Bab 5

Di sepanjang jalan menuju halte, Airin hanya terisak tangis di kursi belakang. Hati dan batinnya kacau.

'Apa aku bisa lewati ini sendirian?' tanya Airin pada batinnya.

Ponsel di tangannya terus berdering, Airin melihat Ayahnya menghubunginya berulang kali. Namun, Airin ingin menghiraukannya sesaat. Menghiraukan makian dari Ayahnya karena Ayahnya juga tidak akan tahu apa yang Airin rasakan. Airin kesulitan untuk jujur kepada Angga, karena Mona. Airin tidak ingin kehilangan nyawa Mona karena kesalahannya.

Tiba di halte, Airin langsung mencari bus menuju ke Sindangjaya, Bandung barat. Tempat di mana Neneknya dan kakeknya tinggal berdua. Di sana tempat pelosok yang jarang orang huni, mungkin akan mengalami berbagai kesulitan untuk Airin bertahan. Namun, tidak ada pilihan untuk Airin kabur selai di tempat neneknya tinggal.

butuh waktu 3 jam untuk sampai di Desa yang terjal jalannya. Banyak penduduk mulai keluar dari Desa ini, namun orang yang masih mencintai tanah kelahiran seperti nenek dan kakeknya memilih bertahan hingga akhir hayat. Meskipun beberapa pembaharuan modern mulai nampak di sepanjang jalan menuju rumah neneknya, namun keasriannya tidak pudar.

"Assalamualaikum," ucap Airin, mengetuk pintu rumah Nenek nya.

"Wallaikumsalam," sahut suara Nenenknya yang membuka tirai dan keluar dari kamar.

"MasyaAllah, Airin cucuku ...," ujar Nenenknya tersenyum.

Airin berjalan dan langsung memeluk Neneknya dengan kerinduan. Sudah hampir 2 tahun tidak singgah ke rumah kayu neneknya. Dan semua terlihat masih sama.

"Nenek, bantu Airin ..., Airin sedang mengalami kesulitan," ungkap Airin lirih, sambil mencium tangan Neneknya.

" Ada apa?" tanya Neneknya bingung, lalu menarik tangan Airin untuk duduk terlebih dahulu.

"Airin hamil, Airin butuh tempat singgah sementara sampai melahirkan. Airin sudah tidak tahu harus pergi kemana lagi selain ke tempat ini, Ayah dan Ibu mengusir Airin karena tidak bisa membawa Ayah dari bayi ini," ungkap Airin.

"Astaghfirullah Airin, kenapa itu terjadi padamu nak," sahut Neneknya.

"Maafkan Airin nek, tapi Airin tidak bisa menjelaskannya sekarang ..., Airin butuh waktu." jawab Airin, lalu bersimpuh di kaki Neneknya memohon rasa Iba.

Bukan cinta bertepuk sebelah tangan yang membawa Airin dalam penderitaan. Namun kesalahan satu malam yang membuat awal penderitaannya.

'Jika saja tidak menatap matanya, jika saja kami tidak berteduh di gubug kosong itu, jika saja saat itu tidak hujan dan jika saja aku menolak ketika Angga mencium bibirku,' batin Airin keras, ketika tatapannya tidak mendapatkan balasan dari neneknya.

Neneknya berdiri dari tempat duduk, berjalan masuk ke dalam ruang lain meninggalkan Airin tanpa jawaban. Airin hanya bisa pasrah, jika pelarian ke tempat neneknya pun juga akhirnya mendapatkan penolakan.

"Minum dulu!" ucap Neneknya kembali ke tempat duduk dengan membawa segelas air teh. Ririn menoleh dan tersenyum.

"Kamu ingin tinggal di sini, sampai anak itu lahir?" tanya Neneknya. Airin lantas menghapus air mata di pipi lalu mengangguk .

"Bagaimana dengan Ayah dan Ibumu?" tanya Neneknya lagi.

"Ayah dan Ibu sudah mengusirku, Airin mohon nenek jangan katakan mereka jika Airin disini. Airin takut untuk menatap Ayah, Airin sangat bersalah, Airin takut menjadi beban dan aib, Airin takut pernikahan mas Ikmal berantakan," jawab Airin tanpa jeda.

Neneknya tidak membalas lagi perkataan Airin, hanya menepuk dada berulang kali dan bergumam tentang kesabaran. Airin meneguk air teh hingga habis, lalu kembali tertunduk menunggu jawaban.

"Sudah, bawa saja barang mu ke kamar belakang! Bersihkan sebelum kamu tempati! Nenek mau ke ladang menyusul kakek mu," ujar Neneknya, lalu mengambil caping dan parang untuk di bawa ke ladang.

Airin menarik kopernya ke kamar belakang. Kamar yang terbuat dari bilik bambu yang di anyam, teduh dan tenang ketika sudah berbaring di atas dipan kayu beralas tikar anyam dari bambu. Airin menatap dinding-dinding bilik yang memiliki banyak celah, jika pagi matahari akan membias jika malam nyamuk akan masuk berdatangan.

Airin menatap layar ponselnya dan melihat 3 panggilan tak terjawab dari Ayah dan kakaknya.

"Maaf kan Airin," gumam Airin.

Situasi yang sangat sulit untuk Airin hadapi, jika pun di paksa menikah dengan Angga, Airin akan sangat senang. Namun, jika memikirkan perasaan Mona, lagi-lagi keinginan untuk bersama dan jujur pada Angga menjadi goyah. Semua temannya tahu jika Mona lah kekasih Angga selama ini, jika tiba-tiba Airin menikah dengan Angga, selamanya Airin akan menanggung malu untuk di cerca sebagai pengkhianat. Meskipun itu benar adanya, namun sulit jika secara langsung orang mencerca di depan mata. Orang tua Mona juga pasti akan sangat kecewa dengan Airin yang sudah dianggapnya seperti anak bagi keluarga mereka.

Pertunangan yang sudah di rencana di antara dua keluarga besar Angga dan Mona akan kacau hanya karena Airin. Lalu orang-orang akan mencerca nama baik Ayahnya dan kehormatan Ayahnya akan sirna di depan warga. Kepercayaan yang Ayahnya bangun, hanya akan berakhir dengan celaan ketika mendengar anak kepala desa yang berzina. Banyak pertimbangan yang akhirnya Airin harus pikirkan agar tidak melukai orang yang di sayang.

'Jika memang kamu jodohku, kita akan bertemu lagi kelak nya. Namun, sebisa mungkin aku akan tetap menolak takdir itu. Cukup aku yang pernah mencintaimu diam-diam, dan menerima karma dari kesalahanku,' gumam Airin pada batinnya.

"Rin," ucap Seseorang memanggilnya dari luar kamar. Airin bangun dari rebahan nya, bangkit menemui suara yang memanggilnya.

Seorang pria senja yang penuh kerutan di wajah dan tubuhnya. Dia Kakek Airin, Ayah dari Ayahnya Airin. Dengan tubuh membungkuk, di punggungnya menggendong tumpukan jerami mendekati Airin. Airin membantu kakeknya untuk menaruh gendongannya.

"Ya Tuhan, Apa yang membuat cucuku datang kesini tiba-tiba," ucap Kakeknya tersenyum. Ririn dengan rasa hormat mencium tangan kakeknya.

"Dia hamil," sahut Neneknya yang baru masuk. Kakeknya cukup tercengang mendengarnya tidak ada kabar pernikahan namun, tiba-tiba datang membawa kabar kehamilan.

"Lalu mana suami?" tanya Kakeknya, sambil menoleh kanan kiri mencari kehadiran pria yang menikahi cucunya.

Ririn hanya tertunduk tanpa jawaban, malu rasanya jika mengutarakan dia hamil tanpa pernikahan.

"Sudah, nanti kita bicarakan lagi. Sudah makan?" ujar Kakeknya sambil menuntun tangan Airin menuju meja makan.

"Mau berapa hari di sini? Kenapa Ayah dan Ibumu juga tidak datang. Ya Tuhan, sudah 2 tahun mereka tak berkunjung," keluh kakeknya.

Airin terdiam, merasa menjadi beban bagi kakek neneknya yang sudah tua.

"Airin akan tinggal sampai melahirkan, kek." sahut Airin membuka suara akhirnya.

"Hah, yang benar. Suamimu, Ayah dan Ibumu tidak marah?" tanya Kakeknya memastikan. Airin tidak menjawabnya.

Neneknya duduk di samping Airin dengan melirik sesaat kearahnya. Neneknya terlihat sedikit kesal dengan kehadiran Ririn yang membawa kehinaan, namun masih ada rasa iba dan sayang jadi tidak begitu tega mengusir Airin.

"Kakek, aku belum menikah," ungkap Airin.

kakeknya menaruh centong nasi dengan tatapan mata yang terkejut.

"Jadi, ini anak siapa?" tanya Kakeknya sedikit keras.

"Aku sudah berbuat dosa, dan saat ini Ayah dan Ibu mengusir ku," jawab Airin.

Kakeknya terkejut dan berdiri, menarik kupluk di kepalanya hingga terlihat rambut yang penuh uban. Menggaruk kepala karena bingung dengan perkataan cucunya.

"Maaf kek, Airin sudah terjerat dalam dosa. Airin bingung harus kemana lagi," ucap Airin lalu beranjak dari kursi dan berlutut di depan Kakeknya.

"Maaf nak, selesaikan ini dengan keluargamu. Ayah dan Ibumu harus tahu. Kakek takut jika kamu di sini hanya akan menambah kesalahpahaman," ucap Kakeknya lalu bangkit dari kursi dan menghindar. Meninggalkan makanan yang masih utuh tanpa di sentuh di atas piring.

"Beri dia uang untuk pulang!" imbuh Kakeknya, sesaat menoleh ke arah Neneknya untuk mengusir Airin dengan halus.

"I ..., Iya." jawab Neneknya, lalu ikut pergi juga masuk ke dalam kamar. Airin masih tertunduk dengan berlutut, menahan air mata yang akan tumpah dengan kedua tangannya.

"Pulanglah! Dan selesaikan baik-baik," ucap Neneknya, sambil memberikan beberapa lembar uang.

Airin bangkit dan meraih uang itu, dengan raut yang lelah berjalan kembali ke kamar untuk mengeluarkan kopernya. Dan pada akhirnya kemungkinan terburuk pun sudah terjadi. Tidak ada tempat untuk pulang atau bersembunyi.

Airin duduk tertegun menatap celah-celah bilik dengan tatapan kosong. Memikirkan tempat mana lagi yang akan di tuju nya.

"Apa aku harus menghilangkan nyawa bayi yang tidak berdosa ini?" gumam Airin sesaat di tengah lamunannya.

Pikiran yang lagi-lagi mengusik ketika tidak menemukan titik terang dalam permasalahannya.

Airin menatap ponselnya, melihat nama Angga di antara kontak. Memejamkan mata untuk sesaat.

"Apa aku harus menghubunginya?" gumam Airin berperang pada batinnya yang lelah.

Airin menekan nomor ponsel dengan nama Angga, mendengar deringan tunggu.

"Halo?" sahut Angga yang mengangkat panggilan itu.

Airin masih terdiam tidak mengeluarkan suara apapun. Namun, pikirannya tiba-tiba berpaling dan menutup telepon.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!