Airin menarik nafasnya dengan tenang, menyimpan uang pemberian dari Nenek dan Kakeknya masuk ke dalam saku celana. Airin merapikan jilbab yang di pakainya, lalu perlahan keluar dari kamar yang beberapa menit di singgahi nya.
Airin menoleh saat akan melangkah pergi, Kakek dan Neneknya masih di dalam kamar seperti tak ingin melihat Airin.
'Inikah karma yang di maksud oleh Mona?' tanya Airin pada batinnya.
"Kakek, Airin pamit dulu," ucap Airin sambil mengetuk kamar Kakek dan Neneknya. Namun aib yang di bawa Airin membuat Kakek dan Neneknya merasa asing, tidak ada sahutan dari keduanya meskipun Airin menunggu cukup lama di depan kamar. Airin lantas pergi menarik kopernya keluar dari rumah Kakek dan Neneknya.
Rasa lelah yang belum mendapatkan istirahat saat perjalanan menuju Desa Kakeknya, kini harus bertambah berjalan 4 kilometer lagi untuk keluar dari Desa agar mendapatkan Bus.
"Mau ke mana, Neng?" ujar seorang pria paruh baya, dengan motor tuanya berhenti di depan Airin.
"Saya mau ke terminal," jawab Airin dengan canggung.
"oh, ya sudah Abang antar sampai halte. Kasian kan kalau jalan. Kalau udah sore begini jarang ada angkot lewat," ucap Pria itu.
Airin terdiam sesaat, lalu duduk di boncengan dan memangku kopernya.
"Setidaknya Tuhan kirimkan penolong sesaat, aku sangat bersyukur," batin Airin.
Perjalanan yang cukup panjang, melewati bebatuan yang terjal karena banyak jalan yang belum beraspal. Pria paruh baya yang sedari tadi diam tidak banyak bicara saat mengendarai, setidaknya membuat Airin lega sehingga bisa menikmati pemandangan asri di sore hari.
Tiba di terminal bus, motor tua bewarna biru itu berhenti dan Airin turun.
"Terimakasih, Pak," ucap Airin.
"Iya neng, 50 ribu," jawab Pria itu menoleh.
Airin mengernyit ternyata Pria itu meminta upah.
Airin lalu memberikan uang yang di minta lalu berlenggang pergi menyusuri terminal bus untuk mencari loket, tujuannya kali ini akan kembali ke Bandung. Namun tidak pulang kerumahnya, melainkan mencoba hidup mandiri dengan mengontrak rumah.
Di dalam perjalanannya, Airin termenung tanpa henti. Pikirannya kalut tak berarah. Hanya air mata yang ia seka dan juga rasa lapar yang ia tahan.
Turun di halte, kali ini Airin mencoba keberuntungan tinggal di jalan Asia-Afrika, jauh dari rumahnya yang berada di Padalarang. Airin berjalan menuju toko mas dengan niatan menjual anting pemberian Ibunya yang saat ini ia kenakan untuk modalnya bertahan hidup dan mencari rumah sewaan.
"Dua setengah gram saja ini," ucap pegawai toko emas.
"Jadi?" sahut Airin bingung.
" Hanya dapat satu juta delapan ratus," jawab Pegawai toko.
Airin terdiam sesaat, menatap sepasang anting di atas etalase. Tangannya maju mundur ingin menerima uang itu atau menyimpan kembali anting itu, harta satu-satunya yang ia miliki.
"Apakah uang segitu cukup ya untuk sewa rumah petak dan untuk aku bertahan sampai mendapatkan pekerjaan?" gumam Airin.
"Gimana teh, jadi?" tanya pegawai toko, menatap Airin..
"Ya sudah teh ..., jadi" sahut Airin.
"Ini teh, uangnya," ucap Pegawai itu. Beberapa lembar uang masuk ke dalam saku.
Airin mulai berkelana lagi menyusuri gang-gang sempit di kota, melihat beberapa tulisan rumah kos lalu mencoba memasukinya satu-persatu sampai menemukan tempat yang nyaman untuk ia tinggali nantinya dan juga point utamanya adalah harganya murah.
"500 kosongan, kalau 700 ada lemari dan kasur busa," ucap Seorang wanita paruh baya yang berdiri di depannya dengan berkacak pinggang. Beberapa rentetan emas melingkar di leher dan tangan menyilaukan mata Airin hingga tidak fokus.
"700 saja, Bu." jawab Airin sambil menoleh ruangan yang akan dia tempati.
"Punya KTP?" tanya Pemilik rumah sewa.
"Belum," jawab Airin tertunduk.
"Lalu? anak pelajar? Sekolah di mana?" tanya pemilik rumah sewa dengan teliti, sambil menatap Airin dari ujung rambut sampai ke ujung kepala.
"Di dekat sini saja," jawab Airin masih tertunduk.
"Ini bukan kos bebas ya! tidak boleh bawa pria masuk sembarangan dan menginap," ucap Pemilik dengan tegas.
Airin mengangguk dengan keras, lalu mengeluarkan uang 700 ribu dari sakunya dan memberikannya pada pemilik rumah sewa.
"Ingat jangan berisik saat malam hari!" ucap Pemilik dengan tegas, lalu berlenggang pergi.
Airin masuk ke dalam kamar dengan ukuran tiga kali empat yang akan di tempati nya. Ada kamar mandi yang cukup hanya untuk berdiri dan jongkok di toilet, lalu wastafel kecil di sisi sudut. Tempat tidur berukuran single yang cukup hanya untuk tubuh Airin terlentang tanpa bergerak dan lemari 3 susun di sampingnya.
Airin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap lampu kecil tepat di atasnya. Sedikit sesak dan sangat panas, ventilasi kecil berada di atas kusen pintu, tanpa jendela rasa pengap tidak bisa terhindari.
"Astaghfirullah," keluh Airin menatap dirinya yang terlihat berantakan, dengan kaos lengan panjang yang menggulung hampir sampai siku, celana panjang yang kotor, dan juga jilbab yang basah dengan keringat.
"Apakah ini awal yang harus aku hadapi untuk menjadi dewasa?" gumam Airin, sambil melepas jilbabnya.
Airin mengeluarkan setumpuk pakaian di dalam koper dan menatanya ke lemari. Setelah itu keluar untuk meminjam sapu dari kamar kos sebelah. Membersihkan kamarnya hingga bersih, setelah itu bergegas mandi untuk menjalankan ibadah sholat magrib.
Dengan penuh air mata yang bertumpuk di pelupuk mata, selepas bacaan istighfar selesai ia ucapkan, tidak tertahan dan jatuh membasahi mukenanya. Derai air mata bercampur dengan penyesalan yang mungkin sulit mendapatkan maaf dari Sang Pencipta. Tangan dan bibirnya gemetar ketika bacaan ayat kursi di lantunkan, seperti bacaan yang sulit untuk Airin teruskan sampai akhir karena teramat sangat merasa hina dengan dirinya.
Istighfar menggema di dalam hatinya, ketika bibirnya tertahan dengan air mata yang jatuh. Matanya tertunduk tak berani menatap langit yang menjadi saksi perilaku hina satu malam yang Airin lakukan.
"Ibu, Ayah maafkan Airin ...," kalimat yang mampu di ucapkan dari jauh. Hatinya bergetar mengingat senyum Ibunya yang selalu datang menyambutnya saat pulang, lalu teriris ketika Ibunya berpaling muka saat Airin meninggalkan rumah, seakan tidak ada cinta yang bisa Airin lihat lagi di mata Ibunya.
"Ibu, aku disini ..., aku akan berusaha memperbaiki diriku agar lebih baik dari kemarin." ungkap Airin.
Dengan tubuh yang bersimpuh di atas sajadah, Airin menangis sejadi-jadi melepaskan beban di hati dan pikirannya. Mencoba bangkit dengan mempertahankan nyawa yang ada di perutnya. Berharap keputusan ini tidak akan pernah membuatnya menyesal, karena bagaimanapun juga Airin tahu memiliki anak tanpa suami akan menjadi bahan olokan dan cercaan dari orang lain dan mau tidak mau harus siap menerima itu semua.
"Aku harap meskipun aku tidak mengungkapkan anak ini padamu, aku ingin Allah juga menyadarkan mu untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dengan yang lain." sebuah bisikan doa yang tertuju untuk Pria yang membuatnya terbelenggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Sri mulyanah Mulya
astaghfirullah
2024-07-07
0
Febriyantari Dwi
Bawang bertebaran..😭😭
2023-07-26
0