"Aku keponakan ayahnya." Bunga berjabat tangan dengan Linda.
Linda adalah teman nongkrongku. Di tempat tongkrongan yang kebanyakan laki-laki, ia CS sekali dengan Harum yang merupakan sesama perempuan di tempat tersebut.
"Ohh, yang dari Jambi ya?" Linda membalas keramahan Bunga.
"Betul, Kak." Bunga menjentikkan jarinya.
"Dari kapan di sini? Kok Han gak pernah bawa Lo main bareng kita sama tunangannya?" Linda melirikku.
"Kebetulan, aku baru di sini satu mingguan." Padahal berjalan ke hari ini, ya Bunga sudah dua mingguan di Jakarta.
Cuma benar, ia dekat denganku sudah satu mingguan.
"Tinggalnya di mana? Beberapa hari yang lalu Gue ke Han nganterin pesanan, gak ada Lo di sana." Linda membuatku gugup.
Bunga memandangku. "Aku tinggal sama kakak aku di rusun PJ, Kak." Sepertinya Bunga bingung mencari alasan.
Apalagi, aku hanya mampu diam. Aku tidak bisa berbohong, aku tidak ahli berbohong.
"Ohh, baru ke sini ya?" Linda memandangku. "Dia udah kenal Harum belum, Han?" tanyanya kemudian.
"Udah," jawabku cepat.
"Tumben ya keluarga ayah kamu ke sini, biasanya kan gak pernah tuh? Malahan, lebaran tuh Lo yang pulang kampung ke sana ya?" Linda duduk lesehan di dekatku.
Aku celingukan, ia dengan siapa di sini? Aku khawatir ternyata ia datang dengan Harum.
"Iya soalnya kakak aku merantau di sini, Kak." Bunga lagi yang menjawab.
Bunga sepertinya paham, jika aku tengah gugup dan bingung.
"Ohh…." Linda manggut-manggut.
"Ke sini sama siapa?" Aku menoleh pada Linda.
"Sama Permana." Ia menunjuk ke jejeran motor terparkir.
Waduh, bertambah saja. Permana adalah tetangga kontrakan Harum, sekaligus pacar dari Linda. Linda dikenalkan oleh Harum dengan Permana tetangga kontrakannya itu, saat Linda dan aku tengah berkunjung ke kontrakan Harum.
Aku manggut-manggut. "Gue udah selesai nih, Gue duluan ya? Kasian, barangkali dia ngantuk." Aku mengarahkan pandanganku pada Bunga.
"Eh, nanti dulu. Nama Lo siapa?" Linda mencandak tangan Bunga.
"Latifa," sahutku mendahului Bunga.
Jika aku menyebutkan nama 'Bunga', pasti Linda menceritakan pada Harum dan Harum mengenalnya. Ia pernah datang ke tempat usahaku, kebetulan ada Bunga yang tengah bekerja. Harum menanyakan nama pegawai baru tersebut, pasti Harum tidak lupa dengan nama itu.
"Oke, ati-ati ya?" Linda melambaikan tangannya pada kami ya bergegas pergi.
Setelah membayar, aku langsung berjalan biasa ke arah mobil. Aku tidak menggandeng Bunga, aku pun tidak merangkulnya. Aku takut dibilang mesra dengan sepupu, aku takut dicurigai.
"Ya ampun, Han. Handaru Albundio…. Sampai ngos-ngosan aku ngikutin langkah panjang Abang." Bunga mengatur napasnya, ketika sudah duduk di sampingku.
"Dia teman aku, dia akrab sama Harum. Pacarnya yang di parkiran itu, dia tetangga kostan Harum," jelasku cepat.
"Ya tak apa dong, biar cepet ketahuan. Nanti Abang bisa diputusin sama Harum." Ia menatap lurus ke depan dan tersenyum.
"Asal kita nikah, gak apa." Aku menarik pelipisnya, kemudian mencium pipinya.
"Halah, kita kawin aja. Yok? Di mana? Di rumah Abang yuk? Aku belum tau di mana rumah Abang."
Aku mengajaknya langsung ke ikatan suci, bukan lagi pacaran. Tapi ia tidak mau, tapi ia menolak.
"Gak ah, nanti kamu sering datang ke sana. Aku masih tinggal bareng sama ayah aku." Hatiku selalu berdenyut, setiap kali mendapatkan penolakan darinya.
Padahal niatku mulia.
"Yahhh, tak adil kalau gitu. Itu sih terkesan aku simpanan Abang aja. Nanti kalau aku butuh, Abang lagi sulit dihubungi, kan aku bisa langsung datang tempat Abang."
Pribahasanya butuh. Ia butuh kerasnya warisanku, ia butuh belaian dan gagahnya aku atas dirinya.
"Tapi jangan ke rumah ya? Sebatas tau aja ya? Dari pagi tuh ayah ada di rumah soalnya." Aku melajukan mobilku ke arah rumah ayahku.
"Oke, oke. Kalau mendesak ya aku masuk ke rumah." Ia menaik turunkan alisnya.
"Besok pakai rok span ya? Aku pengen perk**a kamu di tempat kerja." Aku mencolek dadanya.
Apa coba jawabannya? Ia malah menunjukkan kedua ibu jarinya. Lalu apa tanggapannya? Katanya….
"Yang enak ya?" Senyumnya lebar sekali.
Ternyata ada ya perempuan yang suka jika diper**** olehku? Aku jadi teringat kejadian pertama kami.
"Apa kamu gak pengen pakai KB? Biarpun aku buang di luar terus, tapi resiko hamil itu ada. Siapa tau, barang aku bocor. Siapa tau, benih hidup terbawa sama cairan bening itu." Aku berpikiran buruk, karena aku paham bagaimana proses kecelakaan hamil itu terjadi.
Dulu saat masih sekolah, aku rutin menggunakan sarung. Meski kadang dilepas saat keluar dan tetap buang di luar, tapi setidaknya aman dari cairan beningku sendiri yang membahayakan.
"Aku tak masalah hamil anak Abang." Ia mengusap tanganku yang berada di perseneling.
Aku yang takut ia kabur dengan membawa anakku yang dikandungnya, lebih lagi aku takut aku tidak menyadari bahwa aku tidak sengaja menabur benih di dalam rahimnya. Sekalipun aku memiliki anak dalam keadaan yang tidak tepat, aku ingin ikut mendidik anakku sendiri. Apalagi, jika ibu dari anakku adalah sosok wanita yang tidak pantas dicontoh seperti Bunga. Aku ingin andil besar dalam cara mendidik anak, agar tidak menjadi anak yang sepertiku.
"Aku pasti tanggung jawab, jangan pergi." Aku teringat ucapannya tempo hari.
"Iya, iya, iya." Ia tidak menggenggam tanganku lagi.
Moodnya buruk, terlihat dari nada bicaranya.
"Aku tuh takut kamu nekat." Aku laki-laki dengan segala ketakutanku.
"Udahlah, tak usah bahas." Ia memalingkan pandangannya melihat jendela mobil.
Ia selalu tak mau jika aku membahas tentang hubungan kami, atau segala sesuatu yang menyangkut komitmen.
Aku menggenggam dan mencium tangannya. Hatiku kacau jika teringat tidak jelasnya hubungan kami. Seumur-umur bermain dengan wanita, baru kali ini aku begitu disepelekan.
Bukan hanya ketegangan untukku, tapi nampaknya untuk Bunga juga. Karena ada Harum di teras rumahku tengah berbincang bersama ayah. Ingin putar balik, terlanjur mereka melihat mobilku. Ingin lanjut, tapi nyaliku tidak sebesar itu.
"Stok apa yang kemarin sempat kosong terus itu, Bunga?" Aku teringat alasanku pada Harum tentang kesibukanku dalam hal pekerjaan.
"Velg HSR wheel." Ia memandang tanpa kedip ke arah para manusia di teras rumah itu.
Kenapa Harum malam-malam ada di sini? Ia perempuan modern, tapi jika keluar malam begini ya pasti denganku.
"Yuk turun, biar aku enak basa-basinya. Jangan tegang, bisa yuk?" Aku mengajaknya turun.
"Ayo, ayo." Bunga membuka pintu mobilnya, setelah aku mematikan mesin mobil di depan rumah.
Ingin tidak tegang pun bagaimana? Belum juga ditanya, aku sudah berkeringat.
"Han, kamu dari mana? Aku khawatir, kamu seharian gak ada kabar." Harum langsung menghampiriku yang baru turun dari mobil.
Aku melirik ke arah ayah, ia terlihat menelisik dan seperti tengah mengintimidasiku dan Bunga. Aku menoleh ke arah Bunga, ia tersenyum samar ke arah Harum dan berganti ke arah ayah.
"Itu, bukannya yang kerja di cabang KB kan?" Setelah memelukku sekilas, Harum menunjuk Bunga.
"Betul, Kak. Kebetulan tadi aku numpang dari KB, mau pulang ke rusun PJ."
Sialnya, aku pun memberikan alasan saat Bunga tengah membuka mulutnya itu. Kami sama-sama memberikan alasan serentak, tapi beda alasan.
Apa alasanku?
"Iya, tadi habis cek barang di Bekasi. Soalnya, velg HSR wheel gak ada di cabang KB."
Karena perbedaan alasan tersebut, aku dan Bunga menjadi pusat perhatian ayah dan Harum sekarang.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Ra2
han gimana rasanya d sepelekan ??
nah aku kasih tau yach itu kamu yg lakukan ke harum
sampai sini paham 🤔
2023-06-19
3
fitri ristina
bohongnya ga janjian dulu sih...
2023-06-19
2
Edelweiss🍀
cuma Bunga satu2 nya wanita yg menolak untuk dimuliakan😥😥😥 kalau gak percaya sama lelaki sih ya tak apa, ini mau aja dikawinin tp gak mau dinikahin😩
2023-06-19
2