Eleena yang baru saja keluar dari mobilnya berjalan menuju kelas. Sebenarnya kelas mereka dibuka pukul 10.00 WIB, tapi Eleena si gadis rajin selalu datang paling awal, padahal jarum jam saja baru menunjukkan pukul 08.30 WIB.
Sebelum ke kelas, Eleena mampir untuk membeli air mineral. Eleena si gadis pelupa selalu saja meninggalkan botol minumannya di rumah.
"Bu, saya pesan air mineral satu ya." Pedagang itu memberi minumannya dan Eleena memberi uangnya.
Eleena pergi dari kantin dan disisi lain Wisnu baru saja datang ke kantin. Lelaki itu membeli sesuatu di tempat yang sama seperti Eleena. Wisnu memperhatikan gadis yang berjalan di depannya, dari belakang seperti tidak asing, tapi ia lupa siapa.
"Ini Mas." Wisnu memberi uangnya lalu segera pergi dari sana. Wisnu yang ingin ke kelasnya melewati sisi kiri kantin sedangkan Eleena yang melewati sisi kanan kantin.
Wisnu dan Eleena berada di tempat yang sama, mereka dekat tapi berada di jarak yang sangat jauh untuk digapai. Wisnu sempat berhenti untuk melihat siapa gadis yang memakai jepitan rambut berwarna putih, Wisnu berusaha melihat wajahnya tapi tidak bisa. Wisnu merasa ia dekat dengan gadis yang berjalan membelakanginya.
Wisnu melirik jam tangannya, buru-buru ia pergi dari kantin menuju kelas agar tidak terlambat. Dan Eleena merasa ada sebuah perasaan yang tiba-tiba datang dari hatinya. Gadis itu berbalik, ia melihat ada banyak orang di kantin tapi matanya membawa gadis itu untuk melihat laki-laki yang berjalan agak sedikit berlari. Laki-laki yang sama-sama menenteng air mineral seperti dirinya.
Eleena tersenyum menatapnya, dari belakang lelaki itu terlihat luar biasa. Eleena yang penasaran siapa laki-laki yang tiba-tiba saja menarik perhatiannya memutuskan untuk mengikuti ke mana laki-laki itu pergi.
Wisnu yang buru-buru mengambil sesuatu dari kantung celananya yang tanpa sengaja malah menjatuhkan kartu debit miliknya.
"Tunggu! Ada yang jatuh!" Eleena menjerit untuk memanggil lelaki itu, tapi karena kondisi di Universitas Binawa yang ramai membuat lelaki itu tak menoleh malahan orang lain yang menoleh.
"Bukan apa-apa, sorry ya," ucap Eleena saat orang-orang melihat ke arah dirinya karena teriakannya tadi. Eleena mengambil kartu debit yang terjatuh. "Gue harus balikin, tapi siapa orangnya? Gue aja nggak kenal," gumam Eleena melihat kartu debit yang tadi tergeletak seperti tidak ada harganya.
"El!" Seorang gadis menepuk pundak Eleena dari belakang. Eleena yang terkejut tak sengaja menjatuhkan kartu debit tadi. Gadis itu melihat barang apa yang dijatuhkan Eleena.
"Ini apa?" Gadis itu mengambil kartu debit yang tadi Eleena jatuhkan. "Punya orang, Mel." Eleena mengambil kartu debit itu dari tangan temannya. Ia memasukkan kartu debit ke dalam tas nya.
"Udah ramai di kelas?" tanya Eleena pada temannya, tapi gadis itu menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Ke kelas aja yuk," ajak Eleena, menarik tangan temannya untuk pergi bersama.
"El itu punya siapa? Kok bisa ada sama lo? Dan kenapa bisa ada di elo?" tanya gadis itu bertubi-tubi.
"Nanya satu-satu dong Mel," balas Eleena, heran melihat tingkah temannya yang satu ini.
"Makanya jawab aja," tekan gadis itu. "Kepo banget lo ya," ejek Eleena.
"El, gue ini Melinda Putri Agustama. Gue anak kedua dari Chandra Agustama yang di mana bokap gue adalah abang dari nyokap lo. Dari kecil gue di didik untuk bisa dapatin apa yang gue mau. Dan gue mau lo ngasih tau gue tentang kartu itu dan lo harus ngasih tau gue, atau gue bisa pakai cara lain nanti." Nada akhir dari ucapan gadis yang merupakan sepupu Eleena terdengar seperti ancaman.
Eleena menghela napas, mau tak mau dia harus berbicara tentang kartu ini daripada Melinda melakukan hal yang tidak-tidak nantinya.
"Kartu ini, gue nggak tau punya siapa," ujar Eleena. "Lo nggak tau? Jadi gimana bisa ada sama lo?"
Eleena berdecak kesal terkadang reaksi dari Melinda terlalu berlebihan sampai-sampai orang yang melewati mereka menengok ke arah Eleena dan sepupunya. Eleena duduk disalah satu kursi yang tersedia di lorong kampus, yang diikuti Melinda duduk di sebelah Eleena.
"Jadi gini, ni kartu." Eleena mengeluarkan kartu debit itu dari dalam tas dan menunjukkannya pada Melinda. "Tadi jatuh. Ada cowok yang jatuhin kartunya ini, dan gue nggak tau dia siapa. Gue udah manggil tapi dia nggak nengok malah orang lain yang nengok," jelas Eleena. "Dan gue ada niatan buat balikin kartu ini. Pasti yang punya panik karena dia pikir kartunya hilang," lanjut Eleena.
"Gimana lo balikinnya? Emang lo tau dia siapa?" Eleena menggeleng pelan. "Lo ingat ciri-ciri dari cowok yang tadi? Siapa tau dari sana kita bisa cari dia nanti." Eleena terdiam sejenak memikirkan apa ciri-ciri dari lelaki yang sempat menarik perhatiannya sejenak.
"Dia tinggi, gue liat tadi dia pakai jam yang kayaknya jam Rolex, celana hitam dan kemeja abu-abu terus ada garis-garis hitamnya kalau gak salah." Eleena masih berusaha mengingat apalagi yang tadi sempat ia lihat dari laki-laki itu.
"Mukanya gimana? Ganteng nggak?" tanya Melinda excited. "Nggak tau Mel, kan gue nggak lihat tadi," jawab Eleena.
"Kalau ganteng kan lumayan buat gue," ucap gadis itu. Eleena memukul jidat gadis di depannya ini pelan. "Lo udah punya pacar ingat, kasihan cowok lo," peringat Eleena. "Udah kita ke kelas aja." Eleena bangkit dari duduknya disusul Melinda yang masih terus mengoceh tentang pikirannya bahwa laki-laki yang Eleena cari nanti akan sangat tampan.
...****...
"Kartu gue mana?" Tangan Wisnu bergerak meraba kantungnya, mencari di mana kartu debitnya berada.
"Kenapa?" tanya Gilang bingung. "Kartu gue hilang!" Wisnu mencari di mana kartu debitnya di dalam tas, tapi tetap tidak ada.
"Kok bisa?" Baim bertanya. "Daripada banyak nanya, mending bantu gue cari kartunya!" bentak Wisnu. Gilang dan Baim yang tersentak membantu Wisnu mencari di mana kartu milik lelaki itu. Baim dan Gilang bahkan sampai mencari kartu Wisnu di dalam tas mereka yang sudah pasti tidak ada di sana.
"Mungkin di mobil lo kali," saran Baim. Wisnu berlari ke luar dari kelas menuju tempat parkir.
"Kalau kartunya hilang, bisa habis gue sama papa," batin Wisnu. Wisnu membuka mobilnya, mencari kartu debit itu. Gilang dan Baim yang baru datang pun membantu Wisnu mencari kartunya. Mereka mencari dan mengacak barang-barang yang ada di dalam mobil. Namun hasilnya tetap sama, kartu debit milik Wisnu tidak ditemukan.
...*****...
Eleena yang baru keluar dari kelasnya mendapati Arfin yang sedang melambaikan tangan ke arah dirinya. Arfin berada di luar kelas Eleena.
"Fin, kejutan banget. Ngapain ke kelas gue?" Arfin hanya cengengesan saat Eleena menghampiri dirinya dan jantungnya yang kembali berdegup kencang.
"Sorry ya gue tiba-tiba datang, gue pengin ngajak lo pulang bareng," jawab Arfin. "Tapi gue bawa mobil Fin, gue bisa pulang sendiri." Senyuman Arfin perlahan luntur, penolakan halus dari Eleena langsung menyakiti hati mungil Arfin.
"Oh gitu, kalau gitu boleh lah kita bareng-bareng ke tempat parkir," ajak Arfin penuh harapan. Eleena mengangguk, "Okelah." Arfin tersenyum lebar. Sekarang dirinya dan Eleena berjalan bersama ke tempat parkir, Arfin ingin sekali berteriak kegirangan tapi lelaki itu harus menjaga imagenya.
Arfin memperhatikan Eleena, lelaki itu menyeletuk, "Lo cantik juga ya pakai kacamata."
Eleena tersipu, seketika tangannya spontan merapikan kacamata yang berada diwajahnya. "Makasih."
"Kenapa pakai kacamata, El?"
"Gue min, min gue 1,3. Jadi mau nggak mau gue harus makai kacamata," jawabnya. "Selama ini enggak?"
"Gue males, lebih sering pakai softlens, tadi pagi pas bunda marah baru gue pakai." Arfin tertawa mendengar cerita Eleena. Mata Arfin terus melirik ke Eleena, wajah Eleena yang cantik membuat Arfin tak bisa memalingkan pandangan.
"Fin lo tau siapa yang punya kartu ini nggak?" Eleena berhenti, mengeluarkan kartu debit yang tadi ia temui dan menunjukkannya pada Arfin. Arfin fokus memperhatikan kartu di hadapannya. Arfin mengambil kartu itu dari tangan Eleena, rasanya tidak asing ia sering melihat kartu ini dari seseorang.
"Punya siapa?" tanya Arfin. Eleena mengangkat bahunya pertanda ia tak tahu. "Yang pasti itu punya cowok tinggi, pakai jam Rolex terus kemeja abu-abu ada garis-garis hitamnya," jawab Eleena.
"Kayaknya gue tau deh. Ayo ikut." Arfin menggenggam tangan Eleena membawa gadis itu ke tempat pemilik kartu ini.
"Lihat Wisnu nggak?" tanya Arfin pada salah satu mahasiswa yang keluar dari kelas Wisnu. Mahasiswa itu menggeleng dan pergi. Arfin membawa Eleena pergi ke tempat parkir karena jika jam pulang sudah tiba Wisnu dan yang lainnya akan langsung pergi dari kampus.
"Semoga Wisnu belum pergi," batin Arfin, menambah laju jalannya agar cepat sampai.
"Itu." Tangan Eleena menunjuk ke arah Wisnu yang sedang membelakangi mereka dan menaruh tangannya dipinggang. "Bajunya sama persis." Arfin menarik tangan gadis itu menghampiri Wisnu dan teman-temannya yang lain.
"Wis," panggil Arfin. Wisnu menoleh, selama beberapa saat ia dan Eleena bertatapan. Angin segar menerpa kulit keduanya. Tapi itu tak berlangsung lama, saat mata Wisnu menangkap ada kartu debitnya ditangan Arfin.
Wisnu mengambil kasar kartu debitnya dari tangan Arfin. "Kenapa ada sama lo?"
"Itu, sebenarnya sama gue tadi," jawab Eleena. Mata tajam Wisnu tertuju pada gadis disebelah Arfin. Sangat jujur dia, tapi amarah Wisnu tidak menyukainya. Baim dan Gilang berjalan mundur menjauhi mereka berdua, kedua lelaki itu sudah siap akan apa yang terjadi nantinya.
"Gue—"
"Tolol banget lo!" potong Wisnu. Eleena tersentak mundur beberapa langkah menjauhi Wisnu. "Seberapa miskin lo sampai-sampai harus nyuri kartu gue. Gue tau harga diri lo rendah, tapi jangan kartu gue yang lo ambil. Perempuan kayak lo yang nggak punya harga diri seharusnya nggak usah berkeliaran di sini."
Plakk
Satu tamparan mendarat dipipi Wisnu. Warna merah terpampang dipipi sebelah kanan lelaki itu. "Kalau punya mulut dijaga! Jangan cuma buat ngehina orang lain aja!" bentak Eleena. Wisnu mengelus pipinya yang baru saja ditampar Eleena.
"Berani banget lo nampar gue." Arfin mencoba mencegah Wisnu tapi lelaki itu didorong oleh Wisnu.
"Kenapa? Nggak suka? Lo bahkan pantas dapatin yang lebih dari tamparan tadi. Sikap lo lebih buruk daripada orang gila!" Eleena dan Wisnu saling menatap tajam satu sama lain. Wisnu mencengkram erat tangan Eleena dan Eleena membalas dengan mencengkram tangan Wisnu sekuat yang ia bisa.
"Wis, lo salah paham, ini—"
"Lo diem!" bentak Wisnu. Gilang dan Baim menarik Arfin untuk berdiri bersama mereka di belakang Wisnu. "Lo jangan ikut campur Fin, nanti bisa beda ceritanya," bisik Baim.
"Jangan ada yang ikut campur sama urusan gue dan cewek rendahan ini!" tegas Wisnu.
"Mulut lo bisa sopan nggak sih?!" Eleena berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Wisnu tapi Wisnu semakin menguatkan cengkramannya.
"Berapa harga lo? Lebih murah dari nominal dikartu gue?"
"Jaga ya omongan lo!" bentak Eleena, masih berusaha melepaskan cengkraman tangan Wisnu walau tangannya sendiri masih mencengkram tangan Wisnu. "Gue nggak nyuri kartu lo. Gue ketemu!"
"Ketemu? Ketemu di mana?" tanya Arfin, sengaja mengalihkan perhatian Wisnu. Lelaki itu membantu Eleena melepaskan cengkraman tangan Wisnu. "You okay?" Eleena mengangguk. "Thanks."
"Ketemu di mana El?" tanya Arfin lagi. "Di kantin. Tadi gue liat dia jatuhin kartunya dari kantung celana."
"Oh ya? Terus kenapa nggak manggil gue? Takut kalau gue ngambil kartu gue dan lo nggak bisa manfaatin kartu gue, kan?" sindir Wisnu.
"Jaga omongan lo gue bilang!" Arfin mencegah Eleena yang hendak memukul Wisnu lagi. Arfin menggeleng pada Eleena. Berusaha menenangkan gadis itu dan berhenti menganggu Wisnu.
"Heh denger ya cowok sialan, gue tadi udah manggil lo tapi telinga lo aja yang nggak berfungsi dengan baik. Makanya nggak denger teriakan gue!"
"Lo bilang gue budek?!" Eleena tersenyum. "Bukan gue yang bilang."
"Cewek rese!"
"Wis, udah!" Arfin menghentikan tangan Wisnu yang sudah terangkat untuk menampar Eleena. Wisnu menghempaskan tangan Arfin. "Lo ganggu banget sih, Fin! Segila itu ya lo sama cewek ini!" umpat Wisnu.
"Bukan gitu, lo salah paham. Kasih kesempatan El buat jelasin semuanya. Nggak semua masalah bisa diselesaikan sama amarah Wis." Arfin berusaha membujuk Wisnu.
"Lo pergi," usir Wisnu. Eleena menunjuk dirinya sendiri. "Iya elo. Lo pergi dari hadapan gue sekarang. Jangan buat gue pengin mukul lo di sini."
"Maksud lo apa, hah?!" pekik Eleena. "El udah, mending pergi sekarang. Wisnu lagi marah sama lo jangan buat dia makin marah sama lo," tutur Arfin.
"Temen lo emang nggak tau diri banget ya, udah ditolongin tapi nggak tau terimakasih. Masih mending gue balikin tu kartu, kalau nggak udah gue bakar!" ancam Eleena. Gadis itu mendekati Wisnu, menatap tajam mata lelaki yang sok ini.
"Denger ya, Wisnu Putra Aksanta, harga diri gue lebih mahal dari seluruh harta yang lo punya. Dan gue kasih lo peringatan, jangan pernah main-main sama Eleena Safira Dirgantara." Eleena menjentikkan jarinya dua kali di hadapan Wisnu. Sebelum pergi, kaki Eleena menginjak kaki Wisnu terlebih dahulu.
"Anjir!" Wisnu memekik kesakitan kakinya yang dipijak menggunakan highells milik Eleena. "Dasar cewek nggak guna! Nggak tahu diri! Awas lo ya, awas! Gue bakal balas perbuatan lo cewek gila!" Wisnu terus mengumpat di sana, tapi Eleena tak peduli. Gadis itu memasang earphone ke telinganya dan masuk ke dalam mobil.
Mobil Eleena melaju dan berhenti tepat di depan Wisnu yang kesakitan dan ketiga temannya. Eleena membuka kaca mobilnya. Dia melepaskan jepitan rambut yang ia punya lalu melemparkannya ke Wisnu.
"Harga jepitan gue bahkan lebih mahal dari nominal kartu lo itu. Tapi nggak papa, gue kasih ke lo sebagai sedekah sama orang tidak mampu." Eleena menaikkan kaca mobilnya dan pergi dari pekarangan kampus.
"Cewek gila!" umpat Wisnu. "Arfin." Wisnu menarik baju Arfin. "Gue nggak mau tau, gimanapun caranya lo bales cewek itu. Lo buat dia menderita. Kalau lo nggak bisa buat dia menderita, gue sendiri yang bakal turun tangan." Arfin menggeleng pelan. "Lo tau, kan gimana kalau gue yang buat dia menderita? Gue tau lo suka sama tu cewek, jadi sebelum gue yang buat dia menderita lo yang lakuin tugas itu."
Wisnu mendorong Arfin hingga lelaki itu hampir terjatuh. Wisnu mengutip kartu debitnya yang jatuh di tanah, dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobil itu hingga menghilang di tengah jalanan.
Arfin mengambil jepitan rambut milik Eleena. Lelaki itu menatap jepitan rambut penuh dengan penyesalan. "Maaf El," batin Arfin.
"Udah jangan sedih, mending pulang." Baim merangkul pundak Arfin. "Kita pulang bareng, lo anter gue sama Baim. Kita nggak bawa motor," imbuh Gilang.
"Yap itu benar, jadi lo anter gue sama Gilang, ayo." Baim mendorong Arfin pelan agar lelaki itu cepat berjalan dan segera mengantar mereka pulang ke rumah dengan selamat.
...***...
Tatapan Wisnu ke Eleena 😠
Tatapan jengkel Eleena ke Wisnu 😤
Arfin yang pusing 😮💨
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments