Sehari setelah ia tidak berangkat kerja, paginya ia datang ke ruanganku. Aku datang lebih cepat, karena berpikir Bunga tidak akan berangkat lagi dan hari ini aku akan repot seperti kemarin meng-handle pekerjaannya.
"Ini surat keterangan dokternya, Pak. Maaf, Saya kurang sehat dan butuh istirahat." Bunga menyodorkan sebuah amplop di depan mejaku.
Aku memandangnya dengan lekat, tapi aku diam tak meresponnya. Aku ingin tahu, apakah ia mengerti jika aku marah padanya.
"Pak, ini." Bunga makin mendorong amplopnya ke depanku.
Aku mengangkat alisku samar, tanda aku mengerti dengan amplop tersebut. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, karena ia malah memamerkan giginya.
"Saya lanjut kerja ya, Pak?" Bunga menunjuk pintu ruanganku.
Aku tetap diam, aku masih memandangnya dalam. Aku tidak berekspresi sama sekali, aku tetap memandangnya datar.
"Kenapa, Bapak? Bapak Handaru, kenapa ya? Ada masalah apa ya, Bapak?" Ia terkekeh kecil, ia berjalan ke arah pintu dan menguncinya.
Ia melangkah perlahan dengan melepaskan dua buah kancing yang berada di bagian dadanya. "Aku baru pulang pagi tadi, berangkat kerja pun dari tempat Hema. Nih, rok span yang Bapak ingin kemarin." Ia menarik tanganku, kemudian menempatkannya di alas duduknya.
"Kamu bekas Hema!" Aku me***** alas duduknya.
Ia meringis. "Memang, aku bahkan punya anak sama dia." Dia tertawa sumbang.
"B***l!" Aku menarik dagunya kasar, kemudian melahap bibirnya.
Emosiku berbaur dengan b*****ku. S**s kali ini begitu memabukan, sensasinya tanpa batas dan membawaku lebih lupa bahwa kami melakukannya di ruanganku.
Aku ingin marah padanya, ingin mencecarnya dari awal. Tapi rindu ini begitu sialan, membuatku kalah dengan sajian yang ia hidangkan.
"Kasar betul, Abang. Rasanya kek lecet." Bunga mencoba bangkit dari pangkuanku.
"Belum selesai, Sayang." Aku menekan p******nya ke bawah.
Ia menggigit bibir bawahnya begitu seksi. "Mentok betul, Abang." Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku.
Tok, tok, tok….
Aku teringat saat aku tengah akan memulai dengan Harum, kemudian Bunga datang untuk melamar pekerjaan. Seperti dejavu yang begitu konyol, aku panik dan malah akan segera kl****s.
"Abang…." pekiknya tertahan.
"Bunga…." Napasku berat sekali keluar.
Aku mengangkat dirinya sedikit, hingga warisanku benar-benar terlepas. Kemudian aku memijatnya pelan, hingga anak-anakku gugur kembali untuk tumbuh di rahim.
Aku pasti berceceran.
"Han…." Suara itu suara ayah.
"Han, kamu di dalam?" lanjutnya kemudian.
Sejak hari itu sampai hari ini, ayah memang stay di rumah. Kemarin ia tidak datang ke tempat kerjaku, tapi aku tidak menyangka jika hari ini beliau malah datang.
"Aku tanggung, Abang." Tangan Bunga membawa wajahku mendongak menatapnya.
Kasihan sekali, ia sepertinya belum selesai.
"Nanti kita lakuin lagi. Minta tolong bantuin bersihin, itu suara ayah." Aku mencoba membantunya untuk turun dari pangkuanku.
"Ayah?" Matanya membulat, ia buru-buru turun dari pangkuanku.
"Handaru…." seru ayah lebih kuat.
Tok, tok, tok….
Ketukan pintunya pun sudah seperti akan merusak pintu.
"Ya, Yah. Bentar. Tunggu di depan aja." Aku tengah menarik tisu lebih banyak untuk mengusap cairan ini.
Esok-esok aku harus stok tisu basah yang untuk cebok bayi itu.
"Nah, nyahut orang tuh. Ya, cepetan!"
Aku tidak tahu apa yang ayah pikirkan, semoga ia tidak mendengar grasak-grusuk kepanikan kami.
"Bang, kalau aku keluar duluan. Aku khawatir ayah masih di depan dan sempat lihat aku keluar. Lebih baik Abang dulu yang keluar, nanti baru aku yang ambil ancang-ancang untuk keluar." Bunga tengah menata ulang rok spannya.
Aku mengangguk cepat. "Celana aku kena cairan lagi. Gimana ini?" Aku membasahi tisu kering dengan air, kemudian menggosok celanaku.
Panik bukannya langsung turn off, tapi malah sensasinya semakin menantang. Yang tadinya masih kuat, malah langsung jebol.
"Ganti aja, bawa celana lagi tak?" Bunga mengumpulkan tisu kering bekasku mengusap cairan ini.
"Nah itu masalahnya. Mikirnya setiap hari pulang ke rumah, jadi gak pernah sedia baju di mobil." Aku bangkit dan menata ikat pinggangku.
Buru-buru aku mencari parfum, kemudian menyemprotkannya ke arah resleting celanaku dan ke penjuru ruangan ini. Sedih juga kurasa, parfum setengah juta sia-sia begini.
"Keringatnya di kondisikan itu." Bunga membingkai wajahku dan mengusapnya dengan tisu.
"Aku keluar duluan ya?" Aku menurunkan tangannya dari wajahku.
"Ya, Bang." Ia merapikan rambutnya.
Rasanya aku kapok melakukannya di ruang kerjaku. Mungkin aku harus lebih rapi, mengajaknya ke hotel atau menghabisinya di rusunnya saja.
Kan lupa kan, ke mana aku yang berencana mengamuk pada Bunga itu? Malah aku bergelut dengannya. Emosiku meluap tidak karuan.
Keteganganku belum selesai, karena ternyata ayah masih berada di depan pintu ruanganku. Ia bohong untuk menunggu di depan, ia masih berdiri di tempatnya.
"Ayah." Aku cepat menarik pintu ruanganku agar tertutup kembali.
Ayah tidak mencegah pintu itu tertutup, tapi mendorong dadaku hingga aku harus menahan satu langkah ke belakang. Otomatis, pintu yang belum sempat tertutup itu harus diganjal dengan tubuhku.
Kepala ayah lebih dekat dengan tubuhku. Tiba-tiba ia menoleh ke bagian dalam ruangan, kemudian terdiam sejenak dan menarik bajuku. Pasti ayah sudah melihat siapa yang berada di ruanganku tadi.
"Barang datang! CS kamu dikurung, gak ada yang nerima barang. Sana urus dulu!" Ayah menunjuk mobil kontainer sedang yang parkir di depan halaman tempat usahaku.
"Iya, Yah." Aku meninggalkan ayah dan melangkah pada sopir kontainer yang duduk di kursi tunggu.
Seiring aku berbicara dengan sopir, aku kian memperhatikannya dan melirik ke arah ayah terus menerus. Aku khawatir ayah masuk ke ruanganku, atau menegur Bunga. Meski kenyataannya bahwa ayah hanya berbicara dengan montir yang sedang tidak bekerja, tapi aku khawatir ayah menghampiri Bunga dan menegurnya.
Sampai barang-barang diturunkan, Bunga belum juga keluar. Aku menyelesaikan pekerjaan Bunga ini, sampai akhirnya ia muncul setengah jam kemudian dengan penampilan yang sudah amat rapi.
Rambutnya sudah diikat kuda, bukan tergerai seperti tadi.
"Maaf, Pak." Bunga mengambil data barang yang ada di tanganku.
"Hm." Aku bersikap biasa, karena ini sudah kesepakatan kami jika di depan karyawan yang lain.
Tapi jelas percuma saja, karena ayah sudah tahu hubungan gila kami yang sebenarnya. Entah juga ada apa dengan ayah, biasanya ia tidak anteng di rumah, tiba-tiba terus menerus stay di rumah. Aku merasa seperti terus dimata-matai oleh ayah, meski ia terlihat acuh dan tidak peduli.
"Temenin Ayah ngopi di seberang, Han." Ayah menghampiriku, saat data barang sudah berada di tangan Bunga.
"Tapi sekarang masih jam kerja, Yah." Aku lebih mencari basa-basi saja.
Aku bos di sini, aku bebas keluyuran.
"Kamu belajar sama Ayah, Han. Jangan ajari Ayah tentang jam kerja, Ayah lebih paham pekerjaan kamu!" Nada bicaranya biasa saja, tapi urat wajahnya menyeramkan.
"Iya, Yah." Aku hanya bisa menunduk.
Saat aku mencuri pandang ke arah Bunga, ia tertangkap basah tengah memperhatikanku dengan lekat. Pasti ia berpikir, bahwa aku tengah dimarahi ayah.
Kami tidak menggunakan mobil, kami hanya menyebrang di lalu lintas sedikit lenggang. Sampai akhirnya, kami duduk di cafe yang terlihat baru buka ini.
"Bersihkan! Ayah pesankan kopi." Ayah melirik ke resleting celanaku.
Arghhhh, rasanya malu sekali.
...****************...
Bantu support, menuju kontrak, biar bisa update rutin. Minta doa dan dukungannya kak 🥰 konsisten itu berat kak, apalagi harus berkomitmen dengan kontrak 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Evi Ambon
semangat buat authorku
2023-06-23
2
Evi Ambon
Handaru handaru mati kutu kau sama bunga ,apa
hemz ...handaru dapt lawan yg seimbang
2023-06-23
2
Ritahutomo@gmail.com Akbarhutomo
handaru mabok janda... jandanya janda edannn😂
2023-06-22
3