Monita hanya bisa diam dan tertegun saat para pelayan mulai memindahkan semua barang-barang Ilham ke kamarnya.
Setelah semuanya beres, para pelayan masih berdiri di situ menunggu perintah selanjutnya.
“Tinggalkan kami berdua!” Titah Ilham ketika ia sudah masuk ke kamar utama, seketika itu juga para pelayan langsung menuju pintu keluar.
Tidak sengaja mata Monita begitu lantang dan berani menatap suami yang baru menikah dengannya itu.
Jantungnya kembali memburu apalagi tadi mata Ilham menatapnya tajam.
“Eheem.” Ilham berdehem sebelum memulai pembicaraan.
“Mulai hari ini, saya tidur di sini.”
Monita hanya menatap sampai lupa berkedip, ia malah terpaku pada sosok tampan nan berwibawa di depannya itu.
“Monita! Kamu dengar saya?”
“Iya Mas.” Jawab Monita dengan gelagapan.
Sementara itu Ilham mulai mendudukkan dirinya di sofa kamar mereka, Ilham kemudian menatap layar ponselnya yang menampilkan foto pernikahan dirinya dan Naomi di wallpaper ponselnya, matanya menatap lekat-lekat seolah ingin menyimpan Naomi di pelupuk mata.
“Inikah yang kau inginkan sayang?” Tanya Ilham dalam hati pada gambar tak bernyawa tersebut.
Karena merasa kacau, Ilham mengusap kasar wajahnya, menghela napas panjang lalu keluar dari kamar itu meninggalkan Monita sendirian.
Monita yang melihat tingkah laku Ilham merasa bingung, suaminya tampak begitu frustasi, namun hal apa yang membuat Ilham frustasi Monita tidak tau.
Tak lama pintu kamar kembali terbuka.
“Mas Ilham?”
“Istirahatlah! Persiapkan tubuhmu untuk nanti malam!”
Setelah mengatakan hal itu, Ilham langsung menutup pintu dari depan, tak peduli dengan reaksi Monita saat ia tinggalkan.
“Baik! Lakukan secepat mungkin, buat dia hamil agar Naomi akan cepat kembali!” Sambil berjalan Ilham terus bergumam, berharap istrinya cepat pulang.
Selama ini dia tidak pernah jauh-jauh dari wanita kesayangannya itu, dengan membuat Monita hamil, maka rumah tangganya akan selamat.
Masalah anak akan segera teratasi, hidupnya dan Naomi akan kembali bahagia, sama saat awal mula mereka menikah.
Sementara itu, ketika Ilham sudah memutuskan matang-matang akan memproduksi anak malam ini, kini Monita di kamar yang luas dan lebar itu nampak dilanda kecemasan luar biasa.
Ibu, bagaimana ini?” Lirihnya sembari membayangkan wajah ibunya.
Sejak tadi Monita terus berjalan mondar mandir di kamarnya, terus memainkan jari-jarinya, berjalan dari ranjang sampai kamar mandi, kemudian dilakukan berulang-ulang.
Hingga waktu terus berputar siang yang panas berubah menjadi malam yang dingin.
Tok tok tok..
Terdengar pintu kamar diketuk dari luar, belum juga bertemu dengan suaminya, dahi Monita mulai dipenuhi keringat sebesar jagung.
Susah payah gadis polos nan lugu itu menelan ludahnya sendiri, perasaan cemas dan was-was kini menjalar ke sekujur tubuhnya yang mini.
Malam ini, pria yang baru menikah dengannya itu akan melakukan misi pertamanya, karena tadi pagi Ilham sudah memberikan warning padanya, sebentar lagi Monita harus menampung benih itu, dan bila benih itu berhasil tumbuh, hanya dalam hitungan bulan, Monita akan bisa lepas dari semua jeratan yang mengikat dirinya.
Walau dengan syarat ia harus melepaskan anak yang akan ia lahirkan, namun itu tidak sulit baginya, hanya perlu melahirkan, dibayar terus menghilang dengan membawa banyak uang yang Ilham janjikan.
Namun Monita merasa kaku dan sulit karena di tidak tau bagaimana memulainya, jangankan berhubungan badan, berpacaran saja tidak pernah, lalu bagaimana sikapnya saat Ilham mulai mendekati dirinya?
Tiba-tiba, pesan sang ibu kembali melintasi benak Monita, sebagai perempuan, kita harus pintar menjaga diri agar tidak merugi nantinya.
Seumur hidupnya, Monita selalu mendengarkan petuah yang disampaikan orang yang sudah melahirkan dan merawatnya dengan penuh kasih tersebut, bahkan Monita sudah kelewat menjaga diri, saking patuhnya dia dengan petuah ibunya, dia sampai tak punya teman lelaki satu pun, itulah mengapa dia samapi dilanda cemas yang berlebihan seperti sekarang ini.
Ketakutannya bertambah saat melihat perangai Ilham yang pemarah, sikap dingin Ilham dan suara Ilham yang selalu keras padanya membuat dia takut kalau nanti pria itu akan berbuat kasar padanya, Monita pun dibuat jadi bergidik ngerih, termakan oleh bayang-bayangnya sendiri.
Sedangkan dari luar sana, karena tak kunjung dibuka, Ilham mulai mengedor-ngedor pintu kamarnya, ia merasa kesal karena pintu dikunci dari dalam.
Sementara Monita jadi terperanjat saat pintu kamar digedor-gedor sekuat itu.
Monita memang sengaja mengunci pintu kamar dari dalam, dia begitu takut dengan manusia bernama Ilham itu.
Monita benar-benar takut saat membayangkan apa yang akan terjadi malam ini, bersentuhan dengan lawan jenis saja Monita tidak pernah, Monita mulai gelisah dan berjalan mondar mandir bagai setrikaan dengan perasaan yang campur aduk.
Namun Monita jadi dibuat semakin tersentak saat Ilham meneriaki namanya, barulah Monita mulai bergegas membuka pintu kamarnya.
“Kenapa harus dikunci?” sorot mata itu menatap Monita dengan sangat tajam, membuat nyali Monita menciut, Monita yang awalnya sedikit suka menjawab perkataan Ilham mendadak jadi gugup dan takut malam ini, karena ia tau apa yang akan Ilham lakukan padanya.
“Emmm, ak…aku…”
Gadis dua puluh tahun itu mendadak jadi gadis yang gagap, grogi dan takut membuat lidahnya menjadi keluh.
Monita tidak bisa menjawab pertanyaan Ilham, dia malah menggigit bibir bagian bawahnya yang nampak ranum itu, hal itu berhasil mengalihkan perhatian Ilham, Ilham malah menatap Monita dengan tatapan aneh.
“Kenapa dia malah menggigit bibirnya seperti itu, aku pikir dia gadis polos dan lugu, ternyata aku keliru! Mana ada gadis lugu berasal dari rumah bordil.” Gumam Ilham dalam hati, lalu mulai mengunci pintu.
Kini Monita semakin deg-degan melihat Ilham mengunci pintu kamar, jantung Monita bagaikan dipasang bom yang sebentar lagi akan meledak.
Bulu kuduk Monita berdiri, belum apa-apa Monita sudah meremang duluan, Ilham menyalakan AC, hawa dingin pun kian terasa.
“Apa kamu tidak gerah?” Tanya Ilham sembari meletakkan remote AC di atas nakas.
“Saya lebih suka angin dari jendela Mas.”
Ilham melirik sebentar kemudian langsung duduk di tepi ranjang.
“Apa kamu sudah mandi?”
“Mandi? Kenapa Mas Ilham menyuruhku mandi? Apa tubuhku bau asam?” Tanya Monita sembari mencium kedua ketiaknya.
Ilham tampak mendengus kesal, berhadapan dengan gadis sok polos seperti Monita ini membuat darah Ilham mulai mendidih.
“Tadi sore sudah mandi Mas, apa Mas mau menyuruh saya mandi lagi?” Tanya Monita dengan polosnya.
“Ah sudah-sudah lupakan saja soal mandi!” Sergah Ilham nampak kesal.
“Kenapa dia jadi tampak kesal begitu?” Tanya Monita dalam hati.
“Monita! Jangan pura-pura polos di depan saya!” bentak Ilham tak berperasaan.
Monita memang tak berakting polos, Monita memang begitu apa adanya.
Kini kamar itu kembali hening, karena mood Ilham mulai rusak, Ilham pun berjalan menuju pintu kamar.
“Lebih baik kita tunda saja!” Tegas Ilham menekan handle pintu, malam ini mood Ilham benar-benar buruk, bukan karena Monita, tapi karena kepergian Naomi, karena hanya ada Monita di depannya, ia menjadikan Monita sasaran empuk dari kemarahannya.
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, sudah pukul 02.00 dini hari, namun Ilham masih setia duduk di ruang keluarga sembari menenggak segelas vodka saking frustasinya ia kehilangan sang belahan jiwa.
Sayup-sayup ia mendengar derap langkah kaki seseorang menuju dapur, mata Ilham menangkap sosok gadis lugu nan polos itu menghentikan langkahnya dan berdiri di depan dispenser untuk mengisi gelas dengan air putih.
“Wanita panggilan itu ternyata belum tidur juga.” Gumam Ilham dalam hati.
Melihat sosok Ilham di ruang keluarga membuat Monita sedikit tersentak dan menyemburkan air putih yang baru saja ia minum keluar dari mulutnya, melihat itu Ilham hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari mulai kembali menenggak segelas vodka yang entah sudah gelas keberapa.
“Bikin kaget saja.” Keluh Monita dalam hati sembari mengusap dadanya beberapa kali.
Monita berjalan menuju tempat dimana Ilham sedang terduduk, kini Monita sudah berdiri dihadapannya, ditatapnya Monita dengan tatapan heran.
Kenapa Monita malah menghampirinya, padahal di dalam kamar tadi, Monita terus mengulur waktu, lalu kenapa malah menghampirinya saat di luar, Ilham mulai berprasangka buruk pada Monita, di mata Ilham saat ini Monita tidak lebih dari seorang gadis licik.
Sementara itu, Monita yang teringat tentang ibunya yang sudah sehat dan adiknya sudah kembali bersekolah seperti biasa membuat Monita ingin mengucapkan terima kasih pada Ilham.
Monita mulai meraih tangan Ilham, menyentuhnya dan mengucapkan banyak terima kasih karena sudah banyak membantunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments