"Jadi, sekarang Saya boleh langsung pulang?" ungkapnya setelah beberapa saat percakapan ringan.
Entah kenapa, aku yakin sekali bahwa dirinya mampu membawa pekerjaannya ini. Padahal Bunga terus terang sekali, bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman bekerja.
"Boleh, silahkan. Jam delapan kurang lima belas udah di sini ya? Kita briefing dulu seperti biasa." Kebetulan sekali, aku masih menata cabang yang di sini. Jadi sekalian untuk mengajari Bunga.
"Terima kasih, Bapak. Jangan lupa nomor Saya katanya mau dimasukkan ke grup." Bunga mengulurkan tangan dan aku menyambutnya.
Kuteknya sederhana, tapi terlihat pantas di tangannya.
"Oke." Aku tersenyum ramah.
"Saya permisi dulu, Bapak. Mari…." Ia mengangguk, kemudian berlalu pergi.
"Iya silahkan." Aku bangkit mengantarnya dari belakang.
Bolehkah aku menepuk p*****l yang berputar ketika berjalan itu? Aku merasa penampilannya seksi sekali, padahal pakaiannya memang cukup sopan. Apa karena banyaknya belokan di tubuhnya itu, menjadi pakaiannya terlihat selalu haram?
"Dia pesan apa, Han?" Harum menahan dadaku, ketika aku hampir keluar ruangan.
Karena bertepatan dengan dirinya yang masuk ke dalam ruanganku.
"Dia melamar pekerjaan, udah aku terima karena memang mendesak banget." Aku merangkulnya masuk, dengan tangan kiriku menutup pintu ruangan ini.
"Dia cantik banget ya, Han?" Ia menoleh dan tersenyum lebar.
Cemburu ya?
"Relatif, keknya anak orang kaya yang lagi dilatih kerja." Aku mencoba menjawab tanpa berpihak.
"Ayo makan siangnya dimakan, terus aku mau izin ke salon, Han." Harum mengusap-usap paha bagian dalam, saat kami baru duduk bersama di sofa yang cukup untuk diduduki dua orang.
"Tapi pulangnya ke rumah aku ya?" Aku mengambil dompet di bagian saku belakang celanaku.
Aku mengerti ia membutuhkan apa. Wajarnya aku memberi, karena aku menikmatinya. Tidak ada yang gratis di dunia ini, oksigen di rumah sakit saja bayar.
"Iya, Han. Selesai dari salon, aku langsung tunggu kamu pulang di rumah kamu. Biasanya ayah pulang tiap Sabtu? Apa sekarang dia ada di rumah?" Harum memperhatikan aku yang tengah menghitung uang dari dompet.
Sedikit tidak sukanya begini aku pada Harum, ia hijau sekali melihat uangku. Meski aku memahami tentang timbang balik yang baik, tapi tentu tidak seperti ini juga kesannya. Aku jadi merasa ia hanya tertarik dengan uangku, bukan denganku.
Apa aku kurang menarik?
Tinggi badanku sekitar seratus delapan puluh satu dan berat badan tujuh puluh kilo. Aku tidak begitu gagah, tapi dadaku cukup lebar. Hanya berisi, massa otot tidak seberapa. Aku rutin ke gym, hanya jika ada temannya saja. Sedangkan temanku sudah pada sibuk dengan usahanya masing-masing, sejak kami selesai kuliah. Ya begini jadinya, aku yang sempat gagah sekarang hanya tersisa dada bidang saja.
Tentang tampang, aku merasa aku cukup menarik. Tulang hidungku kokoh dan tinggi dari cekungan tengah mata, alisku tebal dan hitam. Bibirku sedikit tebal di bagian bawah, aku pun memiliki lesung pipi di kanan dan kiri.
Menurut ibuku, aku katanya mirip Maxime Bouttier. Tapi tidak juga, karena kulitnya cerah, sedangkan kulitku berwarna sawo matang.
"Gak tau, ayah pulang pun biarin. Dia udah tau kamu ini. Cium dulu." Aku menahan uang yang akan kuberikan pada Harum.
"Hmm, Sayang." Harum mencium pipi kiriku yang terjangkau olehnya.
"Nih, ati-ati ya?" Aku memberikan uang tunai berjumlah satu setengah juta.
"Makasih, Sayang." Ia mengambil cepat uang berwarna merah tersebut, kemudian mencium kembali pipiku.
Tanpa babibu, ia langsung keluar dari ruanganku. Entah berapa habisnya perawatannya, karena lebih seringnya aku hanya memberi kisaran dua jutaan saja. Bukan tanpa alasan, hal itu terjadi setiap hari Sabtu. Jika digabungkan, kan nilainya lebih dari UMK kota ini.
Bukan aku perhitungan, buktinya aku memberikan. Tapi aku masih merintis, sisanya ya aku beban ayahku.
Rumah yang aku tempati pun, itu bukan rumah hasil kerjaku. Itu rumah ayah, yang ditempati kami bertiga dulunya. Aku, ibuku dan ayahku. Sedangkan ayahku hidup bebas setelah ibu tiada, makanya aku bisa bebas membawa perempuan juga ke rumah.
Ah, pengangguran sekali aku malah mengagumi foto Bunga dalam profil aplikasi chattingnya. Aku sudah mendapatkan nomornya, aku memberikan janji untuk memasukkan nomor teleponnya ke dalam grup pekerja cabang usaha yang di sini.
Usaha pertamaku ada di Bekasi, aku awal memulai dengan masih digandeng ayahku. Tempatnya pun, bersebelahan dengan bengkel besar milik ayahku. Jika rumah tinggal, ya memang di daerah Jakarta ini. Saat baru belajar pun, aku tinggal sementara di bengkel besar milik ayah. Bangunan itu dilengkapi dengan tempat istirahat dan juga kamar mandi, persis seperti ruko tapi berukuran cukup besar.
Hobiki tidak jauh dari usahaku, yaitu memodifikasi mobil dan berkumpul dengan komunitas khusus. Hanya sesekali, aku ikut mengumpul ketika ada event saja.
Foto profil nomor kontak Bunga menggunakan foto wajah dirinya yang berhijab, nama keterangan kontaknya memunculkan kecurigaanku. Ia menamakan keterangannya, I will survive.
Aku akan bertahan? Apa ia dalam keadaan sulit sekarang? Masa iya orang sulit, tapi HPnya menggunakan HP boba?
Inilah yang membuatku curiga, saat tadi ia mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomor teleponnya. Makanya aku berpikir, bahwa dirinya adalah anak orang kaya yang diminta mandiri.
Eh, tapi ia kan janda. Dulunya suaminya kaya sepertinya, lalu setelah pisah ia memilih keluar rumah suaminya. Ya sepertinya seperti ini.
Aku langsung memasukkannya ke grup, ramahnya ia pun mengenalkan dirinya. Ada yang bertanya dirinya ditempatkan di posisi apa, dengan membuat penasaran ia menjawab bahwa dirinya belum tahu akan ditempatkan di posisi apa.
Aku jadi tidak sabar ingin cepat hari Senin, agar bisa bertemu dengannya dan mengajarinya. Sayangnya, Sabtu malam ini menjadikan malam yang panjang untukku dan Harum.
Meskipun ia memasrahkan dirinya, membiarkan aku mengusainya, tapi rasanya selalu tidak puas dengannya. Pernah aku membeli perempuan kelas menengah sedikit ke atas, tarifnya di sekitar harga motor Beat baru. Memang enak, punya skill dan bisa mengimbangi moodku. Tapi hanya sekali pakai, dirinya banyak yang memesan dan harus ikut antrian, sedangkan kebutuhan biologisku tak bisa dibawa antri.
Drttt….
Aku tersenyum senang mendapatkan satu pesan masuk dari perempuan yang tengah kuperhatikan fotonya ini. Aku senang mendapat pesan dari Bunga, meski aku tidak tahu apa isi pesannya.
[Maaf mengganggu, Bapak. Saya belum mendapatkan seragam tadi, jadi Senin nanti apa boleh Saya menggunakan pakaian bebas yang sopan?]
Oh, iya. Kelupaan juga.
[Iya, Bunga. Nanti Senin dapat dua seragam dari sini warna biru muda.] fast respon sekali aku padanya.
Hati ini sepertinya tertarik akan pembawaannya tadi. Ia menyambung di setiap obrolan, ia mengerti perubahanku saat bercanda ataupun serius. Ia bisa menyikapi dan membawa pembahasan denganku begitu nyaman.
[Baik, Bapak. Terima kasih.] bahasanya masih sedikit formal.
Pekerja yang lain, tidak ada yang seformal ini. Bahkan, banyak di antara mereka memanggilku 'kak'.
[Kamu tinggal sama siapa, Bunga?]
Eh, kok aku menanyakan hal seperti ini?
Ya salam, mana sudah dibaca lagi.
...****************...
Jangan lupa rate ⭐⭐⭐⭐⭐ ya kak 😁 kasih ulasan yang paling membangun biar aku tetap semangat ☺ Oh iya, ayo semuanya ikut komen, ramaikan ya kak 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Mafa
belum tau aja siapa bunga, anak bag ken yg suka bikin goncang lawan jenisnya
2023-06-14
1
Evi Ambon
semakin menarik nih ceritanya
2023-06-13
1
Ra2
sekelas bang Chandra aja pernah oleng sama bunga
apalagi modelan handaru yg penikmat sahwat 🫢😀
2023-06-13
3