Cinta Di Antara Permusuhan Keluarga
Kaki-kaki itu mulai sedikit mempercepat langkahnya. Mulut mereka tak berhenti mengoceh sepanjang perjalanan. Dua wanita paruh baya yang saling menatap sinis dan dua pria itu saling mengancam tiap mereka semakin mendekat ke tempat yang dituju.
"Aku bersumpah, hidup kalian dan anak kalian akan hancur!" ancam sang Pria menatap sinis pria yang ada di sebelahnya.
Pria di sebelahnya hanya memutar bola matanya malas, sangat membuang waktu jika mendengar sumpah serapah dari pria yang kini menjadi besannya, tapi sebentar lagi mereka akan menjadi mantan besan, pasti.
Tok tok
Suara ketukan pintu kayu yang datang dari rumahnya, berhasil membuat seorang gadis yang tengah melipat pakaian menoleh ke arah pintu luar. Gadis yang memakai dress biru muda itu berdiri, merapikan dress nya, menghampiri seorang lelaki yang berdiri di ambang pintu rumahnya.
"Permisi Mas, ada apa ya?"
Mata lelaki itu berkeliaran ke sana kemari melihat sekeliling rumah gubuk yang dihuni oleh sang gadis. Lelaki itu tersenyum kecil, mulai masuk ke dalam rumah. Langkahnya semakin mendekat ke arah gadis yang masih berusaha tersenyum di depannya.
"Ada apa ya Mas," ulang gadis itu lagi. "Mau, kamu," jawabnya. Gadis itu menatap lelaki itu ketakutan, berjalan mundur menjauhi lelaki yang semakin mendekat ke arahnya. Senyuman menakutkan yang ditampilkan lelaki yang kini hanya berjarak 5 senti darinya membuat tubuh gadis yang bernama Sinta berkeringat dingin.
"Mas." Tubuh Sinta menabrak dinding rumahnya, dia kehabisan ide untuk menjauh dari lelaki asing yang tak ia kenali. Lelaki itu sekarang benar-benar sangat dekat dengannya, Sinta bisa melihat hampir tak ada jarak antara mereka. Tangan Sinta bergetar ketakutan, saat tangan lelaki itu dengan sangat lancang mulai menyentuh pipinya.
"Menjauh dariku, aku sudah memiliki suami dasar pria bejat!" tegas Sinta, sambil menutup matanya ketakutan. Lelaki itu terkekeh kecil hingga hembusan napasnya menembus kulit Sinta.
"Siapa suamimu?" tanyanya. "Ra-rama. Suamiku bernama Alrama Aksanta. Jika dia tahu tingkah bejatmu ini, aku bisa bersumpah bahwa hidupmu akan hancur!" ancam Sinta.
"Oh ya?" Lelaki itu mencengkeram tangan Sinta. "Hidupku atau hidupmu yang hancur perempuan manis." Sinta membuka matanya, dan dalam sekejap bibir lelaki itu berhasil menyentuh pipi Sinta.
"Sinta!" Belum sempat Sinta berteriak, suara lantang dari luar rumahnya, mengalihkan perhatian Sinta dan lelaki itu.
Mata Rama menatap mata Sinta yang sudah memerah dengan wajah ketakutan dan tangannya yang gemetar. Sedangkan lelaki itu langsung berlari keluar. Dia berlari dengan pontang-panting menabrak bahu orang-orang yang berada di rumah Sinta.
"Ram—"
Plakk
Satu tamparan langsung mendarat mulus dipipi Sinta. Sinta memegangi pipinya yang sakit, dan semakin sakit lagi saat ia tahu bahwa yang melakukan itu adalah pria yang sangat ia sayang di dunia.
"Gila!" umpat Rama tepat di wajah Sinta. "Aku menikahi wanita gila ternyata."
Sinta meneteskan air mata, menatap penuh kekecewaan pada Rama. Lelaki yang selama ini sangat dibanggakan oleh Sinta, lelaki yang rela membuat Sinta melawan orang tuanya, kini lelaki itu mengatai Sinta 'gila'.
"Ram—"
"Aku tidak ingin mendengar apapun sekarang. Yang kulihat tadi sudah cukup jelas dan sangat jelas untuk memberitahuku perempuan seperti apa kamu ini," jelasnya. "Wanita murahan sama seperti ibumu yang murahan!"
"Hei! Jaga ucapanmu pada putriku!" Wanita yang menenteng tas berwarna hitam di tangannya, mendekati Sinta begitupun pria paruh baya yang berdiri di belakang Sinta.
"Putriku ini anak baik-baik, aku mendidiknya dengan semua pelajaran yang terbaik."
"Kalau anda memberi pelajaran yang terbaik untuk putri anda, tidak mungkin dia berani melakukan hal serendah itu bersama pria lain," imbuh wanita yang merupakan ibunya Rama.
"Anda jangan semena-mena ya, putri saya ini perempuan baik-baik. Dia tidak mungkin melakukan itu!" tegas ayah Sinta.
"Saya lebih ingin mendengar langsung dari mulut anak anda tuan Agustama," sela Rama. Tatapan yang ia arahkan pada Sinta sangat tajam, bahkan membuat Sinta sendiri sangat takut, tatapan Rama lebih menakutkan daripada senyuman maut yang diberikan lelaki asing itu padanya.
Sinta mendekat pada Rama, "Ram, aku mencintaimu, dan itu sangat. Aku percaya padamu dan seharusnya kamu juga percaya sama aku."
"Bagaimana aku bisa percaya jika ada pria lain yang berani menciummu Sinta!" bentak Rama. "Apa kamu pikir, ada suami yang terima jika istrinya bermain di belakangnya?"
Sinta menggeleng kuat, menumpahkan seluruh air matanya. "Rama, aku nggak ngelakuin apa-apa. Aku bahkan nggak kenal sama laki-laki tadi, dia datang sendiri ke rumah dan." Sinta berusaha menormalkan perasaannya untuk menceritakan semua hal buruk itu pada Rama. "Dan, dia yang mendekatiku Ram, aku—"
"Kenapa nggak menjauh dari dia?" potong Rama. "Suka sama dia?" Sinta menggeleng. "Lalu, kenapa nggak menjauh darinya?"
"Aku sudah berusaha menjauhinya Ram, tapi dia nggak ngebiarin aku buat jauhin dia. Dia cengkram tangan aku, aku nggak bisa lari," jelas Sinta.
"Aku membencimu." Kalimat buruk yang tak pernah ingin Sinta dengar, kini kalimat itu dengan sangat mulus keluar dengan lantangnya dari mulut Rama.
"Aku tidak mempercayaimu lagi Sinta. Kamu bisa pergi sama pria yang kamu cintai sekarang. Aku akan kembali ke Jakarta bersama kedua orang tuaku." Rama mulai mengemasi semua barang-barangnya, bersiap pergi dari rumah yang sudah ia tempati bersama Sinta selama 6 bulan.
"Rama, Rama jangan pergi." Sinta mencegat tangan Rama. "Kita sudah janji untuk sehidup semati bersama, kita sudah janji untuk saling mencintai, menemani dan memiliki. Kamu nggak bisa ingkari janji kamu sekarang Rama, nggak bisa." Rama menghempaskan tangan Sinta. Ia tak peduli dengan tangisan kesedihan, jeritan dan semua penjelasan Sinta. Keputusannya sudah bulat, sekali ia bilang pergi, maka ia akan pergi tanpa terkecuali.
Ayah dan ibu Rama tersenyum bahagia melihat Sinta yang menangis histeris.
"Sudah saya bilang Sinta, sampai kapanpun, kamu dan anak saya tidak akan bisa bersama." Ibu Rama melambaikan tangannya ke arah Sinta dan kedua orang tuanya. Memakai kacamata hitam miliknya, lalu melenggang pergi dari sana dengan perasaan yang senang.
Sinta masih menangis histeris melihat punggung Rama yang kini semakin menjauh.
"Sin, sudah jangan sedih, Nak. Laki-laki kayak gitu nggak pantas buat ditangisi sama kamu."
"Sin, kamu siap-siap, kita pulang ke Jakarta, kamu jangan nangisi laki-laki kayak dia. Rama sama papanya itu nggak beda jauh, sama-sama bajingan."
Ibu Sinta merangkul anaknya, membantu Sinta mengemasi barang-barang dan bersiap pergi dari rumah sederhana yang menjadi saksi kisah cinta antara dia dan Rama yang kini sudah berakhir.
"Sin, sudah mama bilang, Rama bukan laki-laki yang baik, kalau aja kamu dengarin mama waktu itu, kamu nggak akan diginiin, Nak," ucap ibunya.
Sinta tak menghiraukan perkataan ibunya yang ia tahu, sekarang hidupnya berakhir, hubungannya berakhir, cintanya juga berakhir. Semua berakhir buruk bahkan sebelum anak mereka bisa melihat kedua orang tuanya di dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Nikfyni
Aku mampir nih tengok Sinta,
Salam kenal kak, yuk mampir di cinta Sholeha....
2023-09-18
0
Mawar_Jingga
halo kak salam kenal,aku mampir nih
mampir dan ikuti juga "sepotong sayap patah"ya
mari saling dukung🤍
2023-09-10
2