"Siapa ya yang bilang 'nantangin?!'" Aku tertawa lepas melihat bibir lancipnya.
"Kenapa datang?" Ia melirikku panas.
Ternyata perempuan memakai daster itu cantik ya?
"Lah, tadi nelpon katanya bisa datang gak? Ini datang loh, merasa tertantang." Aku menutup pintu.
"Aku kangen." Ia bangkit dan menghampiriku.
"Masa?" Aku kantong plastik berisikan makanan siap saji yang buka dua puluh empat jam.
"S**** sih sebenarnya." Ia menerima dengan kekehan.
"Sama dong. Aduh-aduh, kangen banget." Aku langsung memeluknya.
Bunga kesulitan membalas pelukanku, karena tangannya repot membawa plastik makanan yang aku ulurkan tadi.
"Tunggu, tunggu…."
Aku langsung melepaskannya, merasakan ia tidak nyaman dengan pelukan mendadak dariku. Sepertinya, karena kantong plastik sialan itu.
"Abang bau parfum perempuan. Apa dia bersih? Kapan terakhir cek darah?" Ia menatapku dalam, ia menunduk sekilas dan menaruh plastik berisi makanan tersebut di atas meja.
"Satu bulan yang lalu, pas dia ganti KB. Dia bersih, cuma HB-nya rendah aja." Dokter menyarankan untuk tes darah dan tes urine dulu sebelum melakukan KB kembali.
"Dia KB?" Matanya membulat, ia seperti tak percaya mendengarnya.
Aku mengangguk cepat, kemudian aku duduk di sofa tamunya. Semoga saat Harum bangun pagi, aku sudah berada di sampingnya. Mana ayah biasanya pulang setiap hari Minggu lagi. Bagaimana jika aku tidak berada di rumah, tapi ia malah menemui Harum yang kebingungan tanpaku di sampingnya?
"Ohh, aku tak mau KB. Kalau Abang setuju tentang keputusan aku itu, Abang harus rela main aman." Bunga duduk di hadapanku, ia mengeluarkan makanan dari dalam plastiknya.
"P*D? Ia membuka kotak berukuran cukup besar itu.
"Suka gak?" Aku membantu menyingkirkan plastik berukuran besar tersebut.
Bunga hanya mengangguk. Ia menghela napasnya, setelah selesai membuka kotak pizza tersebut.
"Jawab, Bang!" Ia memandangku dalam, ia terlihat kurang berselera dengan pizza tersebut.
Ia terlihat berselera denganku.
"Iya aku ikut, kalau hamil aku tanggung jawab." Dengan cara ini, aku bisa menguncinya. Tapi Harum pasti merasa sangat tersakiti.
"Aku tak akan minta tanggung jawab, aku tak masalah punya anak dari Abang. Tapi tetap, aku tak akan minta komitmen. Aku bisa pergi dari Abang, meski perut aku udah sembilan bulan."
Aku selalu kena mental dengan mulutnya.
"Kamu buat aku takut, Bunga." Aku menyugar rambutku.
"Aku tanya ya?" Ia menggulung rambutnya secara asal.
Aku mengangguk, aku menunggu pertanyaannya.
"Abang puas tak dengan perempuannya?" Ia tersenyum simpul.
Kenapa ia bertanya tentang rahasia ranjangku dan wanitaku?
"Jawab, jujur!" Senyumnya lenyap seketika.
Ia menakutkan, tapi aku suka ekspresinya.
"Kurang," jawabku cepat.
"Abang butuh aku tak?" tanyanya kembali.
Aku mengangguk mantap. "Aku butuh kamu, aku bisa ninggalin…."
Ia memasang tangan kanannya di depan tubuhnya. "Aku cuma tanya Abang butuh aku tak?!" tegasnya kemudian.
"Butuh." Ia siapa sebenarnya? Ia mendominasi sekali.
"Aku juga butuh Abang. Kalau ada laki-laki lain pun, aku bakal ambil pilihan yang lain. Untuk sekarang, cuma Abang teman aku, partner aku dan seseorang yang mampu menuhin 'inginku' berkali-kali." Ia membuat tanda kutip dengan jarinya, saat mengatakan 'inginku'.
"Jangan ganti-ganti laki-laki, Bunga. Aku bersih, aku selalu main aman." Aku pindah duduk di sebelahnya.
"Abang harus bisa buat aku ketergantungan dengan Abang kalau gitu." Ia tersenyum miring.
Aku sadar, aku dijadikan alat untuknya.
Aku mengangguk. Jika memang ia tidak mampu aku miliki sekarang, mungkin nanti setelah ia ketergantungan denganku.
"Abang setuju?" Ia menoleh dan tersenyum lebar.
Ya salam, pilihan gila tapi dengan begini aku bisa menguncinya. Ingin keras kepala agar ia menurut, tapi malah aku yang sebaliknya dipermainkan olehnya.
"Iya setuju, Sayang." Aku merengkuhnya dan mencium pipinya.
"Nanti, Abang. Mood belum ngumpul, kita begadang malam ini." Ia mendorong dadaku, kemudian ia mencomot sepotong pizza tersebut.
"Besok temani aku milih-milih rumah ya? Waktu itu kan belum jadi." Aku khawatir saat sedang berbuat, malah Hema datang mengganggu kegiatan kami.
Tapi Bunga mengatakan, bahwa aku tidak boleh membatasinya. Yang artinya, bisa saja Bunga memberitahu alamat barunya ke Hema.
"Heem." Ia mencium pipiku dengan keadaan bibir belepotan dengan topping pizza.
"Hema udah ke sini?" Aku menekuk satu kakiku dan duduk menghadapnya.
Tangan kiriku melewati tengkuknya, tangan kananku berada di pangkuannya. Aku mengusap-usap perutnya.
"Udah, dari hari Sabtu dia di sini. Baru pulang, makanya manggil Abang. Aku kesepian." Ia menoleh dan tersenyum jahil.
Aku sadar dan paham, bahwa aku memang dimanfaatkan olehnya.
"Ngapain aja?" Aku mendengus aroma tubuhnya.
"Seru-seruan, ciuman, main game, belanja, tidur bareng, makan bareng, aku BAB, dia mandi. Kenapa? Keberatan?"
Gila, mereka masih seperti suami istri.
"S**s?" Aku ragu untuk bertanya, tapi aku penasaran.
"Itu urusan aku, aku paham caranya main bersih. Tenang aja." Ia membuka tutup botol air mineral kemasan besar, yang berada di atas meja.
Kemudian, ia meminumnya.
Aku harusnya sadar diri, aku pun tadi berhubungan suami istri dengan Harum. Apa yang harus aku tuntut darinya? Aku pun seperti itu.
"Cuci belum?" Ia berbisik di depan wajahku.
Aku menatap ke bawah dan menunjuk milikku. "Ini?"
Ia mengangguk, kemudian tersenyum lebar.
"Udah, sempat bilas tadi. Tapi gak mandi, udah cuci dan udah bersih." Dengan aku mengatakan hal ini, pasti Bunga memahami aktivitas apa yang sudah aku lakukan dengan Harum.
"Aku mau turun." Ia membuka pengait celanaku.
"Turun ke mana? Sih dibuka?" Aku bingung karena ia berlutut di lantai.
"Abang harus lebih dari yang aku kasih ya?"
Arghhhhh….
Ia menikmati es krim kerasku.
Aku menyatukan rambutnya yang turun dari gulungan, karena mengganggu aktivitasnya. Aku menjadikan tanganku sebagai ikat rambut, dengan sesekali aku mengusap pelipisnya.
Karena sisa tadi belum selesai, aku cepat mendapatkan tujuan hanya dengan kegiatan seperti ini saja. Bunga nampak kecewa, setelah men**** benihku yang lepas di mulutnya.
"Bisa diulang, tadi dadakan turun pas main sama dia, aku ingat kamu terus." Aku menarik dagunya, aku membantunya bangkit dari posisinya.
"Kenapa? Aku enak?" Ia terkekeh, lalu menyeka mulutnya sendiri.
"Ter, ter, ter, terfavorit." Aku membawanya duduk di pangkuanku secara berhadapan.
"Abang tak boleh selesai, kalau aku belum capek." Ia mencolek hidungku.
"Aku rela pakai obat kuat kalau kaya gitu." Aku mengajaknya beradu mulut.
Ia malah tertawa terbahak sampai giginya terlihat semua. Bau mulutnya terasa sekali, tepatnya bau benihku.
"Pakailah sampai jantung Abang meledak." Ia mengalungkan tangannya di leherku.
Ia cantik, cantik, cantik sekali. Aku selalu mengagumimu keindahannya. Aku jadi ingin memiliki anak darinya, pasti keturunanku rupanya seperti rupanya.
"I love you, Bunga." Aku mengincar lehernya.
"Thank you for the information." Ia menarik wajahku dari sana, kami sama-sama tertawa lepas melihat kabut minat di wajah masing-masing.
...****************...
Apa sebutan yang pantas untuk mereka?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Edelweiss🍀
Entah gimana lagi ini rasanya kehabisan kata2 aku, mau nasihatin tp aku suka cerita model begini😅
2023-06-17
3
fitrizakiah
apa mungkin alasan Hema menceraikan bunga krna ga bisa memenuhi kebutuhan biologis bunga 🤔🤔sedangkan bunga hiper jd dia memilih membebaskan bunga
2023-06-17
2
Niken Ayu
iih jadi pingin baca terus.. kau si bunga... Q jadi ter ter ter.. tapi bunga.. jika memang doyan atau masih on tu apa ndak ke inget dosa gitu atau takut gitu atau apa gitu...
2023-06-16
2