Kaki-kaki itu mulai sedikit mempercepat langkahnya. Mulut mereka tak berhenti mengoceh sepanjang perjalanan. Dua wanita paruh baya yang saling menatap sinis dan dua pria itu saling mengancam tiap mereka semakin mendekat ke tempat yang dituju.
"Aku bersumpah, hidup kalian dan anak kalian akan hancur!" ancam sang Pria menatap sinis pria yang ada di sebelahnya.
Pria di sebelahnya hanya memutar bola matanya malas, sangat membuang waktu jika mendengar sumpah serapah dari pria yang kini menjadi besannya, tapi sebentar lagi mereka akan menjadi mantan besan, pasti.
Tok tok
Suara ketukan pintu kayu yang datang dari rumahnya, berhasil membuat seorang gadis yang tengah melipat pakaian menoleh ke arah pintu luar. Gadis yang memakai dress biru muda itu berdiri, merapikan dress nya, menghampiri seorang lelaki yang berdiri di ambang pintu rumahnya.
"Permisi Mas, ada apa ya?"
Mata lelaki itu berkeliaran ke sana kemari melihat sekeliling rumah gubuk yang dihuni oleh sang gadis. Lelaki itu tersenyum kecil, mulai masuk ke dalam rumah. Langkahnya semakin mendekat ke arah gadis yang masih berusaha tersenyum di depannya.
"Ada apa ya Mas," ulang gadis itu lagi. "Mau, kamu," jawabnya. Gadis itu menatap lelaki itu ketakutan, berjalan mundur menjauhi lelaki yang semakin mendekat ke arahnya. Senyuman menakutkan yang ditampilkan lelaki yang kini hanya berjarak 5 senti darinya membuat tubuh gadis yang bernama Sinta berkeringat dingin.
"Mas." Tubuh Sinta menabrak dinding rumahnya, dia kehabisan ide untuk menjauh dari lelaki asing yang tak ia kenali. Lelaki itu sekarang benar-benar sangat dekat dengannya, Sinta bisa melihat hampir tak ada jarak antara mereka. Tangan Sinta bergetar ketakutan, saat tangan lelaki itu dengan sangat lancang mulai menyentuh pipinya.
"Menjauh dariku, aku sudah memiliki suami dasar pria bejat!" tegas Sinta, sambil menutup matanya ketakutan. Lelaki itu terkekeh kecil hingga hembusan napasnya menembus kulit Sinta.
"Siapa suamimu?" tanyanya. "Ra-rama. Suamiku bernama Alrama Aksanta. Jika dia tahu tingkah bejatmu ini, aku bisa bersumpah bahwa hidupmu akan hancur!" ancam Sinta.
"Oh ya?" Lelaki itu mencengkeram tangan Sinta. "Hidupku atau hidupmu yang hancur perempuan manis." Sinta membuka matanya, dan dalam sekejap bibir lelaki itu berhasil menyentuh pipi Sinta.
"Sinta!" Belum sempat Sinta berteriak, suara lantang dari luar rumahnya, mengalihkan perhatian Sinta dan lelaki itu.
Mata Rama menatap mata Sinta yang sudah memerah dengan wajah ketakutan dan tangannya yang gemetar. Sedangkan lelaki itu langsung berlari keluar. Dia berlari dengan pontang-panting menabrak bahu orang-orang yang berada di rumah Sinta.
"Ram—"
Plakk
Satu tamparan langsung mendarat mulus dipipi Sinta. Sinta memegangi pipinya yang sakit, dan semakin sakit lagi saat ia tahu bahwa yang melakukan itu adalah pria yang sangat ia sayang di dunia.
"Gila!" umpat Rama tepat di wajah Sinta. "Aku menikahi wanita gila ternyata."
Sinta meneteskan air mata, menatap penuh kekecewaan pada Rama. Lelaki yang selama ini sangat dibanggakan oleh Sinta, lelaki yang rela membuat Sinta melawan orang tuanya, kini lelaki itu mengatai Sinta 'gila'.
"Ram—"
"Aku tidak ingin mendengar apapun sekarang. Yang kulihat tadi sudah cukup jelas dan sangat jelas untuk memberitahuku perempuan seperti apa kamu ini," jelasnya. "Wanita murahan sama seperti ibumu yang murahan!"
"Hei! Jaga ucapanmu pada putriku!" Wanita yang menenteng tas berwarna hitam di tangannya, mendekati Sinta begitupun pria paruh baya yang berdiri di belakang Sinta.
"Putriku ini anak baik-baik, aku mendidiknya dengan semua pelajaran yang terbaik."
"Kalau anda memberi pelajaran yang terbaik untuk putri anda, tidak mungkin dia berani melakukan hal serendah itu bersama pria lain," imbuh wanita yang merupakan ibunya Rama.
"Anda jangan semena-mena ya, putri saya ini perempuan baik-baik. Dia tidak mungkin melakukan itu!" tegas ayah Sinta.
"Saya lebih ingin mendengar langsung dari mulut anak anda tuan Agustama," sela Rama. Tatapan yang ia arahkan pada Sinta sangat tajam, bahkan membuat Sinta sendiri sangat takut, tatapan Rama lebih menakutkan daripada senyuman maut yang diberikan lelaki asing itu padanya.
Sinta mendekat pada Rama, "Ram, aku mencintaimu, dan itu sangat. Aku percaya padamu dan seharusnya kamu juga percaya sama aku."
"Bagaimana aku bisa percaya jika ada pria lain yang berani menciummu Sinta!" bentak Rama. "Apa kamu pikir, ada suami yang terima jika istrinya bermain di belakangnya?"
Sinta menggeleng kuat, menumpahkan seluruh air matanya. "Rama, aku nggak ngelakuin apa-apa. Aku bahkan nggak kenal sama laki-laki tadi, dia datang sendiri ke rumah dan." Sinta berusaha menormalkan perasaannya untuk menceritakan semua hal buruk itu pada Rama. "Dan, dia yang mendekatiku Ram, aku—"
"Kenapa nggak menjauh dari dia?" potong Rama. "Suka sama dia?" Sinta menggeleng. "Lalu, kenapa nggak menjauh darinya?"
"Aku sudah berusaha menjauhinya Ram, tapi dia nggak ngebiarin aku buat jauhin dia. Dia cengkram tangan aku, aku nggak bisa lari," jelas Sinta.
"Aku membencimu." Kalimat buruk yang tak pernah ingin Sinta dengar, kini kalimat itu dengan sangat mulus keluar dengan lantangnya dari mulut Rama.
"Aku tidak mempercayaimu lagi Sinta. Kamu bisa pergi sama pria yang kamu cintai sekarang. Aku akan kembali ke Jakarta bersama kedua orang tuaku." Rama mulai mengemasi semua barang-barangnya, bersiap pergi dari rumah yang sudah ia tempati bersama Sinta selama 6 bulan.
"Rama, Rama jangan pergi." Sinta mencegat tangan Rama. "Kita sudah janji untuk sehidup semati bersama, kita sudah janji untuk saling mencintai, menemani dan memiliki. Kamu nggak bisa ingkari janji kamu sekarang Rama, nggak bisa." Rama menghempaskan tangan Sinta. Ia tak peduli dengan tangisan kesedihan, jeritan dan semua penjelasan Sinta. Keputusannya sudah bulat, sekali ia bilang pergi, maka ia akan pergi tanpa terkecuali.
Ayah dan ibu Rama tersenyum bahagia melihat Sinta yang menangis histeris.
"Sudah saya bilang Sinta, sampai kapanpun, kamu dan anak saya tidak akan bisa bersama." Ibu Rama melambaikan tangannya ke arah Sinta dan kedua orang tuanya. Memakai kacamata hitam miliknya, lalu melenggang pergi dari sana dengan perasaan yang senang.
Sinta masih menangis histeris melihat punggung Rama yang kini semakin menjauh.
"Sin, sudah jangan sedih, Nak. Laki-laki kayak gitu nggak pantas buat ditangisi sama kamu."
"Sin, kamu siap-siap, kita pulang ke Jakarta, kamu jangan nangisi laki-laki kayak dia. Rama sama papanya itu nggak beda jauh, sama-sama bajingan."
Ibu Sinta merangkul anaknya, membantu Sinta mengemasi barang-barang dan bersiap pergi dari rumah sederhana yang menjadi saksi kisah cinta antara dia dan Rama yang kini sudah berakhir.
"Sin, sudah mama bilang, Rama bukan laki-laki yang baik, kalau aja kamu dengarin mama waktu itu, kamu nggak akan diginiin, Nak," ucap ibunya.
Sinta tak menghiraukan perkataan ibunya yang ia tahu, sekarang hidupnya berakhir, hubungannya berakhir, cintanya juga berakhir. Semua berakhir buruk bahkan sebelum anak mereka bisa melihat kedua orang tuanya di dunia.
Lelaki itu menaruh tas nya sembarang, merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang berada di kamar yang sangat besar. Kamar milik Putra Tunggal keluarga Aksanta—keluarga yang masuk top-3, pengusaha paling kaya di Indonesia.
Wisnu Putra Aksanta, itu namanya. Nama yang membuat lelaki yang berumur 20 tahun itu menjadi sangat angkuh. Menjadi putra tunggal keluarga Aksanta, membuat Wisnu selalu semena-mena terhadap orang yang dibawahnya. Dia tidak memiliki sopan santun, selalu kasar pada orang-orang yang ia rasa menganggu dirinya, dan kesombongan yang ia punya sudah menembus langit, tak bisa ditandingi.
Meskipun angkuh dan kasar, Wisnu memiliki wajah yang sangat tampan, kulitnya yang putih, wajahnya yang bersih, mata coklatnya, hidup mancung dan bibir merah yang dimiliki oleh Wisnu selalu berhasil memikat para gadis jatuh cinta padanya. Sungguh, tidak ada satupun gadis yang bisa menolak pesona dari Putra Tunggal keluarga Aksanta ini.
Walaupun memikat banyak hati gadis, tapi sampai sekarang Wisnu tak pernah terlibat dalam hal yang menyangkut tentang asmara. Bisa dibilang, dia jomblo dari lahir. Bukan para gadis yang tidak ingin bersamanya tetapi Wisnu terlalu pemilih untuk sekedar mengencani gadis saja. Itulah yang membuat dia tidak memiliki pasangan sampai sekarang, karena belum ada satu gadis pun yang bisa membuat Wisnu jatuh hati.
"Sayang, makan siang dulu!" Wisnu berdecak sebal. Bahkan disaat ia baru saja merebahkan tubuhnya selalu saja ada panggilan. Dengan terpaksa Wisnu bangkit dan berjalan menuju meja makan.
Meja makan yang sudah dipenuhi dengan berbagai jenis makanan enak dan kursi yang sudah diduduki oleh kakek, nenek serta ibunya Wisnu. Namun Wisnu tidak melihat tanda-tanda kehadiran ayahnya di sini, biasanya ayahnya selalu pulang untuk makan siang bersama.
"Papa mana?" tanya Wisnu duduk di kursinya.
"Masih di jalan, sebentar lagi papa kamu pulang," jawab ibunya. Wisnu hanya mengangguk singkat lalu mulai memakan makanan yang sudah dihidangkan.
"Maaf telat." Seorang pria yang memakai setelan jas, sedikit berlari untuk sampai kemeja makan yang sudah diisi oleh anggota keluarga. Dia duduk di tempatnya, lalu seorang wanita disebelahnya yang merupakan istrinya mengambil makanan untuk dimakan oleh si pria.
"Kok lama?" tanya Wisnu sama sekali tak memandang ke ayahnya.
"Ngurus masalah kamu di kampus." Wisnu hanya mengedikkan bahunya acuh, ia tidak peduli pada masalah kampus.
"Wisnu, udah berapa kali papa bilang sama kamu, jangan lagi berbuat ulah di kampus. Bikin malu keluarga kamu ini."
"Jadi aku bikin malu keluarga?" Wisnu menatap mata ayahnya tajam. "Denger ya Pa, masalah kampus dan masalah aku itu urusan aku sendiri. Papa sama yang lain nggak usah ikut campur!"
"Papa juga nggak ingin ikut campur Wis, tapi papa dipanggil sama pihak kampus kamu, nggak mungkin kan papa nggak memenuhi panggilan itu."
Wisnu memutar bola matanya malas sembari berdecak kesal. "Pengadu banget sih tu kampus," gumamnya.
"Wis, papa pengin ini terakhir ya, kamu buat papa dipanggil sama pihak kampus."
"Iya, iya," balas Wisnu acuh. "Aku dah siap." Wisnu berdiri, melenggang pergi dari sana menyisakan makanan yang tidak ia habisi.
Lelaki yang menggunakan kaos hitam itu, kembali merebahkan dirinya di kamar. Memijit ujung pelipisnya. Tanpa membuka matanya, tangan Wisnu bergerak untuk meraih ponselnya yang berada di sisi kanan kasur.
Ia membuka matanya, mengetikkan beberapa kata.
Babu tuan muda Wisnu 🙇
Arfin, Gilang, Baim, Anda
Anda:
Nanti malam ke bar
Arfin:
Siap tuan muda
Baim:
Gue oke-oke aja, asal ada traktiran lah,
bokek biasa😅
Anda:
Bokek mulu hidup lo
Baim:
Hehe
Gilang:
Bar? Gass
Arfin:
Giliran bar aja semangat amat lo
Baim:
Ada 2 hal yang buat Gilang semangat, pertama cewek, kedua bar
Gilang:
💯 buat Baim
Anda:
Jangan ada yang telat jam 8 udah sampai
Gilang:
Siap
Baim:
Siap
Arfin:
Siap
Wisnu mematikan layar ponselnya, melempar ponsel itu asal. Kembali memejamkan matanya sampai ia terbang ke alam mimpi.
...****************...
Malam itu tiba, Wisnu keluar dari rumahnya, tanpa berpamitan kepada siapapun lelaki itu langsung membawa mobil Lamborghini miliknya pergi dari rumah yang bak istana. Sepanjang perjalanan Wisnu mengisap rokok sambil menyetir, melaju dengan kecepatan tinggi tak peduli dengan nyawa sendiri.
Dalam waktu singkat, Wisnu tiba di bar. Bar yang sudah diisi oleh banyak manusia termasuk teman-temannya.
"Tuan muda!" seru seorang laki-laki. Wisnu menengok ke sumber suara dan segera menghampiri mereka bertiga.
Teman-teman Wisnu ada banyak, tapi untuk sohib Wisnu hanya 3 orang, Baim, Gilang dan Arfin.
"Bang minumannya empat." Ini Gilang Andrata, teman Wisnu yang sudah bersamanya sejak lelaki itu duduk dibangku sekolah dasar. Laki-laki dengan cengiran khas dan kepribadiannya yang extrovert membuat Gilang digemari banyak orang. Dan itu hal yang membuat Wisnu tertarik untuk berteman dengannya.
"Kenapa tiba-tiba pengin ke bar, Tuan muda?" Yang ini, namanya Baim Surya, laki-laki yang dikenal Wisnu saat ia masuk ke jenjang sekolah menengah pertama. Baim tak jauh beda dengan Gilang, karena dia dan Gilang memiliki kepribadian yang sama maka dari itu Baim bisa cepat akrab dengan Gilang, dan karena dia akrab dengan Gilang otomatis membuat Baim dekat juga dengan Wisnu. Bisa dibilang ini sebuah pencapaian besar di hidup Baim, menjadi sohib Putra Tunggal keluarga Aksanta.
"Nggak ada, lagi pengin aja. Gue gabut di rumah," jawab Wisnu.
Alkohol yang sudah berada di depan mereka, langsung membuat para lelaki ini meminumnya. Memang, alkohol itu tidak baik untuk kesehatan, tapi percayalah itu membuat candu banyak orang.
"Cantik." Laki-laki yang sudah agak sempoyongan berdiri dari duduknya, menghampiri gadis yang menggunakan dress ketat berwarna oranye.
"Hai sayang." Wisnu, Baim dan Gilang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah teman mereka yang satu ini. Iya, Arfin Fano Alyas, putra bungsu keluarga Alyas. Satu-satunya teman Wisnu yang bisa dibilang sama-sama berasal dari keluarga konglomerat dan sama-sama suka melanggar aturan keluarga. Arfin terkenal dengan sikap playboy nya, dengan setiap kedipan dan gombalan maut yang selalu ia berikan kepada para cewek-cewek yang menurutnya cantik. Meskipun Arfin ini playboy dan suka gonta-ganti pacar setiap bulannya, tak ada satupun gadis yang bisa menjauhinya. Sebab, Arfin yang tampan dan royal berhasil membuat gadis manapun jatuh cinta padanya.
Kehidupan seorang Wisnu Putra Aksanta, bisa dibilang sangat jauh dari kebaikan. Pergi ke club, bar, mabuk, pembuat onar, angkuh, dingin, dan cuek, dan Wisnu juga bukan sosok yang pintar. Sebenarnya Wisnu ini sudah mendekati kategori beban keluarga, jika saja dia bukan Putra Tunggal keluarga Aksanta bisa dipastikan namanya akan dicoret dari KK.
Sejauh ini belum ada satu orangpun yang bisa mengubah sikap Wisnu menjadi lebih baik lagi, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Apakah Wisnu perlu dipertemukan dengan gadis yang baik agar dia menjadi baik juga?
Entahlah, do'akan saja yang terbaik untuk anak ini.
Wisnu Putra Aksanta
Gilang Andrata
Baim Surya
Arfin Fano Alyas
Gadis yang memakai kaos berwarna putih dan celana jeans hitam, berjongkok di kolong meja tempat para gadis sedang meminum alkohol mereka. Gadis itu berusaha melihat celah untuk keluar dari tempat yang menurutnya mengerikan.
Dengan lututnya yang menjadi tumpuan, gadis itu merangkak perlahan untuk keluar dari sana. Perlahan tapi pasti, akhirnya ia bisa keluar dari kolong meja yang diatasnya banyak minuman keras dan juga rokok.
Gadis itu melihat para perempuan yang sepertinya sebayanya dengan gaya perempuan nakal yang sangat tidak mencerminkan kebaikan menurutnya.
"Lo siapa? Kok bisa tiba-tiba di sini?" tanya seorang perempuan yang memakai tank top hitam dan celana pendek hitam.
"Maaf ya, nggak sengaja." Gadis itu langsung berlari untuk keluar dari bar yang sangat ramai dihuni oleh manusia. Keramaian itu membuatnya tak sengaja tertabrak atau menabrak tubuh orang yang berada di sana.
Gadis itu segera meminta maaf dan buru-buru untuk keluar dari bar. Namun lagi-lagi ia harus menabrak tubuh seorang laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan para wanita berpakaian ketat.
"Santai dong!" bentak Arfin, karena tabrakan dari gadis itu menumpahkan minuman ke pakaiannya.
"Maaf, maaf," ucap gadis itu ketakutan.
"Lo siapa? Kayaknya tempat ini bukan tempat lo." Arfin memandang dengan intens perempuan di depannya ini. Pakaian yang tertutup dan wajah yang polos, sangat tidak cocok untuk berada di tempat yang banyak hal buruk seperti ini.
"Gue kesasar ke sini, sorry ya," tuturnya.
Arfin menautkan alisnya, sedikit tersenyum. Gadis di hadapannya ini cantik juga, cocok menjadi target Arfin yang berikutnya. Apalagi dia tipikal cewek polos sangat mudah untuk ditaklukkan oleh Arfin.
"What's your name, Babe?" Arfin mengulurkan tangannya. Gadis itu tersentak saat Arfin mulai mendekatinya, walaupun ragu dia tetap membalas uluran tangan Arfin.
"Eleena."
"Nama lengkap lo, biar gue tau lo setara sama gue atau enggak." Arfin memang angkuh sama seperti Wisnu jadi tak heran dia bisa dengan mudah berteman dengan anak itu.
"Eleena Safira Dirgantara," jawabnya.
"Arfin Fano Alyas. Lo bisa panggil gue Arfin." Arfin mendekat, "Bisa juga panggil gue sayang," bisiknya.
Eleena terpaku mendengar bisikan Arfin, baru kali ini ia bertemu dengan lelaki gila seperti ini.
"Oh gitu, senang ketemu sama lo." Eleena tersenyum canggung, matanya melihat-lihat sekitar sampai akhirnya mata gadis itu menemukan pintu keluar.
"Gue udah dipanggil sama nyokap gue, so gue pergi dulu, Arfin. Bye." Eleena melambaikan tangannya, lalu segera berlari untuk keluar dari sana.
Arfin tersenyum lebar melihat cara berlari Eleena. Sepertinya pesona gadis itu sudah menarik hati Arfin.
"She's beautiful. I like her," gumamnya yang ternyata didengar oleh gadis yang duduk di sebelahnya.
"Apa lo udah nggak suka lagi sama gue, Ar."
"No, kalian tetap teman gue, tapi untuk kali ini, gue mau ngejer dia dulu."
Arfin menyalakan ponselnya. Mencari nama gadis yang baru ia temui di media sosial, lebih tepatnya di Instagram. Jari-jari Arfin bergerak, menggeser foto demi foto yang terpampang di feed Instagram milik Eleena.
"Gue dapet." Arfin berdiri, berjalan untuk kembali kepada teman-temannya.
"Guys, gue punya info!" seru Arfin, mengalihkan perhatian mereka bertiga.
"Gue ketemu sama cewek yang cakep banget, di bar tadi. Dan istimewanya dia cewek polos, cocok sama gue," ujar lelaki itu.
Perkataan Arfin tak mendapat respon dari ketiga laki-laki ini. Mereka sudah bosan mendengar cerita Arfin yang hanya berpusat pada perempuan saja.
"Dia cantik, dan hebatnya lagi kita sekasta."
Oke, untuk ucapannya yang ini berhasil menarik perhatian Gilang.
"Tumben banget, biasanya lo ketemu sama cewek-cewek nakal. Bisa-bisanya lo ketemu sama cewek sekasta di bar," ujar Gilang bersemangat. Bukan hanya Gilang, Baim juga tertarik ternyata.
"Namanya?" tanya Baim.
"Eleena Safira Dirgantara. Putri tunggal keluarga Dirgantara. Dia cewek cantik, berprestasi dan circle dia isinya orang-orang keren. Hidupnya sangat positif vibes, dan yang bikin keren dia satu kampus sama kita."
"Woah!"
Baim dan Gilang dibuat sangat terkejut dengan informasi singkat tentang Eleena. Gilang tahu betul bagaimana keluarga Dirgantara itu. Keluarga Dirgantara posisinya sama seperti keluarga Aksanta, bahkan kedua keluarga ini lumayan bersaing dalam dunia perbisnisan.
"Cocok buat lo tuh Wis." Baim menepuk-nepuk pundak Wisnu agar lelaki itu sedikit tertarik dengan berita ini. Tetapi yang namanya Wisnu tetap tak akan berubah, dia tidak tertarik dengan perempuan apalagi perempuan polos. Wisnu suka perempuan yang menantang, perempuan yang sulit untuk ia dapatkan, maka Wisnu akan mengejarnya.
...****************...
Mobil mewah berwarna putih itu sampai di pekarangan rumah besar. Gerbang dibuka, dan segera Eleena memarkirkan mobilnya. Gadis itu keluar dengan sedikit terburu-buru, ini sudah lewat dari jam pulang biasanya.
"Habis sudah riwayat gue sekarang." Dan benar, begitu Eleena masuk ke dalam rumahnya, sosok pria dan wanita paruh baya sudah lebih dulu menyambut Eleena dengan tatapan tajam.
"Kenapa baru pulang?" Pertanyaan dari pria yang merupakan ayahnya Eleena membuat bulu kuduk Eleena berdiri. Dia ketakutan, pasti akan dimarahi.
"Maaf yah, tadi macet soalnya." Sungguh jantungnya berdegup kencang saat mengatakan itu. Pertama kali dalam hidup Eleena ia berbohong pada ayahnya. Tapi kalau tidak bohong dia malah akan semakin dimarahi.
"Lain kali kalau mau pulang malam, bilang sama ayah sama bunda." Wanita paruh baya itu menghampiri Eleena, mengelus pundak putrinya.
"Ayah sama bunda cemas di rumah. Karena baru kali ini kamu pulang telat nggak ngabarin El, ditelpon nggak dijawab, di chat tapi nggak dibales, ayah sama bunda takut kamu kenapa-napa." Terlihat ada rautan emosi di wajahnya, namun aura kecemasan lebih terpampang nyata.
"Maaf ayah, maaf bunda," sesal Eleena.
"Iya nggak papa, tapi lain kali jangan gitu lagi ya, Nak." Eleena mengangguk. "Sekarang kamu ganti baju, terus tidur ya, besok kamu harus ke kampus."
Eleena dengan perasaan bersalahnya, masuk ke dalam kamar. Mencharge handphonenya yang sudah kehabisan baterai. Dia duduk di ujung kasur, meminum air yang ada di atas nakas sebelah kasurnya.
"Kok bisa tadi gue akal-akalan ke bar sih njir. Mana malu banget tadi ketemu sama banyak orang, syukur aja ayah sama bunda nggak tau. Coba kalau mereka tau, habis gue sekarang."
Eleena berdiri, melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia harus membersihkan badan sebelum tidur malam ini. Bau alkohol menempel di bajunya, bau yang paling tidak disukai oleh Eleena.
Sedangkan ibunya Eleena, baru saja hendak memejamkan matanya, tapi suara dering ponsel menghentikannya.
"Angkat dulu teleponnya," suruh pria itu.
Wanita yang kini memakai piyama berwarna merah mengambil ponselnya, mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya.
"Halo Ma," sapanya.
"Sin, sebentar lagi ulang tahun Eleena yang ke-20 tahun. Mama nggak mau kamu ngundang mantan kamu," jelas wanita diseberang sana.
"Iya ma, Sinta tau kok."
"Sin, hubungan kamu sama mereka udah berakhir. Jangan pernah deketin mereka lagi dan jauhin Eleena dari mereka juga. Paham!"
"Iya."
"Buang jauh-jauh ingatan kamu terhadap mantan kamu itu."
"Ma, mama udah bilang hal ini sama aku selama 20 tahun, mama nggak capek? Sinta yang denger aja capek loh," omelnya.
"Ini biar kamu selalu ingat Sin. Mereka itu berbahaya, ingat apa yang dulu udah dilakuin sama mereka ke kamu." Sinta menghembuskan napasnya pasrah, setiap dia mendapat telepon dari mamanya selalu saja tentang hal yang sama tak ada yang berubah.
"Jauhin keluarga Aksanta sayang, kalau kamu mau selamat." Mata Sinta terbelalak, selama 20 tahun, baru kali ini ia mendengar ibunya menyebut nama itu lagi.
Sudah 20 tahun Sinta menjauhi nama itu, dan kali ini dengan sangat mudah nama itu keluar dari mulut ibunya.
"Nggak mungkin aku bakal ketemu lagi sama dia."
............
...
Eleena Safira Dirgantara
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!