“Apa maksudmu? Kenapa kau tega berbicara seperti itu padaku?” Tanya Ilham dengan tatapan tak menyangka.
“Karena hanya itu lah jalan satu-satunya.”
“Tidak Naomi, apa kamu sudah gila? Aku tidak mau menikah lagi, semenjak kita menikah dan semenjak aku mengucapkan akad di depan ayahmu, saat itu juga aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan terus mencintaimu sampai hembusan nafas terakhir.” Jelas Ilham mengguncang pelan pundak Naomi.
“Tapi Mas…”
“Sudah cukup, lebih baik kau istirahat sekarang, kamu baru saja siuman jangan banyak memikirkan hal-hal aneh.” Tutur Ilham sembari membaringkan tubuh sang istri yang mulai terdiam lalu kembali menyelimutinya.
Di sebuah kamar kost….
“Uangnya hanya 20 juta, tidak cukup untuk biaya operasi ibu.” Keluh Monita seorang diri dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Malam ini entah kenapa tamunya hanya sedikit sehingga Monita hanya kebagian satu tamu, sebenarnya bayarannya cukup mahal untuk ukuran tamu yang Monita temani dalam 1 malam, namun biaya operasi ibunya lebih banyak dari itu, makanya Monita merasa masih kurang.
Waktu sudah mengarah ke angka 00.30 malam artinya sudah 24 jam waktu yang di tentukan untuk ibu Monita.
Monita segera meraih ponselnya di saku celana dan mulai menghubungi sang adik.
Setelah beberapa kali di telepon, akhirnya Eden mengangkat telepon dari Monita.
“Halo kak.” Jawab Eden dengan suara khas bangun tidur.
“Den bagaimana keadaan ibu?” Tanya Monita antusias.
“Tadi dokter memasang beberapa alat di tubuh ibu untuk mencegah beberapa resiko yang akan terjadi, dan sekarang ibu sudah lumayan tenang, namun kata dokter ibu harus segera di operasi paling lambat 3 hari ke depan.” Jelas Eden dengan detail.
Mendengar itu Monita sedikit bernafas lega, ibunya ternyata tidak apa-apa, waktu 3 hari yang diberikan dokter menurut Monita cukup lama untuk Monita mengumpulkan uang, malam nanti, Monita akan bekerja lebih keras lagi.
Tiga hari kemudian, tibalah waktu dimana Naomi sudah bisa pulang, keadaan Naomi hari ini sudah jauh lebih baik, tapi tidak dengan hatinya, Naomi masih belum bisa menerima kenyataan atas apa yang terjadi padanya saa ini.
Sekitar pukul 12.00 siang, Naomi sudah bisa pulang setelah semuanya sudah beres, mereka pulang dengan dijemput pak Rudi selaku supir pribadi mereka.
Sepanjang jalan, Naomi tampak diam sembari menatap ke luar jendela mobil, Naomi tidak sedang melihat pohon-pohon atau gedung-gedung pencakar langit, tapi hanya menatap kosong ke arah luar, sementara Ilham yang melihat tingkah laku istrinya berinisiatif meraih tangan sang istri dan menggenggamnya.
Begitu sampai rumah, Naomi langsung disambut hangat oleh Nancy, Nancy sudah menghidangkan makanan kesukaan Naomi.
“Sayang, kamu harus makan yang banyak, Mama sudah menyiapkan semua ini khusus untuk menyambut kepulangan mu.” Ujar Nancy mendudukkan Naomi di kursi khusus meja makan.
“Terima kasih Ma.” Jawab Naomi lalu tersenyum singkat pada sang mertua.
“Jadi cuma Naomi aja nih yang disuru makan, apa anaknya tidak disuru makan juga?” Protes Ilham pada sang ibu.
“Kamu kan sudah bisa ambil sendiri, lagi pula kamu tidak sakit jadi untuk apa Mama melayani kamu.” Ketus Nancy sembari menyendokan nasi untuk menantu kesayangannya itu.
“Mulai mulai…” Seru Agam yang kini ikut bergabung di meja makan.
Naomi pun begitu bahagia melihat orang tua keduanya ini, dari dulu sampai sekarang, sikap mertuanya pada Naomi masih tetap sama, mereka masih menyayangi dan memperhatikan Naomi dengan begitu tulus, bahkan mereka tidak pernah membeda-bedakan antara Naomi dan Ilham.
“Makan ini juga ya sayang, kata orang, ini sangat bagus untuk meningkatkan kesuburan, nanti kalau sudah selesai masa nifas, kamu harus rajin-rajin makan ini tiap hari, supaya cepat ngisi lagi.” Tutur Nancy sembari mengusap-ngusap lembut perut Naomi yang sudah tampak rata.
Naomi pun menatap Ilham dengan tatapan sendu, Ilham yang mengerti tatapan itu langsung meraih tangan Naomi dari balik meja dan menggenggamnya demi menyalurkan kekuatan untuk sang istri.
Makan siang berjalan dengan damai, Naomi dan juga Ilham masuk ke kamar mereka.
Begitu sampai kamar Naomi langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi datar, pernyataan Mama Nancy tadi berhasil mengundang perasaan sesak di hati Naomi, bagaimana tidak, mama mertuanya masih menyimpan harapan besar untuknya.
Naomi memilih berdiri di balkon kamar mereka dan menatap langit cerah dengan matahari yang begitu terik siang itu.
Sementara Ilham menghampiri Naomi dan memeluknya dari belakang, sembari menyandarkan dagunya di pundak sang istri.
“Mas, apa boleh aku meminta sesuatu darimu?” Tanya Naomi mengusap lembut lengan Ilham yang melingkar di pinggangnya.
“Asal bukan permintaan konyol seperti yang kau minta semalam di rumah sakit.” Jawab Ilham dengan singkat.
Mendengar itu, Naomi kembali terdiam dan melepaskan pelukan Ilham dari tubuhnya, lalu berjalan menuju ranjang dan berbaring membelakangi Ilham.
Ilham yang melihat itu ikut menyusul Naomi menuju ranjang, membuka kedua sepatunya dan berbaring di samping sang istri, sembari memeluk erat tubuh mungil Naomi dari belakang.
“Jujur, aku tidak sanggup memenuhi keinginanmu itu, aku tidak mau membagi cintaku dengan siapa pun, tolong mengertilah sayang.” Bisik Ilham tepat di telinga Naomi.
“Tapi aku benar-benar ingin kau mengabulkan permintaan ku itu Mas, aku melihat jauh ke dalam manik mata Mama, dia begitu menginginkan seorang cucu dan dia meletakkan harapan besar itu padaku.”
“Tapi sayang…”
“Stop menolak ku Mas!” Pekik Naomi bangkit dari tidurnya dan berbalik badan menatap Ilham.
Ilham pun sedikit tersentak dan ikut bangkit dari tidurnya, kini mereka sedang duduk di atas ranjang saling berhadap-hadapan.
“Kalau kau tidak menuruti permintaanku ini, lebih baik kita cerai saja.” Cetus Naomi memberi ancaman.
Mendengar itu Ilham tampak syok bukan kepalang, bagaimana tidak, istri tercintanya mengucapkan kata cerai di depannya, kata yang paling dibenci Ilham, bahkan selama 5 tahun ini, meski mereka terkadang bertengkar hebat, Naomi tidak pernah mengucapkan kata cerai.
“Apa hanya karena untuk memenuhi keinginan konyolmu ini kau berani mengucap cerai di depanku?” Kata Ilham dengan tatapan tak percaya.
“Masih banyak jalan keluar lain selain menikah lagi sayang, kita bisa mengadopsi anak di panti asuhan, kenapa begitu saja harus di permasalahkan.”
“Aku tidak ingin anak adopsi, aku hanya ingin anak darimu Mas, meski pun dari rahim wanita lain, asalkan itu anak kandungmu, aku akan berbesar hati menerimanya, lagi pula kita sudah terlanjut menutupi ini dari Mama dan Papa, jadi mari kita lanjutkan dengan sandiwara juga, toh semua ini juga untuk kebahagiaan orang tuamu.” Tukas Naomi dengan buliran bening yang mulai terlihat menggenang di pelupuk matanya.
“Tidak, aku tidak akan mau.” Tegas Ilham mulai beranjak dari ranjang dan melangkahkan kaki hendak keluar dari kamar mereka.
“Baiklah kalau begitu ceraikan aku!” Langkah Ilham sontak terhenti, ia membalikan badannya dan menatap Naomi dengan mata berkaca-kaca.
Ilham begitu takut kehilangan Naomi, karena Naomi adalah cinta pertamanya dan juga cinta matinya, membayangkan hidup tanpa Naomi saja terasa begitu menyiksa, apa lagi jika itu benar-benar terjadi.
Ilham lelaki tampan dan setia, bahkan kesetiaannya sudah terbukti dari semenjak mereka pacaran hingga 5 tahun menikah, semenjak menambatkan hatinya untuk Naomi, Ilham tidak pernah lagi melirik apalagi sampai menggandeng wanita lain lagi, baginya Naomi adalah istri yang sempurna, bukan hanya cantik parasnya tapi juga cantik hatinya.
“Baiklah, aku akan mengabulkan permintaan mu ini, tapi dengan syarat, biar aku yang memilih perempuan mana yang akan aku peristri.” Ucap Ilham dengan putus asa.
“Benarkah? Jadi Mas mau menuruti permintaanku?” Tanya Naomi dengan wajah berseri-seri.
Ilham hanya menganggukan kepala, bahkan dia tidak menyangka betapa bahagianya sang istri ketika ia mengiyakan apa yang menjadi keinginan istrinya kini, menurutnya Naomi terlalu terobsesi ingin memiliki seorang anak.
“Terima kasih Mas.” Naomi berjalan mendekati Ilham dan memeluk tubuh tegap suaminya itu dengan erat saking bahagianya.
“Kamu tenang saja, kamu tidak akan hidup selamanya dengan wanita keduamu itu, karena aku juga tidak merelakannya, kita cukup berikan dia uang yang banyak, kemudian anakmu nanti akan kita rawat dan besarkan bersama-sama, lalu setelah itu, kamu ceraikan wanita itu.” Ucap Naomi melonggarkan pelukannya dan mendongakan kepalanya menatap Ilham yang lebih tinggi darinya.
Ilham segera melepaskan tautan tubuh mereka dan berlalu pergi meninggalkan Naomi sendirian di kamar.
“Aku mau ke toilet.” Ucap Ilham singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments