"Gemes." Aku menyergapnya dan memeluknya.
"Tak! Jangan-jangan!" Bunga menghindari tekanan milikku pada bagian tubuhnya.
"Kenapa sih? Pakai pengaman deh, aku ada di dompet." Aku selalu jaga-jaga.
"Keknya punya Abang tak besar. Punya Hema besar panjang kemarin, aku takut longgar pas Abang cobain aku. Bukan aku yang kurang gigit, tapi kan nyatanya punya Abang yang kecil memang." Ia menoleh ke belakang, hembusan napasnya sangat terasa karena wajah kami berdekatan dan bersentuhan.
Aku dalam posisi memeluknya dari belakang. Pelukanku merenggang, mulut tajamnya membuatku sangat tersinggung.
Aku tidak tahu ukuran milikku termasuk besar atau kecil, panjang atau pendek. Tapi kenapa Bunga mengatakan seolah dirinya tahu tentang barang rahasiaku? Atau memang ia sengaja membuatku tersinggung, agar moodku buruk dan melepaskannya.
"Kamu boleh lihat, Bunga." Aku meyakinkan diri sendiri, agar keteganganku tetap sempurna.
"Tak ah, aku tak penasaran sama Abang. Abang pulang, pakai kaos aku. Terus kita chatting ya? Kalau aku minta Abang PAP itunya Abang, Abang kasih ya? Nanti biar aku bisa menerka-nerka." Ia tersenyum lebar, bola matanya berputar seperti tengah membayangkan sesuatu.
Kenapa harus serepot itu? Aku bisa saja sukarela menurunkan resleting celanaku agar ia bisa melihat dengan langsung.
Aku benar-benar melepasnya, kemudian aku menyentuh kepala ikat pinggangku. "Lihat aja, Bunga." Aku sudah melepaskan kepala ikat pinggangku.
Ia mundur satu langkah, ia memasang telapak tangannya di depanku. "Aku tak berh***** sama Abang, aku tak penasaran sama Abang. Aku yakin Abang tak akan dapat kepuasan apapun dari aku, kalau Abang belum bisa bikin aku penasaran dan ingin dengan Abang."
Keteganganku berkurang, moodku untuk memaksa mulai turun karena mulutnya.
Ya salam, banyak sekali metodenya.
"Ayolah, Bunga. Kamu mau apa? Aku belikan setelah kita selesai." Aku mencoba membujuk dan membangun ketegangan dari awal.
"Bisa minta Hema untuk rujukin aku? Aku bakal sukarela kasih icip diri aku ke Abang, sebelum aku dikuasai Hema lagi." Ia menunjuk ke arah sembarang.
Maksudnya, pasti ia menunjuk Hema yang jauh di sana.
"Dia laki-laki dewasa, Bunga. Dia tak bisa dipaksa, aku tak bisa maksa dia. Kalau kamu pengen aku nikahin kamu, mungkin aku bisa pikirkan itu." Kok aku malah jujur?
"Aku tak mau sama milik orang, aku tak mau jalin hubungan yang rumit." Bunga menepis tanganku yang berusaha meraihnya.
Aku ingin dirinya.
"Aku bisa pikirkan itu nanti, sekarang cuma perlu menyatukan hati kita dulu." Mulutku sudah terlanjur jujur.
"Aku tak mau sama Abang." Ia memanyukan mulutnya dan bersedekap tangan.
"Kenapa? Apa alasannya? Apa kamu pengen fokus ke masa depan kamu?" Aku ingin membantingnya di ranjang sekarang juga, kemudian membisikkan tiap hembusan napasku bahwa aku ingin memilikinya.
"Aku tak punya masa depan apapun, Bang. Aku tak punya planning apapun, aku cuma pengen menjalani hidup aku tanpa rencana apapun. Karena semua yang udah direncanakan itu pasti gagal. Alasan aku nolak Abang, karena Abang udah punya pasangan. Aku tak mau jalin hubungan dengan Abang, atau dengan laki-laki manapun selain Hema. Aku pengen balik jadi istrinya dan aku hancurkan hidup Hema," ungkapnya dengan pandangan lurus ke depan.
"Kamu gak mau sama aku?" Aku beralih ke hadapannya, agar ia memandangku.
"Kenapa? Abang ngajakin apa? Ng***** kan?" Wajahnya bengis sekali.
"Kalau kamu mau, bisa sampai aku usahakan ke pernikahan. Bunga…. Hati aku klik banget sama kamu. Ini bukan tentang n**** aku aja, tapi aku ngerasa nyambung sama kamu."
Arghhhhh, aku pasti terlihat murahan di depannya. Laki-laki mengaku lebih awal seperti ini, harga diri menjadi jaminan. Sama halnya seperti aku meminjam uang pada wanita, wanita tersebut pasti memandangku dengan ilfeel. Jika sudah begini, Bunga pasti akan menginjak-nginjak kesukaan hati ini semaunya.
"Dustanya kentara sekali." Ia tertawa sumbang dan tersenyum menyepelekan.
"Aku harus gimana? Aku ngerasa nyambung sama kamu, aku ngerasa gurauan kita cocok." Aku memberanikan diri untuk menggenggam tangannya.
"Tapi posisi di saat kau butuh s**s, Bang." Bunga lekas melepaskan tanganku, kemudian ia mendorong dadaku. Aku sedikit terhuyung, tapi aku bisa menahan agar tidak terjatuh dengan beberapa langkah mundur.
"Gak, Bunga. Udahlah, aku gak berh***** ke arah sana lagi. Aku udah terlanjur ngomong begini, aku udah terlanjur malu karena jujur, sekarang gimana tanggapan kamu aja." Aku menyentuh kedua bahunya.
Ia diam dan memandang wajahku datar. Lalu, ia menghembuskan napas panjang. "Jalani aja." Ia menurunkan tanganku dari bahunya.
"Jalani gimana, Bunga?" Aku mengekorinta yang masuk ke area dapur.
"Abang punya pacar, aku tak mau punya pasangan, apalagi pasanganku pacar orang. Kita jalani sebagai teman." Ia mencuci tangannya di wastafel, kemudian ia menoleh ke arahku.
"Aku gak bisa seprofesional itu jadi teman kamu, Bunga." Yang ada aku gila sendiri dan akan kesulitan tidur.
"Terus maunya gimana?" Ia membuka laci dapur.
"Kita pacaran." Keegoisanku mulai terlihat, pasti Bunga menilaiku minus.
"Aku tak mau! Abang pulang aja!" Ia menoleh dan memberi lirikan tajam.
"Jangan langsung nolak aku, Bunga. Abang tunjukin dulu effort aku untuk dapatkan kamu, kalau memang kamu gak punya rasa sama sekali sama aku, baru kamu bisa nolak aku." Aku menarik tangannya, mencoba membalik tubuhnya.
"Keputusan aku sekarang atau nanti itu sama aja, Bang." Ia membuang napasnya berbarengan dengan kalimatnya.
"Gak, Bunga. Kamu lihat usaha aku dulu." Aku terkesan mengemis.
Di luar tentang ketertarikan kebutuhan biologisku padanya. Aku berpikir ia terlalu mubazir, jika harus menunggu Hema saja. Aku tidak kalah rupa dengan Hema, bahkan tinggi badan kami sepertinya sama. Ditambah lagi dengan kisah anaknya, aku kasihan padanya dan merasa bahwa ia mendapatkan kesulitan dari banyak sisi. Jika sendirian ia tidak bisa mengurai masalahnya, aku ingin ada sebagai orang terdekatnya yang membantunya mengurai masalahnya dan menguatkannya dari semua resiko yang ia emban seorang diri itu. Itu pasti terlalu berat, aku hadir untuk meringankan bebannya.
"Aku ambilkan kaos Hema untuk Abang." Ia meninggalkanku sendirian di dapur ini.
Ia tidak merespon ucapanku.
"Bunga…." Aku berjalan mengikutinya yang sudah mendahuluiku.
Ia sedang mencari-cari sesuatu di dalam lemari. Kemudian, ia mengulurkan sebuah kaos berwarna putih.
"Pakai, Bang. Sana pulang, aku mau istirahat." Ia duduk di tepian ranjang, setelah kaos tersebut berpindah ke tanganku.
"Bunga, aku yakin kamu perempuan baik-baik. Kamu suka kehangatan rumah kan? Kamu nyaman diam di rumah menikmati quality time dengan aku kan? Aku bisa wujudkan itu, Bunga." Mungkin aku harus bisa mengambil resiko, jika berkeinginan memiliki Bunga.
Yaitu, aku harus bisa melepaskan Harum dan meninggalkan Harum karena pilihan hati terjatuh pada Bunga.
"Kau salah, Bang. Kau tak tau aku yang sebenarnya." Ia tertawa sumbang dengan wajah miris.
...****************...
Bantu up ya 😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Ra2
beginilah laki laki KL ada maunya
mulutnya penuh dusta 🫢😀sadar ga sadar tuch ap yg d ucapkan masa mau ngajak nikah aja
harum aja yg udh lama msh d gantung
2023-06-15
3
fitrizakiah
hadir
2023-06-15
4
fitrizakiah
mas Dio kamu baru kenal bunga beberapa hari udh ngajak komitmen d tambah kamu punya pasangan
yg d ajak punya trauma yaa bakalan kebujuk
ada ada aja mas Dio 🤦🏻♀️
2023-06-15
4