"Main HP terus, Han." Tangan lembut Harum menyentuh lenganku.
Aku reflek menaruh ponselku, dengan posisi layar menghadap ke bawah. Aku menoleh pada Harum, kemudian berbaring di sebelahnya.
"Kapan kita nikah, Han? Orang tua aku nanyain terus." Ia memeluk lenganku.
Ia melantur dalam pengaruh alkohol. Aku tak menghiraukannya, hanya diam membiarkannya nyaman di lenganku.
Aku sering ditegur orang tua Harum, sejak tiga tahun yang lalu. Mulai saat itu juga, aku memilih untuk tidak pernah mendatanginya atau menjemputnya. Tapi Harum malah berkorban, ia memilih untuk keluar dari rumah dan ngekost bersama teman kerjanya, agar ia bebas bertemu denganku katanya.
Padahal aku sadar, ia melakukan hal yang salah. Orang tuanya benar, menegurku karena mereka khawatir pada Harum. Namun, aku yang tak pernah mau sadar untuk memuliakannya. Malah semakin membuatnya berselimut dengan dosa.
Esok paginya, pintu kamarku diketuk berulang. Aku tinggal sendiri, tapi ada yang mengetuk pintu? Pastinya, ini laki-laki yang namanya berada di atas namaku dalam kartu keluarga.
Ayah.
Aku merapikan selimut yang menutupi tubuh Harum yang tak terlapisi pakaian apapun, kemudian aku bergegas mengenakan celana pendek tanpa memakai pakaian dalam. Pintu segera kubuka, ayah langsung memasang senyum di depanku.
"Ayo sarapan bareng, Ayah udah order sarapan nasi rames," ajaknya menyenangkan.
"Aku cuci muka dulu, Yah." Aku berbalik badan dan mendorong pintu perlahan dengan tumit kakiku.
Aku merasa pintu seperti dihalangi, karena pintu kamarku tidak bisa tertutup. Lekas aku menoleh, memastikan penyebab pintu kamarku tidak bisa ditutup.
Rupanya, ayah di sana. Ia sengaja menahan pintu kamarku dengan telapak tangan lebarnya.
"Ada Harum, Yah." Aku tidak enak, jika ayah sampai masuk ke dalam kamarku.
Wajahnya langsung datar, ayah mengangguk samar dan menarik gagang pintu kamarku. Meski tingkahku sepertinya, aku yakin ayah pasti kecewa melihatku terus menerus bermalam dengan Harum tanpa ikatan pernikahan.
Orang tua mana sih, yang rela anaknya terjerembab dalam dosa? Pasti ayah pun demikian, meski memiliki anak laki-laki.
Aku mencuci wajahku, gosok gigi dan berganti pakaian yang lebih pantas untuk di rumah. Jika memakai celana pendek dengan gambar luar angkasa begini, aku merasa seperti balita.
"Pulang kapan, Yah?" Aku langsung duduk di depannya.
"Subuh tadi." Ayah menuangkan teh dalam teko ke gelas yang berada di depanku.
"Kenapa gak ngabarin dulu?" Aku membuka bungkus nasi rames ini.
"Biar apa? Biar Harum gak nginep?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah.
"Ayah tau dari dulu aku udah sama Harum," jawabku kemudian.
Ayah mengajakku sarapan atau mengajak berantem?
"Umur dua puluh lima tahun, dulu Ayah udah punya anak kamu." Ayah memasukkan makanannya ke mulut.
"Maksud Ayah gimana? Aku harus punya anak di luar nikah?" N**** makanku langsung hilang.
"Ayah punya kamu itu dalam pernikahan. Jadi harusnya kamu tau maksud Ayah, jangan marahnya aja." Ayah hanya mendelik tajam, kemudian memperhatikan makanannya lagi.
Paham, aku bukan anak kemarin sore. Aku hanya diam, karena pikiranku memang belum mantap untuk menikahi Harum.
"Ayah siapkan biayanya, kamu cuma perlu bilang waktunya." Ayah menyeruput teh manisnya sendiri.
Aku mengangguk samar, aku berusaha menelan makanan yang terasa seret di tenggorokan.
Setelah selesai sarapan, ayah memberiku uang makan yang biasanya aku gunakan untuk mengisi kulkas dengan makanan. Setelah itu, ayah pergi lagi dengan menggunakan mobilnya. Ayah seperti enggan bermalam, atau rehat lebih lama jika ada Harum di sini.
Dengan ia memintaku cepat menikah dengan Harum, aku yakin ayah setuju jika Harum menjadi menantunya. Tapi aku tidak mengerti, kenapa ayah tidak betah jika ada Harum di sini.
Aku mengecek isi kulkas, kemudian melihat tempat beras. Aku mencatat apa yang aku butuhkan, kemudian melipat kertas catatan dan menaruhnya di atas kulkas. Aku akan lebih dulu mandi, sebelum mengajak Harum berbelanja kebutuhan dapur rumah ini.
Aku mengantarnya pulang pada malam Seninnya, itu pun sangat larut sekitar pukul dua belas malam. Kemudian, aku langsung memutar stir mobil menuju ke rumahku.
Senin pagiku disambut haramnya penampilan Bunga. Kenapa ya? Apa yang salah? Ia mengenakan celana panjang formal berwarna abu-abu tua, dengan sepatu flat berwarna hitam doff. Dipadukan dengan kemeja berwarna abu-abu muda lengan panjang yang digulung, membuat lengan kemeja itu seperti sepertiga.
Sopan kok pakaiannya, tapi terlihat haram dan mengundang para buaya. Termasuk aku juga, aku sampai ngiler melihat bodynya.
"Selamat pagi, Bapak. Loker aku di mana ya?" Ia menghimpit sebuah tote bag yang terlihat mahal dari tekstur kulit tasnya.
Bukan tote bag kanvas.
"Ruangan yang kemarin itu ruangan kamu, Bunga. Simpan di ruangan kamu aja, loker untuk para montir dan staf bersih-bersih." Bahkan aku mempekerjakan mereka yang tidak memiliki ijazah.
"Ohh, baik." Bunga mengangguk dan melewatiku dengan sopan.
Aku menyimpan kedua tanganku ke saku celana. Tubuhku sampai berputar, tak rela menyia-nyiakan p******nya yang berputar.
"Aduh, Mas Han." Salah satu montir menunjukku dan tertawa lepas.
Sepertinya, sejak tadi ia memperhatikanku.
"Berat, berat." Aku geleng-geleng kepala dan malah mengikuti Bunga.
Aku nyelonong masuk ke dalam ruangannya, ia tengah memunggingiku dan sedikit merunduk. Ia seperti mencari sesuatu di dalam tasnya yang sudah ia tempatkan di kursinya.
Kenapa sih posisinya salah terus? Kemeja bagian belakangnya terangkat dan memperlihatkan sedikit punggung bawahnya di atas celananya.
Aku tidak bisa berkata-kata, aku masih diam menikmati keindahan yang terpampang di depanku. Namun, tiba-tiba ia balik badan dan tersentak kaget.
"Ya ampun, Bapak." Ia mengusap-usap dadanya sendiri.
Ia mengatur napasnya, kemudian menyisir rambutnya menjadikan satu di genggaman tanganku. Tanganku pun bisa dijadikan ikat rambutmu, Bunga. Sayangnya hal itu terlalu vulgar, jika mulutku sampai mengatakannya.
"Ayo briefing dulu, terus Saya tunjukkan beberapa ruangan di sini." Niatku baik.
"Oh, ya. Sebentar ya, Pak? Saya ikat rambut dulu." Ia mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Dari kepalan tangannya, terlihat rambutnya sangat lebat dan banyak.
Aku mengangguk, masih mematungkan diri menyaksikan pertunjukan ikat rambut tersebut. Mataku tidak sopan sekali, tapi aku tidak berhenti menikmati keindahannya.
"Bapak? Kenapa? Ada yang salah?" Bunga menurunkan tangannya, ia menurunkan pandangannya memperhatikan penampilannya sendiri.
"Aku masih dua puluh lima tahun, jangan panggil 'bapak' ya? Aku belum menikah."
Kok 'aku'? Ramah sekali mulutku ini.
"Hah? Serius? Kok mukanya boros sekali, kek tiga puluh lima tahunan." Mulutnya menohok sekali.
😳
Cukup lama aku diam dalam ekspresi kaget mendengar komentarnya itu. Benarkah aku seperti bapak-bapak?
Bunga terkekeh kecil, kemudian berjalan ke arahku. "Tak, Bang. Aman kok, kek umur tiga puluh tahunan." Ia mengusap pelan lenganku, ketika sampai di hadapanku.
Tingginya hanya sebatas dadaku saja.
Mataku lebih mekar dari sebelumnya mendengar penjelasannya barusan. Tawanya lebih kencang lagi, melihat wajahku yang masih tidak bisa menerima pendapatnya itu.
"Aduh, Bang." Matanya sampai berair, hingga ia sendiri menepuk-nepuk dadaku.
Sentuhannya sangat berani.
"Peluk sekalian! Tanggung bener." Aku sedikit membusungkan dadaku.
Ya salam, aku salah candaan rupanya. Ia benar-benar melakukannya, hingga berakhir aku yang kena mental sendiri.
Ia tidak bisa ditantang, karena ia akan menerima tantangan itu.
Ia melepaskanku, ia berbalik badan dan masih tertawa ringan. Ia waras tidak sih? Atau ia memiliki gangguan tertentu?
"Ayo katanya briefing." Rupanya ia mengambil ponselnya.
Hanya pelukan sekilas pun, aku sampai berkeringat. Aku menyeka keringat di pelipisku, dengan menyaksikannya yang berjalan kembali ke arahku.
"Ayo, Bang." Ia mendahuluiku keluar dari ruangan.
Kenapa aku bodoh sekali di depan Bunga?
Setelah briefing, aku lanjut memberinya arahan dan pengertian tentang barang-barang pesanan. Jika ia belum mampu menghafal, aku mengajarinya mengetikan kata kunci di data stok barang yang berada di laptop yang disediakan di sini.
Rupanya, ia cepat mengerti dan menghafal. Seharian ini aku menemaninya dengan gagal fokus terus, tapi rupanya sampai ke otaknya.
Jam pulang sudah dekat, aku baru keluar dari ruanganku yang terletak di samping gudang. Aku akan mengecek staf yang bekerja di lantai dua, sebelum akhirnya membiarkan mereka pulang.
Rupanya Bunga adalah preman.
Yang lain tengah sibuk, ia sudah merokok santai dengan para montir di teras depan tempat pemasangan kendaraan-kendaraan yang tengah dimodifikasi.
"Bang…." Ia mengangkat tangannya memanggilku.
Hanya ia yang memanggilku 'bang'. Aku mengatakan bahwa aku belum menikah, tapi ia memilih panggilan tersebut.
"Kenapa?" Aku malah menghampiri bawahanku sendiri.
...****************...
Yang belum rate, mohon kasih lima bintangnya ya 😉.
...⭐⭐⭐⭐⭐...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Aas Azah
si bunga ini kyk lontee dan sengaja banget menggoda Handaru yg emang sm" sejenis 😤
2023-12-04
1
Tathya Aqila
Abang .😆
2023-07-16
1
Red Velvet
Susah memang para lelaki jaga matanya kalo perempuan kaya Bunga bersliweran depan dia. 🤧
2023-06-15
1