Ting
Eleena memeriksa notifikasi yang muncul di ponsel yang sedang dia genggam. Jari Eleena bergerak membuka Instagram dan beralih ke DM yang datang dari Arfin
Eleena memutar bola matanya malas, setelah kejadian tadi siang Eleena malas berhubungan dengan siapapun yang ada hubungannya dengan Wisnu, si pria rese yang menuduh Eleena.
^^^Arfin:^^^
^^^El, lo marah sama gue?^^^
^^^Kalau marah sama gue, gue minta maaf ya^^^
Anda:
Gk. Gue gk marah
^^^Arfin:^^^
^^^El, sorry^^^
Anda:
Gue gak marah sama lo Fin, tapi gue kesel sama temen lo yang gak tau diri itu
^^^Arfin:^^^
^^^I know, memang Wisnu keterlaluan tadi^^^
^^^Tapi jangan marah sama gue El^^^
Anda:
Siapa yang marah sama lo. Gue gak marah, gue cuma kesel aja
^^^Arfin:^^^
^^^El, gue minta nomor telepon lo boleh?^^^
^^^I think, we need talk. Gue mau semuanya clear^^^
Anda:
0821xxxxx
Tuh, gue juga bosen ngobrol sama lo lewat DM
Setelah Eleena memberi Arfin nomor teleponnya, Eleena langsung mendapat panggilan dari nomor tak dikenal. Mungkin itu Arfin pikir Eleena maka dari itu gadis itu menjawab panggilan itu.
"Halo," sapa Eleena.
"El, gue Arfin," balas Arfin di seberang sana.
"Kenapa Fin? Harus banget nelfon gue?" Eleena membuka balkon kamar, duduk di sana.
"El, gue pengin minta maaf soal yang tadi. Sorry banget ya, lo pasti kesel banget karena Wisnu. Gue sebagai temannya Wisnu minta maaf atas nama dia sama lo," ujar Arfin. Eleena termenung mendengar kata-kata Arfin, selain laki-laki yang baik Arfin juga teman yang baik. Dia bahkan tidak malu untuk meminta maaf atas nama temannya padahal temannya sendiri tidak merasa bersalah sama sekali.
"Seharusnya bukan lo yang minta maaf sama gue, Fin," kata Eleena.
Arfin yang berada di kamarnya membetulkan posisi duduknya. "Gue tahu El, tapi kalau lo nunggu Wisnu buat minta maaf sama lo, itu nggak akan pernah terjadi. Jadi, untuk nenangin amarah lo gue aja yang minta maaf, karena gue juga takut lo nggak mau temenan sama gue lagi nanti."
Eleena terkekeh kecil, "Fin, gue bakal tetap temenan sama lo kok, karena gue tau lo nggak salah dalam hal ini. Gue nggak sekanak-kanakan itu sampai-sampai harus marah sama orang yang nggak bersalah cuma karena tingkah temennya yang ngeselin," balas Eleena.
"Oh bagus deh, kalau lo masih mau temenan sama gue." Eleena di seberang sana menggelengkan kepalanya heran karena perilaku Arfin yang agak sedikit membuatnya tertawa dan kagum juga. "El, apa besok lo mau makan sama gue?" Setelah mempersiapkan keberanian sedari tadi akhirnya Arfin berani mengucapkan kata itu pada Eleena.
"Makan? Ke mana?"
"Ke kafe atau restoran gitu. Lo bisa pilih tempat manapun yang lo suka, gue traktir," jawab Arfin. Lelaki itu sangat berharap bahwa Eleena menyetujui ajakannya kali ini. Ia sangat ingin mengenal Eleena lebih dalam.
"Boleh." Arfin menjauhkan ponselnya, melompat kegirangan dengan pelan agar Eleena tidak mendengar. Arfin mengatur napasnya agar terdengar biasa-biasa saja.
"Besok kita pergi bareng ya El."
"Ya."
"El!" Suara dari luar mengalihkan perhatian Eleena. "Udah dulu ya Fin, ada yang manggil gue. Bye."
Eleena mematikan panggilan mereka. Dan Arfin memeluk gulingnya di kamar. Ia mulai berkhayal apa yang akan dia lakukan dan dia katakan saat makan bersama Eleena nanti.
"Semoga nggak ada yang ganggu deh," gumam Arfin.
...*****...
Arfin keluar dari kelasnya sangat bersemangat hari ini. Lelaki itu tersenyum sepanjang dia berjalan. Dia menyapa orang-orang kampus dan berhenti sejenak untuk menggoda para gadis tentunya.
"Gue nggak tau kenapa lo selalu seimut ini," puji Arfin, menyenderkan tubuhnya di dinding dan menatap gadis di depannya dengan tatapan nakal. Gadis yang dipuji Arfin tersipu. "Lo buat hati gue meleleh, Babe." Gadis itu mendorong Arfin, pergi dari Arfin dalam keadaan masih sangat tersipu.
Arfin tertawa melihat ekspresi gadis itu, dia kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas Eleena. Setibanya di kelas Eleena, Arfin melihat-lihat di mana Eleena berada. Ternyata gadis itu sedang berbicara dengan seseorang. Arfin menahan dirinya untuk tidak masuk ke dalam dan menunggu Eleena sendiri yang keluar.
Eleena keluar kelas bersama dengan gadis yang tadi mengajaknya ngobrol. "El," panggil Arfin. Eleena menoleh ke Arfin, dia menyuruh temannya itu untuk pergi lebih dulu.
"Cepat banget ya, Fin." Arfin tersenyum malu. "El!" Seorang gadis menepuk pundak Eleena dari belakang. Eleena menoleh ke gadis yang ternyata itu adalah Melinda.
"Pulang bareng yuk," ajak Melinda, menarik tangan Eleena. Tapi Eleena mencegahnya. "Mel, gue ada janji pergi sama orang." Melinda melihat laki-laki di belakang Eleena. Matanya terbelalak dalam pandangan pertama Melinda sudah terpesona oleh aura yang dipancarkan Arfin.
"Ganteng," gumamnya. Melinda menggeser Eleena dan mendekat ke Arfin. "Your name." Melinda mengulurkan tangannya. Arfin membalas uluran tangan Melinda. "Arfin, gue Arfin Fano Alyas."
"Melinda Putri Agustama. Gue sepupu Eleena." Arfin agak sedikit terkejut mendengar nama lengkap Melinda. Ternyata Melinda berasal dari keluarga terpandang.
"Gue—"
"Udah yuk Fin, kita langsung pergi aja." Eleena memisahkan jabatan tangan Melinda dan Arfin. Gadis itu melambaikan tangan ke Melinda dan mengajak Arfin pergi dari sana.
"I like Him," gumam Melinda. "Gue mau dia jadi milik gue."
Sementara Melinda masih terus mengingat Arfin, di sini Arfin dan Eleena sudah masuk ke dalam mobil Arfin. Mereka pergi ke tempat yang sudah Eleena beritahu pada dirinya sewaktu perjalanan menuju tempat parkir.
Tanpa mereka sadari karena terlalu asik berbincang mobil Wisnu mengikuti mereka dari belakang. Wisnu melihat Arfin memasukkan cewek rese, maksudnya Eleena ke dalam mobilnya. Wisnu ingin melihat bagaimana cara Arfin menaklukkan Eleena dan membuat gadis yang mempermalukannya itu menderita.
Setibanya di sana, Eleena dan Arfin duduk di kafe langganan Eleena. Seorang pelayan menghampiri mereka dan memberikan papan menu. Saat Eleena dan Arfin sibuk memilih apa yang ingin mereka makan, Wisnu masuk ke dalam kafe dan hal yang pertama Wisnu lihat adalah Arfin bersama cewek rese yang Wisnu benci. Wisnu memakai topi yang ia keluarkan dari mobilnya, dia memakai topi itu dan mencari tempat duduk.
Kebetulan ada pelanggan yang pergi, jadi Wisnu bisa duduk di sana. Wisnu duduk tepat di belakang Arfin dan Eleena, dari jarak yang pas ini Wisnu bisa lebih mudah memantau Arfin dan cewek rese itu.
Setelah mencatat pilihan Arfin dan Eleena, pelayan itu pergi. Dan pelayan lain berganti mendatangi tempat Wisnu. Wisnu berdecak saat pelayan itu menghampiri dia.
"Americano satu," ucap Wisnu, menyuruh pelayan itu cepat-cepat pergi dari hadapannya. "Ganggu banget sih pelayan tadi," gerutu Wisnu.
Wisnu terus menatap ke arah Arfin dan Eleena yang sibuk sekali mengobrol.
"El, gue nggak tau ternyata selera lo bagus juga. Kafe nya cantik." Arfin melihat-lihat interior dari kafe ini. Interiornya indah sangat memanjakan mata.
"Tempat ini sering gue datangi. Gue suka interior yang soft kayak gini. Dan biasanya di sini gue baca buku," jelas Eleena. Arfin semakin bersemangat untuk mengetahui tentang Eleena lebih dalam. Arfin sudah menyiapkan banyak pertanyaan sejak tadi malam, mungkin sekarang saatnya dia menanyakan hal itu.
"Lo suka baca buku, El? Buku jenis apa?" Bertepatan dengan pertanyaan Arfin seorang pelayan datang membawakan kopi yang tadi dipesan Eleena dan Arfin.
"Tunggu sebentar lagi untuk makanannya. Terimakasih." Pelayan itu pergi dari sana.
Arfin menyentuh tangan Eleena, meminta gadis di depannya ini menjawab pertanyaan tadi. "Ah iya, gue suka baca buku. Kadang novel terkadang buku self improvement, kadang buku-buku yang berkaitan dengan matkul gue."
"Rajin banget baca buku. Gue lebih rajin main game," balas Arfin. "Coba deh sesekali baca buku, lo bakal ketagihan," kata Eleena, menyedot minumannya.
"Selain baca buku, lo punya hobi apalagi El?" Arfin kembali bertanya. "Emmm, gue pikir gue suka ngelukis. Kayak tenang aja gitu bawaannya."
Arfin mengangguk pelan, dari segi hobi saja Arfin sudah kalah telak dari Eleena. Hobi Eleena sangat positif sekali, berbeda dengan Arfin yang hobinya berbicara sendiri, main game, berguling-guling di kamarnya, menggoda para gadis. Tidak ada satupun hobi Arfin yang bermanfaat.
"Kalau lo?" tanya Eleena. Arfin menatap Eleena bingung. "Apa hobi lo?"
Arfin menggeleng. "Gue nggak punya hobi, nggak punya kelebihan juga. Tapi kalau lo tanya apa kelemahan gue, gue bisa jawab sih," jawab Arfin. Eleena menggeleng sembari menelan minumannya. "Nggak Fin, setiap manusia punya hobi dan kelebihan sendiri-sendiri pasti lo punya juga."
"Enggak El, gue nggak punya apa-apa yang bisa dibanggakan," jelas Arfin. "Oke, gue pengin denger apa prestasi lo?" tanya Eleena serius.
Arfin menghela napas panjang. "Kelebihan aja gue nggak punya El, apalagi prestasi."
"Enggak. Pasti ada." Eleena tetap bersikeras bahwa Arfin punya kelebihan.
"Oke, oke, gue ingat-ingat dulu apa prestasi gue." Arfin terdiam sejenak, memikirkan apa prestasi yang bisa dia pamerkan pada gadis ini. "Dulu, waktu gue SD, gue pernah dapat kejuaraan badminton tingkat provinsi, walaupun cuma dapat perunggu. Terus waktu SMP, gue diam-diam ikut kompetisi modeling, dan ternyata gue lolos. Gue lolos sampai babak Final walaupun gue nggak menang saat itu."
"Serius? Lo bisa modeling?" Arfin mengangguk bangga. "Tapi gue nggak ngasih tau siapapun saat gue daftar modeling termasuk bokap gue sendiri. Dan pas bokap gue tau gue ikut modeling dia marah sama gue. Dan gue pikir-pikir itu lomba terkonyol yang pernah gue ikutin sepanjang gue hidup." Arfin terkekeh mengingat bagaimana marahnya ayahnya saat tau dia mengikuti lomba seperti itu.
"Terus, waktu gue SMA, gue selalu masuk lima besar di kelas gue. Makanya gue masuk Ilmu Komunikasi lewat jalur SNMPTN atau sekarang namanya SNBP lah. Dan bodohnya waktu itu, gue cuma ngisi pilihan satu doang karena gue ngebet banget pengin masuk Komunikasi dan nggak mau manajemen. Dan lihat, gue berakhir dimarahi sampai sekarang." Arfin yang awalnya bercerita dengan semangat, kini mulai melesu. Permintaan ayahnya untuk ia meninggalkan Komunikasi membuat Arfin masih sakit hati.
Eleena yang menyadari perbedaan di raut wajah Arfin, mengelus telapak tangan Arfin. "It's okay. Masalah yang kemarin nggak usah terlalu dipikirin. Mending fokus aja sama makanan lo tuh." Arfin melihat ke meja mereka dan benar sudah ada makanan yang tadi Arfin pesan. Arfin memijit pelipisnya karena terlalu terbawa perasaan Arfin bahkan sampai tidak sadar kapan makanan itu datang.
Kebersamaan Eleena dan Arfin membuat amarah Wisnu kembali lagi. Lelaki itu memukul meja yang menjadi tempat tangannya bertumpu. "Arfin kurang ajar. Bukannya buat cewek rese tu menderita malah dia cengengesan sama cewek gila itu."
"Semoga jatuh minuman lo!" Wisnu menyumpahi Arfin karena rasa jengkelnya terhadap Arfin. Dan benar saja, tak lama minuman Arfin jatuh terkena senggolan dari seorang pelayan dan menumpahi kemeja Arfin. Wisnu sempat terheran ternyata sumpahnya bisa jadi kenyataan juga.
"El, gue ke toilet dulu." Arfin pergi ke toilet untuk membersihkan tumpahan kopi dari kemejanya. Dan kesempatan ini Wisnu manfaatkan untuk mengikuti Arfin.
"Ceroboh banget sih pelayan tadi," omel Arfin, membersihkan tumpahan kopi. Saat Arfin sedang fokus membersihkan tumpahan kopi ada tangan yang menarik baju Arfin sehingga laki-laki itu berbalik ke belakang.
Dan orang yang menarik baju Arfin adalah Wisnu. Wisnu menarik kerah Arfin kuat, hampir membuat lelaki malang ini tercekik.
"Fin, gue nyuruh lo buat bikin cewek rese itu menderita. Bukan malah lo deketin dia bego!" Arfin melepaskan cengkraman tangan Wisnu dari kerahnya. Arfin membetulkan kemejanya yang berantakan.
"Wis, lo tenang aja, permintaan lo itu bakal terlaksana. Justru ini bagian awal dari aksi gue. Seperti yang lo bilang gue bakal bikin El jatuh cinta sama gue. Sampai dia mau sukarela nyerahin tubuhnya buat gue," jelas Arfin. "Lewat pendekatan yang gue lakuin sama El, gua yakin dia bakal jatuh dalam perangkap gue. Karena setelah gue pikir-pikir yang lo bilang bener. Kesempatan cuma terjadi sekali."
Wisnu tersenyum, dia tak menyangka bahwa Arfin punya aksi yang perlahan tapi pasti. Arfin ternyata lebih cerdas dari yang Wisnu bayangkan. Wisnu tak salah pilih orang untuk membantunya menjebak Eleena.
"Gue mau nyicipin tubuh El. Jadi gue bakal jalani rencana lo. Anggap aja pembalasan lo udah selesai, Wis. Lo pulang ke rumah lo dengan tenang, jangan pikirin hal ini. Semuanya beres kalau udah sama gue." Arfin menepuk pundak Wisnu dan kembali membersihkan noda kopi yang belum sepenuhnya hilang.
"Gue pergi." Wisnu keluar dari toilet berjalan menuju mobilnya. Dia membuka topinya, melajukan mobilnya pergi dari sana dengan perasaan bahagia. "Arfin terbaik," batin Wisnu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments