar oleh kakak laki-lakinya yang bernama Ikmal. Airin menatap raut kekesalan kakaknya terhadap dirinya.
"Bangun! setelah itu temui Ayah, Ibu dan kakak di ruang tamu!" ucap Kakaknya dengan nada ketus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments