Malam ini, Naomi akan memberi kesempatan pada suaminya untuk tidur bersama Monita di kamar utama mereka, namun malam ini, Ilham malah masuk ke kamar Naomi, melihat itu Naomi pun tersentak dari tidurnya.
“Mas, kenapa ke sini?” Tanya Naomi dengan raut wajah heran.
“Karena istriku ada di sini.” Jawab Ilham singkat lalu tidur di samping Naomi dan memeluk tubuhnya begitu saja.
“Mas, mau sampai kapan?”
“Sampai kapan bagaimana?”
“Sudah berhari-hari Monita di sini, tapi kamu belum juga menyentuhnya, kamu malah datang ke sini dan tidur denganku.”
“Sayang jangan paksa aku.”
“Tapi Mas, kalau tidak sekarang kapan lagi?”
Ilham pun bangkit dari tidurnya dan mulai menghela napas panjang.
“Lalu mau kamu apa?”
“Ayo ke kamar sebelah, kau tidur bersama Monita.”
Tak lama Ilham pun keluar meninggalkan Naomi sendiri di kamar, dengan raut wajah gusar.
Melihat itu, Naomi pun hanya tersenyum miris, cinta Ilham untuknya teramat besar hingga membuat Ilham tidak bisa mengabaikannya walau hanya sedetik.
Naomi pun mulai membaringkan tubuhnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk, sedikit ada rasa menyesal yang mengganggu hatinya, dia bolak balik mencoba untuk tidur, mencoba mengambil posisi nyaman untuk tidur, miring ke kiri dan ke kanan, namun dia tetap saja tidak bisa tidur, ternyata Naomi mulai merasa gelisah sendiri.
Hingga akhirnya tepat pukul 02.00 dini hari barulah Naomi bisa terlelap.
Tak terasa waktu berputar sangat cepat, sinar mentari pun mulai menyelusup masuk ke sela-sela jendela, Naomi meraih jam beker yang ada di atas nakas dan melihat angka 06.00 pada jam tersebut.
Naomi segera bangun dan berinisiatif membuatkan susu untuk Monita dan suaminya.
Begitu masuk ke kamar Monita, Naomi mencari-cari sosok Ilham di sana namun tidak ada, hanya ada Monita di sana dengan masih tertidur pulas.
Naomi pun meletakkan susu itu di atas nakas dekat ranjang Monita, lalu beranjak menuju ruang TV, dan benar saja, Ilham sedang tertidur pulas di ruang TV itu dengan masih memakai selimut yang menyelimuti dirinya dan juga bantal guling yang ia peluk dengan eratnya.
“Ternyata dia masih tidak berani melakukannya selama masih ada aku di sini.” Gumam Naomi dalam hati.
Naomi pun melangkahkan kakinya mendekati sofa tempat Ilham tertidur, ia mencoba membangunkan Ilham dengan mencium bibir sang suami.
Merasakan ciuman pada bibirnya, Ilham terbangun dan melihat Naomi sedang berada tepat di sisinya.
Ilham pun tersenyum lalu meraih tubuh Naomi dan memeluknya dengan begitu erat.
“Sayang, kamu sudah bangun?” Tanya Ilham pada Naomi yang sedang ada dalam dekapannya.
“Iya, kenapa kamu malah tidur di sini?”
Mendengar pertanyaan Naomi, Ilham pun bangkit dari tidurnya lalu mulai duduk di sofa itu sembari menatap Noomi dengan begitu lekat.
“Karena aku tidak sanggup jika harus membagi cintaku dengan wanita lain, aku sangat mencintaimu Naomi.” Jelas Ilham sembari menggenggam erat tangan Naomi lalu mengecupnya.
“Tapi kita sudah sepakat untuk menjadikan Monita wanita yang akan mengandung anak kita.” Ucap Naomi dengan tatapan sendu.
“Tapi tetap saja, aku tidak bisa sayang.”
“Mas.”
“Begini saja, kita keluar negeri dan katakan pada papa dan mama kalau kita akan ke sana untuk mengurus perusahaan kita di sana, lalu kamu akan pura-pura hamil lalu kita akan mengadopsi anak, tidak ada yang akan tau masalah ini kecuali kita berdua.” Jelas Ilham mencoba menawarkan.
Naomi pun terdiam, dia seolah tidak yakin dengan ide dari suaminya itu, mengadopsi anak bukankah itu adalah hal yang sulit, jelas itu bukan darah daging Ilham, Naomi tidak yakin kalau itu akan berhasil.
Seketika Naomi teringat perkataan ayah mertuanya.
*flash back on*
Waktu itu tepatnya di siang hari, pak Agam sedang tertidur pulas dalam hammock, Naomi pun menghampirinya dengan membawakan teh dan juga kue untuk ayah mertuanya itu.
Dilihatnya mata sang mertua begitu sembab saat sedang terlelap, Naomi mencoba membangunkan ayah mertuanya dan memberikan secangkir teh dan kue untuk sang mertua, Pak Agam pun terbangun, dan segera bangkit dari tidurnya.
“Papa, kau menangis?” Tanya Naomi sembari memegang pundak ayah mertuanya dan menatap mata sang mertua.
“Tidak, Papa hanya sedang bermimpi, Papa sedang bermain dengan cucu Papa, dia duduk di pangkuan Papa dan menarik kumis Papa, itulah sebabnya Papa sampai mengeluarkan air mata karena saking sakitnya tarikan anak itu pada kumis Papa, anak itu begitu mirip dengan Ilham, Papa rasa tidak lama lagi akan hadir seorang cucu di rumah ini, karena kata orang tua terdahulu, mimpi di siang hari akan jadi kenyataan.” Jelas ayah mertua Naomi, dengan wajah berbinar.
Mendengar itu Naomi hanya menatap sang ayah mertua dengan tatapan sendu, buliran bening mulai tampak menggenang di pelupuk matanya.
*flash back off*
“Mas, Papa dan Mama hanya ingin keturunanmu, mereka menaru harapan besar untukku, aku tidak bisa mewujudkan impian mereka karena kekuranganku, tapi kau masih bisa menjadi seorang ayah, jadi aku mohon tolong mengertilah.” Bujuk Naomi sembari menggenggam erat tangan sang suami.
Sementara dari balik kamar, Monita sudah mengintip dan mendengar pembicaraan Naomi dan Ilham.
“Mas Ilham begitu mencintai Mbak Naomi, itulah mengapa dia tidak mau menyentuhku sama sekali.” Batin Monita dengan tersenyum lirih.
Tak terasa waktu sudah mengarah ke angka 12.00 siang, saat ini Ilham belum pulang dari kantor, Naomi berjalan mondar mandir di kamarnya, perasaan gelisah dalam hatinya kian menyeruak.
“Bagaimana ini, Mas Ilham terus menolak saat aku menyuruhnya untuk berduaan dengan Monita.”
Sebenarnya Naomi kasihan pada suaminya itu, ini juga pasti berat untuk cinta mereka, anak adalah ujian cinta terberat selama ini, segala cara sudah mereka tempuh, bahkan Naomi sempat hamil hingga usia kandungannya menginjak 7 bulan, namun sayang bayi yang mereka idam-idamkan selama 5 tahun itu kini sudah kembali diambil oleh sang pemberi kehidupan.
Akhirnya membayar perempuan untuk ditanam benih Ilham sudah menjadi jalan satu-satunya.
Naomi tidak mau anak adopsi, meskipun nanti anak itu tidak lahir dari rahim Naomi, dia berjanji akan menyayangi anak itu, karena itu adalah anak dari pria yang sudah belasan tahun ia cintai, ya Naomi dan Ilham sudah berpacaran selama 6 tahun dan menikah selamat 5 tahun, jadi total kebersamaan mereka adalah 11 tahun.
Dua jam kemudian Ilham sudah pulang, ia langsung masuk ke kamarnya untuk menemui Naomi, namun kamar Naomi kosong tidak ada Naomi di dalam kamarnya, ia pun segera keluar dan memanggil Monita.
“Monita! Monita!” Teriak Ilham memanggil nama istri sirinya.
“Iya Mas.”
Monita datang dengan langkah sedikit cepat, tidak ingin suami singanya itu marah-marah, Monita langsung datang secepat yang ia bisa.
“Di mana Naomi?”
Dari ekspresi wajahnya Monita terlihat takut saat mengatakan apa yang ingin ia bicarakan.
“Ke mana?”
Karena Monita tak kunjung menjawab, akhirnya nada bicara Ilham mulai meninggi.
“Itu… itu, Mbak Naomi pergi pagi-pagi dengan membawa koper besar.”
Mata Ilham langsung membulat sempurna, bola matanya hampir saja keluar, ia kaget mendengar keterangan istri sirinya.
Tidak peduli pada Monita yang masih mematung di depannya, pria berpostur tinggi besar itu langsung masuk kembali ke dalam kamar, perasaannya mulai tidak enak saat menatap selembar kertas putih di atas nakas.
Itu pasti surat yang Naomi tulis sebelum pergi, apa maunya wanita itu? Ketika ia memilih untuk menuruti keinginan Naomi menikah lagi dan membawa Monita tinggal bersama mereka, mengapa Naomi justru memilih pergi?
Semua pertanyaan di benak Ilham terjawab saat membaca surat itu sekarang.
“Mas sebelumnya maaf bila caraku keliru, tapi ini untuk kebaikan kita, aku akan ke Swis, ke vila kita dulu, mari kita selesaikan ini secepat mungkin, begitu dia hamil aku akan segera pulang, dan satu lagi, jangan susul aku Mas, aku tau Mas tidak akan bisa melakukannya bila ada aku, untuk sementara ini, biarkan aku di sini dulu, salam sayang, aku tunggu kabar bahagia itu.”
Setelah membaca pesan yang diberikan Naomi lewat selembar kertas yang ditulis tangan itu.
Entah kenapa ada rona kekesalan di mata pria bermata hitam mengkilat itu, perlahan ia mengepalkan tangan, membuat kertas ia pegang itu jadi lusuh.
“Apa cinta itu sudah hilang? Hingga kau rela berbagi suami dengan wanita lain? Apa anak itu sangat penting bagimu Naomi?” Ilham bicara sendiri dengan tatapan kosong.
“Baik! Akan aku lakukan seperti maumu!” Ucapnya dengan nada putus asa namun mengandung sebuah kemarahan.
Pria itu marah karena, mengapa begitu mudahnya istrinya melepas dirinya begitu saja, Ilham marah karena nyatanya anak lebih penting dari pada cinta tulusnya selama ini.
Karena Naomi sudah memukul genderang perang, Ilham mulai memerintahkan beberapa pelayan untuk memindahkan seluruh barang-barangnya ke kamar Monita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments