Bab 3

Airin mengucek matanya berulang kali untuk membangunkan kesadarannya.

Bangkit dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menemui keluarganya di ruang tamu.

Membasuh tubuhnya, yang saat ini bagi Airin terkesan menjijikkan karena sudah tidak suci lagi. Lagi dan lagi Airin memukul perutnya berulang kali hingga kesakitan sendiri.

Setelah 1 jam an di kamar mandi, Airin keluar memakai baju lengan panjang dan rok panjang se tumit, lalu memakai jilbabnya dan menatap dirinya sekilas di cermin sebelum bertarung dengan batin yang akan lebih membuatnya tersiksa lagi.

Airin masih menatap dalam dirinya, mencari tahu sebenarnya apa yang membuat dirinya waktu itu benar-benar terbuai oleh tatapan dan sentuhan Angga.

'Apa karena aku sebenarnya benar-benar ingin memilikinya?' tanya Airin pada dirinya.

'Apa karena merasa akulah yang pantas sebenarnya bersama Angga daripada Mona, atau karena aku ingin membuktikan Angga bisa terjerat juga dengan tatapanku?' gumam Airin lagi.

'Ya Allah, hina nya diriku saat ini di hadapan-Mu,' keluh Airin, lalu menutup matanya dengan kedua tangan, menyingkir dari cermin yang membuatnya terus menyalahkan diri sendiri.

Airin menyeka air matanya yang tumpah, menarik nafasnya dalam-dalam untuk menguatkan hati.

Airin keluar dari pintu kamarnya, dengan debaran jantung yang begitu cepat akhirnya bertatap muka lagi dengan kedua orang tuanya.

"Bagaimana dengan pria itu?" Tanya Ayahnya tegas. Ririn hanya tertunduk karena belum memutuskan sesuatu hal.

"Jawab!" gertak Ayahnya.

"Airin belum menemui Angga," sahut Airin lirih.

"Bodoh! Mau kamu bawa kemana kehamilan mu!" Gertak Ayahnya lagi, Airin perlahan menatap raut muka Ayahnya, lalu matanya berkeliling menatap Ibunya yang sedang diam sambil memegang dadanya, Kakak laki-lakinya juga hanya diam dengan tatapan kesal.

"Ayo, antar Kakak kerumahnya!" ucap Kakaknya bangkit, dan akan melangkah. Ayahnya merentangkan tangan kanannya, menahan Ikmal mendekat, Ikmal pun tertahan.

"Biar dia selesaikan urusannya! Dia sudah dewasa sudah harus tahu, Apa yang akan dia lakukan?" sahut Ayahnya.

"Pergi dari rumah ini! Jangan kembali sampai kau bawa laki-laki itu di hadapan Ayah!" Gertak Ayahnya lalu bangkit dari tempat duduk dan menghindar. Ririn berusaha menahan langkah Ayahnya dengan bersimpuh di kedua kaki Ayahnya.

"Maafkan Airin, yah ...," ucap Airin, memegang kaki kiri Ayahnya sambil mendongak mencari pandangan mata Ayahnya.

"Pergi! Jangan kembali sebelum kau bawa laki-laki itu!" gertak Ayahnya, mendorong tubuh Airin dengan kakinya lalu melangkah kembali ke kamar.

Airin tertunduk dan masih berlutut menatap langkah kaki Ayahnya yang menjauh, Ibunya mendekat namun tidak mengatakan apapun hanya mengikuti langkah Ayahnya kembali ke kamar. Airin menoleh ke belakang, melihat Kakaknya duduk di sofa dengan raut kesal.

"Seharusnya dipikir dulu sebelum berbuat!" gertak Kakaknya mendekat, namun hanya menekan kening Airin dengan keras. Airin diam tanpa membela diri.

Airin bangun dan berjalan keluar rumah dengan tangan kosong, di pikirannya saat ini hanya ingin menemui Angga dan berterus terang dengan apa yang terjadi pada dirinya. Karena ini hari Minggu, kemungkinan besar Angga ada di rumahnya. Airin segera bergegas.

Butuh waktu 30 menit untuk berjalan kaki menuju rumah Angga. Seperti orang bodoh, Airin memilih berjalan panjang daripada menggunakan jasa ojek untuk mengantarnya. Pikirannya kacau, tak terbesit apapun untuk membawa uang dari kamarnya.

"Kamu kok sampai sini?" tanya Mona yang datang mengejutkan dari belakang. Airin menoleh sambil menyeka air matanya.

"Kamu kenapa Rin? Astaga, ada apa?" ujar Mona terus bertanya sambil menarik naik turun tangan kanan Airin dengan wajah panik.

"Mon, aku harus bagaimana ..., aku bingung," jawab Airin.

"Bingung kenapa? lantas kamu mau akan kemana ini?" tanya Mona lagi, sambil menoleh kanan kiri depan belakang.

"A ... a ... ku mau kerumah Angga," jawab Airin.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan Angga sampai kamu bela-belain kesini jalan kaki?" tanya Mona lagi dengan panik, lalu menyuruh Airin duduk. Untung saja tepat di depan mereka ada bangku panjang kosong. Mona membawa motornya menepi, dan mengikuti langkah Airin dari belakang. Setelah sampai di depan bangku kosong dan Airin duduk, Mona memakirkan motornya dan mendekat duduk di samping Airin.

Airin menatap Mona beberapa saat, lalu memeluk Mona dengan erat sambil menangis. Mona mencoba menenangkan kegelisahan sahabatnya dengan menepuk punggung Airin lembut.

"Mon, aku hamil," ucap Airin lirih.

Mona yang terkejut mendengar pernyataan dari Airin lalu menarik kedua pundak Airin.

"Hah ..., kok bisa? dengan siapa?" tanya Mona dengan raut muka terkejut.

Airin tertunduk dan masih berderai air mata, tak sanggup untuk mengutarakan kalimat yang akan membuat Mona hancur.

"Katakan!" ucap Mona dengan keras.

"Maafkan aku, Mon. Aku yang bodoh. Aku takut dan malu untuk mengatakannya," jawab Airin yang masih tertunduk.

"Angga, Mon ...," imbuh Airin lalu mengangkat kepalanya dan menatap Mona. Mona yang terkejut dengan jawaban itu langsung terperanjat dan mundur hingga hampir terjatuh ketika berada di ujung sisi bangku.

Mona tak bisa berkata apa-apa, lalu berdiri dan mondar-mandir menatap Airin dengan raut kesal.

Airin terdiam dan tidak menambah kalimat lagi untuk memperjelas awal mula terjadinya perbuatan hina itu. Sedang Mona juga ikut diam, sambil terdengar berdecak kesal berulang kali.

"Kapan kalian lakukan?" tanya Mona, kali ini mendekat.

Airin mendongakkan kepalanya, dan menatap Mona.

"Malam saat Angga mengantarku pulang usai pesta ulang tahunmu kemarin," jawab Airin, lalu tertunduk lagi.

"Hah ..., kalian gila. Alih-alih memberikan hadiah yang indah malah kalian berbuat gila di belakangku. Pasti kamu kan yang memulainya?" ujar Mona dengan ketus.

Airin terkejut dengan kecurigaan Mona, lalu mendongakkan kepalanya lagi.

"Aku tidak tahu, semua terjadi begitu saja." balas Airin.

"Sialan! Dasar murahan!" gertak Mona lalu mendorong pundak kanan Airin dengan geram.

"Aku sudah menduganya, kamu menyukai pacarku diam-diam dan menjebaknya kan!" gerutu Mona, lalu menatap tajam mata Airin.

"Loh, kamu kok hanya menyalahkan aku saja," sahut Airin kesal.

"Lalu aku harus menyalahkan Angga maksudmu, Aku tahu Angga seperti apa, aku pacarnya selama 3 tahun jadi tidak mungkin dia mau melakukannya tanpa kamu goda terlebih dahulu! wanita murahan!" ujar Mona, lalu di akhiri dengan menampar pipi kiri Airin dengan keras. Airin sampai terkejut dan tidak bisa mengelak.

Mona sesaat terdiam, begitupun Airin yang tidak memberikan perlawanan atau pembelaan untuk dirinya sendiri meskipun kata-kata Mona menyakiti hatinya.

"Lalu ..., kau kesini mau ke rumah Angga dan minta pertanggung jawaban, gitu?" ujar Mona.

Airin menatap Mona dengan diam.

"Aku tidak mau berpisah dengan Angga sampai kapanpun dia milikku dan selamanya akan jadi milikku! Jangan harap kamu bisa merusak hubungan kami. Kami akan bertunangan, dan kau malah ingin memberikan kabar ini, Dimana hati nurani mu?" gertak Mona, lalu mendorong pundak Airin lagi.

"Nurani? Kau bersikap begini padaku padahal aku sahabatmu, tak bisakah kamu mengerti kesedihanku!" sanggah Airin.

"Sahabat? Sahabat apa yang kau bicarakan? Kau tega mengkhianati ku, kau tega bermain api dengan pacar sahabatmu, sekarang kau mendapatkan karma dan aku suruh mengerti!" gertak Mona lagi, lalu membanting helm di tangannya di depan Airin, hingga kaca penutup helm itu pecah.

Airin tertunduk diam, menyadari semua perkataan Mona benar. Airin berdiri dan mencoba menghindar dari amarah Mona.

"Gugurkan saja!" ucap Mona ketus.

"Kau kan yang memulainya! " Gertak Mona menarik jilbab Airin bagian belakang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!