Ilham dan Monita menempati kamar VVIP, begitu melihat pemandangan kamar itu, jiwa miskin Monita meronta-ronta, bagaimana tidak, kamar VVIP itu di desain dengan begitu aesthetic, membuat Monita terkagum-kagum, namun kekagumannya itu tidak terlalu ia tunjukkan karena Monita tiba-tiba saja teringat tingkah lakunya terhadap Ilham di dalam lift tadi, ia terus saja merutuki kebodohannya saat membayangkan dirinya yang memeluk tubuh Ilham begitu erat.
Dia masih saja terus berdiri di ambang pintu dengan perasaan berkecamuk, sementara Ilham yang melihat itu tampak gusar dan kembali memanggil Monita dengan suara yang menggelegar.
“Monita!”
Monita pun tersentak mendengar suara Ilham yang begitu memekakkan telinga.
“Iy.. iya tuan.” Jawab Monita dengan suara gelagapan.
“Apa katamu? Barusan kamu panggi saya dengan sebutan apa?” Ketus Ilham dan mulai mengayunkan kakinya dan berjalan ke arah Monita.
Melihat itu Monita mendelikkan matanya dan menggeleng dengan cepat.
“Maksud saya Mas.”
Kini tubuh Monita semakin gemetar saat melihat Ilham yang semakin mendekati dirinya.
Melihat Ilham yang tiba-tiba tersenyum menyeringai padanya membuat irama jantung Monita semakin tak karuan, apa lagi kini wajah Ilham begitu dekat dengan wajahnya, hembusan napas Ilham kian terasa karena jarak antara mereka hanya beberapa senti saja.
“Ma.. Mas Ilham mau apa?” Tanya Monita dengan suara yang tersendat-sendat.
Namun Ilham tidak menjawab, dia malah menatap Monita dengan sinis, kini jarak mereka berdua tinggal beberapa senti saja, Ilham semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Monita, saat ini Ilham ingin mengerjai Monita, karena dia tau, Monita sangat takut padanya.
Tak lama, Ilham mencengkram kuat kedua pundak Monita, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding secara kasar, melihat itu Monita sontak mendelikkan matanya dengan mulut yang sedikit menganga saking terkejutnya.
Ilham semakin mendekatkan wajahnya hendak mencium bibir Monita namun Monita memalingkan wajahnya ke samping membuat Ilham gagal menciumnya.
“Kenapa kamu menolaknya? Bukan kah tadi kamu dengan begitu agresifnya memeluk tubuhku dengan erat saat di dalam lift?”
“Ma… maafkan aku Mas, ta.. tadi ak..aku.. hanya refleks saja.” Jawab Monita dengan terbata-bata.
“Dasar munafik!” Bentak Ilham lalu menghempas kasar tubuh Monita begitu saja.
“Kamu harus terbiasa, ingat aku sudah membayar kamu dengan mahal, tujuan kamu adalah melahirkan anak untukku, itu artinya kamu juga harus mau aku sentuh.” Ucap Ilham membelakangi Monita, tanpa melirik Monita sedikitpun.
Monita yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Ilham, tampak meringis kesakitan sembari memegangi pundaknya yang terasa sakit karena cengkraman Ilham tadi, namun seketika ia teringat ucapan Ilham barusan tentang melahirkan anak untuknya, Monita pun jadi bergidik ngeri, selama ini dia tidak pernah berpacaran apa lagi sampai melakukan hubungan suami istri dengan pria manapun, Monita tidak bisa membayangkan bagaimana tubuhnya akan dijamah oleh Ilham, bagaimana dia memulainya, karena sejujurnya itu adalah hal yang pertama bagi Monita, perasaan takut kini mulai menyeruak ke dalam hatinya.
Monita tau pekerjaannya ini adalah melahirkan anak untuk Ilham, namun untuk membuat anak Monita benar-benar masih sangat takut dan belum siap.
Sisi lain sebuah Rumah Sakit…
Seorang gadis remaja yang cantik sedang duduk di kursi samping tempat tidur ibunya, ia terus saja memandangi wajah teduh ibunya yang masih tak sadarkan diri, gadis itu terus menggenggam erat telapak tangan sang ibu dan menempelkannya di pipi, tak lama buliran bening lolos begitu saja membasahi pipi mulusnya.
“Ibu cepatlah bangun, operasi sudah berjalan lancar tinggal menunggu ibu sadar saja, buatlah kak Monita bisa bernapas lega dan tenang dari kejauhan, kak Monita sudah berusaha keras mencari uang demi kesembuhan ibu, jadi berilah kabar gembira untuknya, Eden harap ibu bisa melawan penyakit ibu, Eden tau ibu pasti kuat.” Ucap Eden dengan suara yang terdengar begitu lirih.
Tak lama, jari telunjuk sang ibu perlahan mulai bergerak, melihat itu Eden sontak mendelikkan matanya, seutas senyum mulai terbit dari wajah gadis belia itu, dengan mengusap air matanya, Eden bergegas keluar memanggil dokter.
“Dokter, ibu sudah menggerakkan jari-jarinya.” Cetus Eden begitu sampai di ruangan dokter.
“Benarkah?” Dokter itu juga tak kalah senangnya, selama ibu Rahayu dirawat di rumah sakit dengan dibawah penanganan dokter tersebut, Eden sudah begitu dekat dengan dokter itu, karena hanya Eden satu-satunya keluarga pasien yang tak sungkan menangis dan mengeluh pada sang dokter.
Dokter dan Eden pun segera melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan bu Rahayu, begitu sampai, pria yang berjas putih itu mulai memeriksa bu Rahayu menggunakan stetoskop yang ia tempelkan di bagian dada bu Rahayu.
“Ini kemajuan yang sangat baik, bu Rahayu sudah menunjukkan respon positif, dalam hitungan menit, ibu Rahayu pasti akan segera sadar.” Jelas dokter dengan tenang.
“Syukurlah, terima kasih banyak dok.. terima kasih banya.” Jawab Eden berkali-kali membungkukkan badannya di depan sang dokter.
“Iya sama-sama, jaga ibu baik-baik ya.” Ucap sang dokter menepuk pelan pundak Eden kemudian berlalu meninggalkan ruangan bu Rahayu.
Tak lama terdengar suara yang begitu lirih di balik sungkup oksigen yang menutupi hidung dan mulut bu Rahayu.
“Eden.” Panggil bu Rahayu dengan begitu lirih.
Eden pun tersentak saat mendengar itu, bagaimana tidak, ibunya sadar bahkan lebih cepat dari waktu yang ditentukan dokter, hanya butuh waktu beberapa detik saja, kini bu Rahayu sudah sepenuhnya sadar.
Eden segera menghampiri sang ibu, dan kembali menggenggam erat telapak tangan ibunya lalu kemudian mencium punggung tangan bu Rahayu berkali-kali.
“Akhirnya ibu sadar juga, Eden senang sekali.” Cetus Eden dengan binar di wajahnya, lalu mengusap kepala sang ibu dengan sayang.
“Di mana kakakmu?” Tanya bu Rahayu kemudian.
“Emmm… kakak masih di kota bu, biaya operasi ibu sebanyak 50 juta, dan kakak sudah berhasil mengirmkannya padaku, itulah kenapa ibu sudah berhasil di operasi sekarang.” Jelas Eden dengan air mata haru yang terus mengalir membasahi pipi lembutnya.
“Kapan kakakmu pulang?”
“Kakak belum bisa pulang sekarang karena bos di tempat kerja kakak belum memberikan libur untuk kakak.” Jawab Eden seperti yang selalu dikatakan Monita padanya.
Monita sudah lama tidak pulang karena dia harus bekerja untuk menyekolahkan adiknya juga untuk kesembuhan ibunya, Monita selalu mengirim uang ke rekening adiknya setiap bulan, meskipun jumlahnya tidak banyak, tapi itu cukup untuk biaya hidup dan biaya sekolah adiknya setiap hari.
Namun untuk bulan ini, Monita sudah mengirimkan banyak uang untuk adiknya, tak main-main, uang yang dikirimkan Monita bahkan sampai ratusan juta, dan tentu saja itu uang pemberian Ilham, sebagai DP untuk dia menyewakan rahimnya.
Eden juga sudah menceritakan pada bu Rahayu kalau uang yang dikirmkan Monita sampai mencapai 100 juta, mendengar itu bu Monita mulai bertanya-tanya, pekerjaan apa yang dilakukan putrinya itu sampai bisa mengirmkan uang sebanyak itu untuk mereka.
Namun Eden yang tidak mau ibunya berpikiran yang bukan-bukan tentang kakaknya, langsung menjelaskan pekerjaan kakaknya, Eden bercerita kalau kakaknya bekerja di perusahaan besar dan menempati jabatan sebagai sekretaris, itulah sebabnya kenapa kakaknya memiliki banyak uang, karena gajinya juga pasti sangat besar, lagi-lagi Eden menjelaskan sesuai apa yang Monita katakan padanya saat Eden bertanya perihal pekerjaan Monita selama di kota.
Mendengar itu, bu Rahayu mulai bernapas lega, ternyata anaknya mendapatkan pekerjaan yang halal, dia hanya khawatir kalau anaknya akan terjerumus ke dalam pekerjaan yang tidak benar.
Bu Rahayu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Nie Kartini
asisten andre ge kasep u aku wwh nya🤔😁
2023-10-09
0