Jam makan malam hampir tiba, tetapi Rama bahkan belum pulang sampai sekarang. Meethila—istrinya menunggu dengan cemas kepulangan suaminya. Pasalnya Rama sama sekali tidak bisa dihubungi, biasanya Rama tidak pulang semalam ini, ia akan selalu pulang 1 jam sebelum makan malam dimulai, tapi ini semua orang sudah berkumpul dimeja makan namun Rama tak kunjung datang juga.
"Kenapa sih Ma?" Wisnu menghampiri Meethila yang tampak cemas. "Mama nggak papa sayang," balas Meethila.
"Udah, mama duduk aja, bentar lagi papa bakal pulang mama jangan cemas ya," ucap Wisnu, membawa Meethila. untuk duduk di kursi meja makan.
"Wis, kamu nggak buat masalah apapun di kampus, kan?" tanya Meethila tiba-tiba. Wisnu yang hendak mengambil nasi pun terhenti karena ucapan ibunya ini.
"Apaan, nggak ada. Mama jangan kayak papa deh," tepis Wisnu, kembali mengambil nasi dan lauk pauk untuk ia makan.
"Mama itu cemas, papa kamu nggak pulang-pulang," balas Meethila. Jarak meja makan dan pintu masuk utama yang terbilang cukup dekat membuat Meethila tak henti-hentinya melihat ke arah pintu. Ia berharap bahwa suaminya akan datang segera.
"Sebentar lagi Rama pulang Meet, kamu tenang aja ya," ujar wanita paruh baya yang merupakan ibunya Rama. Meethila menatap lesu piringnya yang masih kosong. Saat yang lain sudah makan malam wanita itu tak tega untuk makan terlebih dahulu tanpa menunggu sang suami.
Mata Meethila langsung tertuju pada pintu utama saat ia mendengar bel rumah yang berbunyi. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Dan benar saja Rama yang pulang, Meethila yang sedari tadi menunggu dengan cemas kini rasa cemasnya menghilang.
"Maaf aku lama." Rama mencium kening istrinya.
"Ya Mas nggak papa, tapi lain kali kamu bisa dihubungi dong aku cemas di sini."
"Iya, tadi kebetulan hp aku lowbat makanya nggak bisa dihubungi," balas Rama. "Aku mandi sebentar ya, kamu makan duluan aja sana." Rama berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
Meethila kembali ke meja makan, duduk makan bersama yang lain setelah menyajikan makanan dipiring suaminya yang belum datang.
Suasana makan malam keluarga Aksanta begitu tenang, bahkan ketika Rama bergabung semuanya hening dan fokus pada makanan masing-masing. Inilah salah satu hal yang membuat Wisnu tidak suka pada keluarganya sendiri. Mereka terlalu sibuk pada urusan masing-masing, tidak ada keharmonisan, yang ada hanya kesibukan. Tidak ada berbagi cerita setelah seharian penuh dengan kegiatan, menonton acara bersama, pergi berlibur bersama. Semuanya tidak ada, keluarga Wisnu terlalu kaku untuk melakukan itu semua. Padahal waktu kecil dulu Wisnu sangat berharap keluarganya bisa pergi berlibur bersama tapi tidak ada yang bisa, ayahnya sibuk dengan urusan kantor, ibunya sibuk dengan urusan di butik, kakeknya sibuk dengan bisnisnya yang lain dan nenek Wisnu yang sibuk dengan arisan-arisan yang tidak jelas.
Waktu Wisnu kecil dulu, ia selalu menangis saat Rama menolak ajakannya untuk bermain bersama, tapi lambat laun Wisnu mulai terbiasa dengan semua hal itu. Bukan memaklumi kesibukan Rama hanya mengikhlaskan momen kebersamaan bersama ayahnya yang hilang.
"Kaku banget sih ni keluarga, bosen banget gue," batin Wisnu, melirik ke arah setiap anggota keluarga yang sedang makan, berharap akan ada yang membuka obrolan tapi nyatanya tidak ada satupun yang ingin membuka obrolan termasuk papanya sendiri. Rama tidak ada menjelaskan alasannya telat pulang. Makan bersama mereka hanya sekedar formalitas saja, karena tidak ada keasikan di dalamnya.
"Siap." Wisnu berdiri, pergi dari meja makan menuju kamarnya. Tidak ada hal istimewa yang bisa membuat Wisnu berlama-lama di meja makan.
Rumah yang begitu besar ini begitu sunyi, Wisnu hanya sendirian. Sejak kecil tidak ada yang memberikan Wisnu perhatian yang membuat Wisnu kagum. Hanya perhatian dari Meethila saja yang Wisnu ingat.
"Di rumah ini yang waras cuma mama aja, yang lain nggak ada," gumam Wisnu. Lelaki itu merebahkan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamar. Mengingat dan memutar memori masa kecilnya kembali.
Wisnu sangat ingat ketika dia sakit dulu hanya Meethila saja yang panik dan menjaga Wisnu seharian. Rama tetap saja sibuk di kantor, kakek dan neneknya juga hanya sekedar menanyakan keadaan Wisnu bukannya membantu Meethila menjaga Wisnu yang saat itu sedang demam tinggi.
Bisa dibilang hanya Meethila saja yang benar-benar menyayangi Wisnu dengan sepenuh hati. Meethila tetap berusaha meluangkan waktunya untuk bermain bersama Wisnu walaupun dia sibuk di butiknya, bahkan setiap ada acara sekolah hanya Meethila saja yang datang. Padahal acara itu membutuhkan kehadiran kedua orang tua tapi tetap saja Rama tidak mau meluangkan sedikit waktu untuk anak semata wayangnya itu.
Wisnu bahkan sempat berpikir bahwa dia hanyalah anak angkat Rama. Mungkin saja sebenarnya Meethila adalah seorang janda dan Rama menikahi ibunya karena kasihan makanya Wisnu tak pernah diberi kasih sayang olehnya. Tapi itu pikiran Rama saat ia masih kecil dulu sekarang dia sudah tidak berpikir seperti itu lagi. Karena bukan hanya keluarganya saja yang mengalami hal seperti ini, keluarga temannya—Arfin juga mengalami hal yang sama. Tidak ada keharmonisan di keluarganya padahal Arfin adalah anak kandung mereka. Jadi bukan anak tiri yang menjadi alasannya, karena anak kandung saja bisa diasingkan.
Para orang kaya ini mereka terlalu sibuk meniti karir mereka sampai menelantarkan keluarganya sendiri. Keluarga yang membuat Wisnu iri sejauh ini hanya keluarga Gilang. Gilang memang bukan anak orang kaya seperti dirinya, tapi perhatian dan kasih sayang yang diberikan keluarga Gilang lebih baik daripada yang ia dapat. Itu alasan Wisnu tidak suka berlama-lama di rumah Gilang, karena melihat keharmonisan keluarga Gilang, rasa iri timbul dihati Wisnu.
Tok tok
Ditengah lamunan Wisnu, suara ketukan pintu itu terdengar sampai ke telinganya. Wisnu bangkit untuk membuka pintu kamarnya. Dan terlihatlah Meethila yang sedang membawakan makanan di tangannya.
"Mama ngapain?" tanya Wisnu. Meethila tidak menjawab, dia malahan duduk di sofa kamar Wisnu dan menyuruh anak itu untuk duduk di sebelahnya.
"Mama masakin kue buat kamu, Nak. Tadi kamu bilang sama Gilang kalau kamu pengin makan kue yang dibuat sama mama Gilang, kan? Kenapa nggak langsung bilang aja sama mama, mama bakal langsung dibuatin," jelas Meethila, memotong kue yang sudah ia buat.
Meethila menyuapi Wisnu dengan senyuman yang lebar. "Nak, kamu nggak boleh ngerasa sendiri ya, jangan ngerasa kamu nggak disayang juga, mama itu sayang banget sama kamu." Meethila mengelus kepala anaknya. "Kamu anak mama yang paling mama sayang, kamu keberuntungan mama. Dan mama sayang sama Wisnu." Wisnu membuka mulutnya lagi untuk memakan kue dari tangan Meethila dengan mata yang berkaca-kaca.
"Mama...." Wisnu memeluk Meethila erat yang tanpa sadar menjatuhkan air matanya.
Tidak semua keluarga memiliki hal istimewa di dalamnya, dan tidak semua keluarga memiliki perhatian di dalamnya. Ada banyak keluarga di luar sana yang memiliki nasib sama seperti Wisnu atau bahkan lebih buruk dari itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments