Sarapan pagi berjalan dengan tenang dan damai, papa Agam juga sudah mulai mengusap ujung bibirnya dengan tisue untuk segera beranjak dan berangkat ke kantor, namun pada saat papa Agam hendak beranjak, langkahnya sempat terhenti saat Naomi memanggilnya.
“Emm pa.”
Agam pun berbalik badan dan beralih menatap Naomi.
“Ada apa nak?” Tanya Nancy.
“Ada yang ingin Naomi sampaikan.”
“Apa itu hal penting?” Tanya Papa Agam yang kini sudah kembali duduk.
“Iya penting Pa.” Jawab Naomi tampak sedikit kikuk.
“Coba sampaikan.” Jawab Agam singkat.
“Emmm jadi, jadi begini Pa Ma, Naomi dan Ilham sudah memutuskan untuk pindah ke Vila besok pagi.” Ucap Naomi dengan menundukkan kepalanya.
“Loh kenapa sayang?” Tanya Nancy menatap Naomi dan Ilham secara bergantian.
“Karena Vila itu sudah lama kosong, lagi pula itu juga hadiah pernikahan Ilham pada Naomi Ma, jadi Naomi dan Ilham sepakat untuk pindah ke sana besok supaya Vilanya tidak kosong begitu, lagi pula kan jarak antara Vila dan kantor Ilham dekat, jadi akan lebih baik jika kita pindah ke sana saja Ma, Pa, bolehkan?” Tanya Naomi dengan wajah memelas.
Kedua mertuanya tampak saling berpandangan, mereka terdiam sejenak.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Papa Agam buka suara.
“Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan kalian, Papa bisa apa, apapun keputusan kalian, Papa yakin itu yang terbaik untuk kalian.” Ujar Papa Agam kemudian.
“Wah benarkah Pa?” Tanya Naomi dengan wajah yang tampak begitu sumringah.
“Iya Mama dan Papa akan selalu mendukung keputusan kalian, asal itu positif.” Ucap Mama Nancy menimpali.
“Terima kasih Mama Papa.” Ungkap Naomi dengan wajah berbinar.
Papa Agam
Berbeda halnya dengan Ilham, dia masih terus diam sejak tadi karena sejujurnya dia tidak setuju dengan ide Naomi untuk pindah, apalagi tujuannya untuk mengajak Monita tinggal serumah dengan mereka, Ilham tampak mendengus lalu menenggak minuman di gelasnya dan beranjak dari duduknya, untuk pergi ke kantor, tak lupa dia tetap mencium ujung kepala sang istri dan juga ujung kepala Mamanya, untuk tidak terlalu menunjukkan rasa kesalnya.
Sementara Naomi yang melihat tingkah Ilham seperti itu dibuat merasa bersalah, dia terus menatap kepergian Ilham tanpa berani mengantarnya sampai depan rumah seperti biasa, karena saking merasa bersalahnya.
“Maafkan aku Mas, aku tau kamu tidak suka dengan keputusanku ini, tapi ini semua demi kebaikan kita, aku harus benar-benar memastikan kalau calon ibu dari anak kita baik-baik saja atau tidak.” Gumam Naomi dalam hati.
Keesokan harinya…
Naomi dan Ilham sedang sibuk membereskan barang-barang yang akan mereka bawa ke Vila mereka.
Setelah semuanya beres, dengan dibantu Nancy dan juga pelayan, Ilham dan Naomi mulai memasukkan satu persatu beberapa barang bawaan mereka ke mobil.
Setelah semuanya selesai, Ilham dan Naomi pamit pada kedua mertuanya.
“Ma Pa Ilham dan Naomi pamit dulu ya.” Ucap Ilham sembari menyalami tangan kedua orang tuanya, begitu pun dengan Naomi, yang ikut menyalami tangan kedua mertuanya.
“Kalian hati-hati ya, jangan lupa sering-sering main ke sini.” Ujar Nancy pada anak dan menantunya.
“Iya Ma, Ilham dan Naomi pasti akan sering-sering ke sini, Mama tidak usah khawatir ya.” Jawab Naomi sembari mengusap lembut pundak sang mertua.
“Dan jangan lupa, cepat kabari Mama kalau sudah ada isinya.” Tutur Mama Nancy sembari mengusap perut rata Naomi.
Mendengar itu Naomi menatap Ilham dengan raut wajah sendu, Ilham yang melihat ekspresi Naomi sontak merangkul pundak Naomi untuk mencoba menguatkan sang istri.
“Iy..iya Ma.” Jawab Naomi dengan senyum keterpaksaan.
Akhirnya Naomi dan Ilham mulai memasuki mobil dan melambaikan tangan ke arah Nancy dan juga Agam.
Melihat kepergian anak dan menantunya mata Nancy berkaca-kaca, bagaimana tidak, ini perpisahan pertamanya dengan mereka, jadi begitulah perasaan Nancy saat mereka pamit untuk pindah rumah.
30 menit kemudian, sampailah Ilham dan Naomi di Vila yang akan menjadi tempat tinggal mereka sekarang, dengan dibantu oleh beberapa pelayan, barang-barang Naomi dan Ilham sedang diturunkan untuk kembali ditata di dalam lemari kamar utama mereka.
“Sudah lama ya kita tidak ke sini.” Tutur Naomi sembari menyisir seluruh sudut ruangan yang ada.
“Bagus dan nyaman untuk ditempati.”
“Emmm.” Jawab Ilham singkat.
“Sayang, kapan kau akan mengajak wanita itu tinggal ke sini?” Tanya Naomi yang kini beralih menatap Ilham.
“Besok saja, hari ini aku mau ke kantor dulu.” Jawab Ilham yang jadi tak bersemangat karena istrinya kembali membahas wanita lain.
“Kenapa besok? Lebih cepat lebih baik kan, bagaimana kalau saat Mas pulang kantor?” Naomi mencoba menawarkan.
“Memang harus secepat ini ya.”
“Kenapa harus ditunda lagi si? Jangan-jangan Mas ingin ya berlama-lama dengannya, makanya Mas tidak mau cepat-cepat membawanya ke sini, dengan begitu kan dia tidak akan langsung hamil dan kalau dia tidak cepat hamil nanti waktunya bersama Mas semakin lama, apa Mas ingin ya berlama-lama dengannya?” Rengek Naomi lalu mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang bersedekap di dada.
“Sayang bukan begitu, hanya saja ini kan hari pertama kita berdua, apa iya harus ada orang lain diantara kita disaat kita baru saja mendapat kesempatan untuk berdua.” Jawab Ilham mencoba menjelaskan.
“Ya sudah kalau begitu pulang kantor aku akan menjemputnya.”
“Nah gitu dong.” Jawab Naomi dengan tersenyum manis, Naomi sengaja bertingkah seperti itu hanya untuk membuat Ilham merasa bersalah, karena dia tau titik kelemahan Ilham adalah tidak tahan saat melihat Naomi marah.
“Ya sudah kalau begitu aku ke kantor dulu.” Ucap Ilham sembari mengecup kening sang istri.
Naomi pun mengangguk dan mengantar Ilham sampai teras rumah.
Disebuah Kamar Hotel…
Monita sedang duduk merenung di balkon kamar hotelnya.
Namun tiba-tiba perutnya terasa lapar, Monita berinisiatif keluar hotel untuk mencari makanan.
Monita pun mulai meraih tasnya yang ada di atas nakas, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan lipstik, lalu beranjak keluar dari kamar hotel itu untuk pergi mencari makan.
Sesampainya di depan hotel, Monita melihat ada restoran terdekat di seberang jalan, begitu hendak menyebrang, tiba-tiba ada seorang lelaki dengan tampang preman merampas tas yang dipegangnya kemudian lari begitu saja.
Monita yang melihat itu dibuat kaget bukan kepalang, Monita berteriak sekuat mungkin namun tidak ada yang mendengarnya karena kebetulan jalan depan hotel itu sepi, hanya ada pengemudi dan pengendara yang berseliweran di jalanan.
Akhirnya Monita menyerah dan tidak berteriak lagi, dengan langkah gontai Monita kembali memasuki kamar hotelnya dengan menahan lapar yang sudah sangat mengganggunya.
Dengan perlahan Monita menduduki ranjang empuk itu, sembari menahan perutnya dengan kedua telapak tangannya saking laparnya, tak terasa buliran bening mulai jatuh membasahi pipi mulus Monita, hingga akhirnya Monita tertidur dalam keadaan menangis dan menahan lapar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments