Simbiosis Mutualisme
"Kamu libur, Sayang?" Aku bangkit dari kursi kerjaku dan berjalan ke arahnya.
"Iya, aku datang bawa makan siang." Ia mengangkat tentengan yang ia bawa.
Harum adalah tunanganku, wanita yang sabar menungguku dan menemaniku sejak di bangku sekolah. Aku baru mengikatnya dengan hubungan jelas dua bulan yang lalu, ia pantas menjadi tunanganku karena kesabarannya menunggu dan menemaniku selama ini.
Ia seorang pegawai Bank swasta di Kota Jakarta ini. Ia wanita berusia dua puluh lima tahun yang cantik tentunya, sopan dan sedikit bodoh. Bodoh karena cintanya padaku dan brengseknya aku padanya, aku malah memanfaatkan dirinya untuk kebutuhan biologisku. Namun, tak kunjung aku nikahi karena kurangnya kemantapan hatiku akan sosoknya.
"Bawa daging juga?" Aku tidak mengambil alih tentengannya, tapi mengusap lembut bagian bawah perutnya.
"Han…." Harum tersenyum malu dan menahan gerakan tanganku di sana.
"Eummm, udah semingguan ini aku sibuk. Bolehlah kasih aku." Aku memeluknya dan mencium pipinya.
Seperti namanya, ia harum sekali.
Aku Handaru Albundio, laki-laki dewasa berusia dua puluh lima tahun yang masih merintis usaha variasi mobil yang sudah memiliki dua cabang. Aku mengatakan masih merintis, karena keinginanku bukan hanya dua cabang saja.
Tempat usahaku cukup besar, mobil pribadi maupun kendaraan umum biasa keluar masuk untuk mempermak keindahan kendaraan mereka. Di cabang kedua ini, aku kekurangan customer service yang mampu bercakap dengan ramah. Sampai mau tidak mau, seminggu belakangan ini aku yang turun tangan sendiri.
Ayahku sendiri seorang pengusaha yang bergerak di bidang otomotif juga. Beliau memiliki banyak cabang usaha di Pulau Jawa dan Bali, belum sampai ke pulau seberang apalagi jangkauan luar negeri. Bisa dikatakan, aku bisa berada di titik ini karena songkongan dari ayah.
Aku adalah anak tunggal dan ibuku sudah wafat sejak aku SMP. Tentang ayahku, ya mungkin ia seorang bajingan yang brengsek juga terhadap perempuan sepertiku. Ia tidak menikah kembali sejak ibu wafat, beberapa kali pun aku sering mendapatinya merangkul wanita yang berpenampilan menarik. Ia tidak tinggal seatap denganku, ia sering berkeliling kota mengecek cabang usahanya. Aku tinggal sendiri di Kota Jakarta ini, kadang seringnya ditemani oleh Harum jika weekend begini.
Ini hari Sabtu, ia libur bekerja. Mungkin juga, ia akan ikut pulang bersama ke rumahku malam nanti.
"Malam nanti ya?" tolak Harum lembut.
"Malam ya malam, sekarang ya sekarang. Ayo, sebentar. Mumpung sepi." Aku menutup dan mengunci pintu ruanganku untuk beberapa saat aku memperdaya Harum.
Ia masih mematung di tempat, ia terlihat enggan bergerak sampai aku memberinya serangan. Sejak sekolah dulu, kami sering melakukannya. Tapi sampai saat ini, ia tidak memiliki kecakapan yang baik untuk meladeniku h*****ku. Terang saja, aku sampai sering jajan perempuan untuk mendapatkan sentuhan yang tidak aku dapatkan dari Harum. Tapi tentu saja, aku pilah-pilah.
Aku tidak rutin melakukannya, tapi aku selalu mencuri kesempatan untuk mendapatkan kebutuhanku jika ada waktu luang. Aku mungkin akan berani berkomitmen dan menikahinya dari awal, jika hati ini mendapatkan kecocokan yang penuh pada Harum. Sayangnya, memang tidak mudah menerima meski aku tahu ia bersedia menunggu dan mencintaiku selama ini.
Bukan tentang kekurangannya, aku pun tidak tahu alasannya apa. Tapi aku menyadari sendiri bahwa memang hatiku kurang cocok dengannya, meski begitu aku ingin menghargai kesediaanya dan perasaannya selama ini.
Aku cukup berhati.
Ia mengerti, ia mau berjongkok saat aku menurunkan bahunya. Sesaat kemudian, aku menikmati perlakuannya pada resleting celanaku yang turun.
Tok, tok, tok….
"Permisi…."
Pintu kaca ruanganku yang berlapis kaca buram di ketuk berulang, sayangnya timingnya sangat mengganggu aktivitasku saat ini.
"Han…." Harum menghentikan kegiatannya, ia mendongak melihatku.
"Nanti malam kita lanjut." Aku buru-buru menyimpan warisan yang paling berharga di tengah-tengah tubuhku ini.
"Aku harus gimana, Han?" Harum bangkit dan menyeka mulutnya.
"Tunggu sebentar ya? Kau boleh keluar sebentar, kalau memang dia customer yang mau komplain." Sebenarnya tidak hanya customer yang komplain kok, customer yang memesan pun biasanya datang pada customer service yang ruangannya aku tempati ini.
Aku owner yang mau turun tangan. Tak apa, ini usahaku sendiri dan wajarnya aku repot.
Aku membuka pintu kaca yang aku kunci beberapa menit yang lalu ini. "Silahkan masuk, Kak." Aku mencoba tersenyum dan menyamarkan rasa keras di tengah-tengah tubuhku.
"Betul dengan Pak Handaru?" tanyanya dengan susunan kata yang diucapkan hati-hati sekali, bahkan ia sampai seperti mengeja namaku.
"Ya, betul. Silahkan masuk." Aku mundur dua langkah, mempersilahkan wanita yang indah sekali ini untuk masuk ke ruanganku.
Matanya besar, dagunya tirus, hidungnya tinggi dan ramping. Namun, bukan itu yang membuatku tambah berkeringat karena sisa h***** tadi. Melainkan, body pear yang berjalan di depanku ini.
"Aku keluar dulu ya, Han?" Harum langsung pamit, begitu ia melihat tamu ini.
"Oh, iya." Aku mengangguk dan berjalan mendahului wanita muda ini.
Aku yakin ia jauh lebih muda dariku, wajahnya seperti usia baru lulus sekolah. Tapi badannya membuatku berpikir mustahil jika ia baru lulus sekolah, ia seperti tubuh wanita dewasa, tidak selaras dengan wajahnya yang masih terlihat remaja.
"Silahkan duduk, Kak." Aku mempersilahkan duduk di depan meja kerjaku, sebelum aku duduk di kursi kebesaranku.
"Iya, terima kasih." Ia tersenyum ramah dan duduk di depanku.
"Maaf ya mengganggu?" tambahnya kemudian.
"Mengganggu? Mengganggu gimana tuh, Kak?" Aku tidak biasa menggunakan kosa kata baku, aku lebih bisa membawa kosa kata santai dengan customer sekalipun.
"Mengganggu aktivitas Bapak dengan istri." Ia tertunduk sejenak ketika mengatakan hal itu, kemudian matanya menatapku lagi.
Lentik sekali bulu mata itu, bola matanya bulat hitam dan berbinar menarik. Ia wanita yang begitu sangat indah dan sempurna menurutku.
"Ohh…." Aku tertawa kecil, merasa malu jika sampai perempuan ini menyadari bahwa aku dan Harum tadi tengah melakukan aktivitas dewasa.
"Gak apa, Kak. Gimana, Kak?" Aku memainkan bolpoin, mencoba melupakan rasa tegang dan berkeringat ini.
"Oh, iya. Kedatangan Saya ke sini, untuk bertemu dengan Pak Handaru. Saya dapat informasi tentang lowongan pekerjaan dari security tempat sebelah, saat pagi tadi Saya menitipkan lamaran pekerjaan di sana. Katanya, tempat ini sedang membutuhkan seorang pekerja. Saya izin mengajukan lamaran pekerjaan, kebetulan tadi di depan pun dipersilahkan untuk langsung saja menemui Pak Handaru."
Aku melongo saja melihatnya berturur dengan baik dan lembut. Ia begitu memikat hanya dalam pembicaraan kecil saja.
"Ohh, boleh-boleh. Kebetulan, Saya sendiri orang yang Kakak cari." Aku yang malah grogi berbicara dengannya.
Ia mengulurkan map cokelat tersebut dan segera aku sambut. Aku langsung membuka dan melihat isinya. Di jaman sekarang, memang masih berlaku lamaran pekerjaan dengan bentuk seperti ini selain mengirim email.
"Waduh, cerai hidup?" Aku gagal fokus melihat statusnya di lembaran fotocopy KTP miliknya.
Apa yang aku sangkakan tadi? Remaja lulus sekolah? Ternyata, ia seorang janda muda.
...****************...
Mohon dukungannya, Kak 😁🙏 jangan lupa follow, fav, like, komen, vote dan hadiah juga 😁 terima kasih 🙏😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Tathya Aqila
ku harap inih cerita bunga .mulai 💃
2023-07-16
2
Ra2
aku baru hadir kak Nisa 👍
2023-06-13
2
Mafa
kayaknya. ini cerita bunga deh
2023-06-12
4